Pekan Persatuan Islam dan Kebencian Barat terhadap Rasul Saw
Seiring dengan tibanya pekan persatuan yakni 12 hingga 17 Rabiul Awwal yang dimaksudkan untuk menjaga kelahiran Nabi Muhammad Saw dan membentuk persatuan antara Ahlu Sunnah dan Syiah telah berlangsung selama beberapa dekade. Ide pekan persatuan dicetuskan oleh Republik Islam Iran.
Isu ini semakin membuat perhatian dunia Islam terhadap masalah berlanjutnya pendekatan permusuhan Barat khususnya Prancis terhadap pribadi suci Rasulullah Saw.
Terkait kepribadian dan misi Rasulullah Saw, al-Quran di Surah al-Anbiya ayat 107 menyebutkan, " وَ ما أَرْسَلْناکَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعالَمِین Artinya, Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Artinya Rasulullah Saw adalah rahmat bagi seluruh manusia di seluruh masa dan di seluruh tempat, serta tidak ada kebutuhan akan nabi lain.
Keberadaan Nabi Khatam (penutup) menyebabkan kebahagiaan dua dunia manusia. Karena praktek ritual dan rencana yang dibawanya akan mengakhiri kegagalan, kesengsaraan, kezaliman dan kebobrokan, dan pada akhirnya akan mengarah pada aturan orang benar dengan iman di dunia, dan pada akhirnya akan membawa berkah abadi dan abadi. Dia akan mencapai akhirat secara permanen. Tafsir tentang dunia "dunia" dalam ayat ini memiliki arti yang begitu luas sehingga mencakup semua manusia di segala usia dan abad, dan oleh karena itu ayat ini dianggap sebagai rujukan pada finalitas Nabi Islam; Karena keberadaannya adalah rahmat, pemimpin, pemimpin dan muqtada bagi seluruh umat manusia masa depan hingga ujung dunia.
Menurut Ayatollah Makarem Shirazi: Di dunia saat ini di mana korupsi, kehancuran, penindasan, dan tirani jatuh dari pintu dan temboknya, api perang berkobar di mana-mana, dan cengkeraman para penguasa tirani menekan tenggorokan mereka yang tertindas, di dunia di mana Ketidaktahuan, kerusakan moral, pengkhianatan, penindasan, tirani, dan diskriminasi telah menciptakan ribuan jenis kekacauan; benar di dunia semacam ini arti dari keberadaan Nabi sebagai rahmat semakin nyata. Apa yang lebih baik dari rahmat yang membawa program di mana menjalankannya akan mengakhiri segala bentuk kegagalan, kesengsaraan dan hari-hari yang gelap? Benar Nabi Muhammad dan ajaran yang dibawanya serta nilai-nilai moral yang diusungnya seluruhnya adalah rahmat, rahmat bagi seluruh umat manusia dan kelanjutan rahmat ini adalah terbentuknya pemerintahan orang saleh dengan penuh keimanan di seluruh muka bumi.
Meski keberadaan gemilang Rasulullah Saw dan peran tak tergantikannya dalam membentuk sejarah dunia yang bahkan banyak ilmuwan Barat mengakui beliau adalah sosok terbesar sejarah, namun menyimak sejarah barat menunjukkan bahwa Barat senantiasa memiliki pendekatan permusuhan terkait Islam dan Nabi Muhammad Saw. Barat menfokuskan upayanya untuk mempertanyakan kepribadian dan kesucian nabi besar Islam ini.
Upaya ini meski di abad 19 dan 20 mayoritasnya dilakukan dalam bentuk merusak citra dan banyak kritikan melalui buku-buku orientalis Eropa dengan harapan selain menolak risalah Muhammad juga mencitrakan sosok Nabi sebagai orang biasa. Namun begitu di abad 21 kita menyaksikan upaya sistematis dan luas Barat dalam melawan Islam dan Nabi Muhammad Saw dalam bentuk Islamofobia dan selama beberapa tahun terakhir gerakan anti Islam.
Contoh dari upaya ini adalah penghinaan dan melecehkan kesucian Nabi Muhammad Saw oleh sejumlah majalah Eropa khususnya Majalah Charlie Hebdo yang beberapa kali dan tanpa mengindahkan protes luas Muslim di seluruh dunia, menerbitkan karikatur yang menghina kesucian nabi Islam ini. Alasan kampanye besar-besaran anti Islam adalah ketakutan pemerintah Barat akan penyebaran cepat Islam di Eropa. Bahkan kini negara seperti Prancis menjadi pusat gerakan anti Islam di Eropa di mana sekitar 10 persen populasinya adalah Muslim dan Islam mengalami pertumbuhan pesat di negara ini.
Ini telah membunyikan alarm bagi politisi serta Gereja Katolik Prancis. Di saat yang sama, aksi anti-Islam baru-baru ini di negara-negara Eropa pada tahun 2020, khususnya pembakaran Alquran di Swedia, dan aksi majalah humor Prancis Charlie Hebdo dalam mencetak ulang kartun-kartun yang menghina Nabi Islam (SAW) menunjukkan bahwa arus anti-Islam sedang berusaha lebih keras menentang Islam dan menampilkan citra tak pantas dari nabi besar agama samawi ini.
Arus anti Islam ini dipimpin oleh kelompok sayap kanan yang dalam beberapa tahun terakhir disebabkan oleh dua fenomena, yaitu krisis ekonomi di Eropa sejak 2008 dan saat ini resesi ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya yang disebabkan oleh wabah virus Corona dan penyakit Covid-19, serta invasi para pencari suaka, yang sebagian besar adalah Muslim, telah mampu secara bertahap meningkatkan posisi mereka dengan menarik opini publik di Eropa dan, sejalan dengan itu, untuk memperluas praktik anti-Islam mereka.
Lembaga riset politik, ekonomi dan sosial SETA September 2019 menyatakan, munculnya kelompok sayap kanan di Eropa telah menyebabkan peningkatan dramatis dalam kasus Islamofobia dan ancaman terhadap keamanan dan stabilitas Eropa. Menurut Nosratollah Tajik, pengamat politik, “Proses ini sedemikian rupa sehingga komunitas muslim jika sebelumnya merasa aman di Barat, kini tidak lagi memiliki perasaan ini dan mereka ditekan dibawah Islamofobia.”
Isu penting dalam hal ini adalah dukungan penuh dari Presiden Prancis Emmanuel Macron atas tindakan anti-Islam, termasuk penerbitan kartun penghinaan terhadap Nabi (SAW) dengan dalih menjaga kebebasan berekspresi, khususnya kebebasan penistaan di Prancis. Pendekatan yang sesat dan desakan untuk terus berlanjut ini telah memicu reaksi kekerasan berupa serangan senjata tajam di berbagai penjuru Perancis, dan telah meninggalkan negara besar Eropa itu dengan pandangan yang menakutkan. Dalam hal ini, pada hari Kamis, 29 Oktober, Itu adalah hari yang berdarah di Prancis.
Dalam insiden pertama, yang terjadi di kota Nice pada jam 9 pagi, seorang pria bersenjata pisau menyerang orang-orang di dekat gereja Notre Dame di kota Nice di selatan Prancis. Menyusul kejadian tersebut, polisi setempat mengonfirmasi kematian sedikitnya tiga orang dan melukai beberapa lainnya.
Media lokal kemudian melaporkan bahwa polisi menembak dan membunuh pria bersenjata lainnya di kota Avignon, Prancis tenggara, yang diidentifikasi sebagai anggota kelompok sayap kanan yang ekstrim. Juga Kamis malam, polisi di kota Lyon menangkap seorang pria bersenjata yang berencana melakukan operasi penusukan. Polisi Saudi juga telah menangkap seorang warga Saudi yang menyerang seorang penjaga di konsulat Prancis di Jeddah.
Rangkaian peristiwa berdarah tersebut, yang merupakan reaksi terhadap kelanjutan anti-Islamisme di Prancis, menunjukkan pendekatan Emmanuel Macron yang keras kepala dan irasional dalam mendukung penuh aksi-aksi anti-Islam, termasuk desakan Charlie Hebdo untuk terus menerbitkan kartun-kartun satir Nabi (SAW) dengan dalih kebebasan berekspresi, tidak ada hasil selain menghasut umat Islam dan meningkatnya ketegangan dan konfrontasi dalam masyarakat Prancis, dan kelanjutan tren saat ini dapat menyebabkan peningkatan kekerasan yang luar biasa di negara Eropa ini.
Akan tetapi, kali ini, tanpa menyebutkan peran penting dari sikap anti-Islamnya dalam pembentukan dan kelanjutan serangan ini, Macron menggambarkan serangan pisau di Nice sebagai "serangan teroris oleh Islamis" dan berkata: "Prancis tidak pernah menyerah terhadap teror dalam mempertahankan nilai-nilainya.” Faktanya, sikap anti-Islam Macron yang berulang-ulang dalam membela penerbitan kartun yang menghina Nabi Muhammad dan desakannya untuk menghadirkan RUU anti-Islam telah menempatkan Prancis pada garis ketegangan dan ketidakamanan.
Menurut Sayid Hadi Burhani, pakar Asia Barat, Prancis negara paling bebas dalam menghina nilai-nilai Islam dan gerakan anti Islam. Masalah ini yakni aksi dan reaksi yang mendapat perhatian Menlu Iran, Mohammad Javad Zarif. Di cuitan Twwiternya saat mengecam serangan hari Kamis di Nice menulis, ini lingkaran setan penyebaran kebencian, provokasi dan kekerasan harus digantikan dengan rasionalitas. Semua pihak harus menyadari bahwa radikalisme hanya akan meningkatkan radikalisme dan perdamaian tidak dapat diraih melalui provokasi. Macron dengan dalih kekebasan berekspresi di negaranya untuk menghina kesucian Islam telah membangkitkan banyak kritik dan protes di dalam negeri Prancis sendiri. Penghinaan terhadap kesucian di berbagai negara dunia, bahkan di sejumlah negara sekuler dan yang bertumpu pada pemisahan antara agama dan politik juga dinyatakan sebagai kejahatan.
Sejatinya sikap Macron dan upayanya untuk menyamakan Islam dan terorisme dimaksudkan untuk mencitrakan wajah pro kekerasan Islam serta menemukan alasan baru untuk menekan umat Islam di Prancis serta melanjutkan aksi anti Islam. Padahal tokoh-tokoh Islam secara jelas menolak hal ini.
Sayid Hasan Nasrullah, sekjen Hizbullah Lebanon seraya menekankan bahwa umat Islam tidak pernah dapat mentolerir dan menerima segala bentuk penghinaan terhadap Nabi Muhammad, serta mengecam insiden Nice Prancis mengatakan, masalah ini harus dipahami dengan ajaran Islam yang melarang pembunuhan orang tak berdosa. Petinggi Prancis tidak dapat menyebut umat Muslim bertanggug jawab atas kejahatan di kota Nice.
"Jika kita berasumsi bahwa seorang Kristen telah melakukan kejahatan, maka tidaklah tepat bagi kita untuk meminta umat Kristiani dan agama Kristen bertanggung jawab," jelasnya.
Sekjen Hizbullah mengkritik pernyataan Presiden Prancis Emmanuel Macron tentang Islam dan kaum Muslim. "Tidak tepat jika berbicara tentang terorisme dan fasisme Islam," tandasnya.
Nasrallah menggarisbawahi bahwa tidak ada Muslim yang menyebut kejahatan yang dilakukan oleh Amerika Serikat dan Eropa di Aljazair, Libya, dan Afghanistan sebagai terorisme Kristen.
"Untuk menghormati Islam sebagai agama, maka istilah seperti terorisme dan fasisme Islam tidak perlu digunakan," imbuhnya.