Dimensi Surat Rahbar kepada Pemuda Prancis (4)
“Yang terjadi saat ini di negara-negara Eropa yang mengklaim beradab adalah, Jika seseorang memprotes, meragukan dan menolak isu holocaust, maka ia akan diadili. Sementara mereka yang dengan nyata menghina Nabi Muhammad Saw manusia suci dan unggul sepanjang sejarah, melecehkan kesucian satu setengah miliar Muslim, tidak ada yang boleh memprotes, mengapa kamu melakukan hal ini,” kata Ayatullah Khamenei.
Menyusul aksi penghinaan tabloid Charlie Hedbo Prancis terhadap Rasulullah Saw, pejabat dan sejumlah media negara ini serta sejumlah pemerintah Barat mendukung aksi ini dengan dalih kebebasan berekspresi. Ini sebuah sikap yang tidak rasional, menciptakan pertanyaan dan keraguan serius di benak masyarakat terkait fakta kebebasan di Barat.
Ada banyak contoh dalam hal ini yang menunjukkan perilaku ganda pemerintah Barat terkait kebebasan. Namun salah satu contoh nyata dan jelas yang mempertanyakan dan meragukan kekebasan berekspresi di Barat adalah larangan berkomentar menentang Holocaust.
Rahbar atau Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei dalam suratnya kepada pemuda Prancis seraya mengisyaratkan kontradiksi nyata klaim kebebasan berekspresi di Barat, mulai mempertanyakan masalah ini.
Ayatullah Khameneni di suratnya menulis, “Mengapa meragukan holocaust sebuah kejahatan? Dan jika seseorang menulis kasus ini maka ia akan dipenjara, namun menghina Nabi Muhammad Saw sebuah kebebasan? Dengan kata lain, jika menghina seorang nabi besar Ilahi dan tokoh terkemuka yang dihormati seluruh Muslim dan bahkan oleh non muslim di negara-negara Barat adalah diperbolehkan, lantas mengapa mengungkapkan pendapat dan mengkritik sebuah peristiwa sejarah seperti holocaust bukan saja tidak bebas tapi sebuah kejahatan serta layak dihukum.
Apa sebenarnya holocaust yang membuat pemerintah Barat sangat sensitif? Menurut klaim Zionis, selama perang Dunia Kedua, sebanyak enam juta warga Yahudi dibantai oleh NAZI Jerman. Mereka menyebutkan metode pembantaian ini sangat sadis, mulai dari memasukkan orang Yahudi ke kamar gas atau tungku api.
Pasca perang dunia kedua, Zionis dengan klaim yang senantiasa diulang oleh media sponsornya, menunjukkan mereka sepenuhnya terzalimi dan muncul emosi bahwa masyarakat dunia harus mengkompensasi gerakan anti Smith khususnya holocaust.
Ayatullah Khamenei mengisyaratkan poin ini dan mengatakan, “Zionis sejak awal gerakannya memilih metode propaganda di antaranya menunjukkan citra terzalimi dan tertindas. Untuk menunjukkan citra terzalimi, mereka menciptakan banyak kisah dan legenda, menebarkan berita dan melakukan upaya yang tak kenal henti.”
Hasil dari operasi syaraf ini adalah PBB tahun 1948 menyetujui pembentukan rezim Zionis Israel di bumi Palestina sehingga Yahudi yang tercerai berai dikumpulkan di sana. Dengan kata lain, rakyat Palestina dihukum karena kejahatan NAZI Jerman dan tanah air mereka dirampas oleh Zionis. Sejatinya ini sebuah langkah menggelikan, tidak manusiawi dan irasional serta termasuk lelucon politik bersejarah.
Umat Yahudi dengan menyalahgunakan kisah holocaust yang masih diragukan keabsahannya, selain menduduki Palestina juga meraih tujuan lain di antaranya adalah menerima ganti rugi dari Jerman yang sampai saat ini mencapai lebih dari 90 miliar dolar dan terus berlanjut. Dengan demikian, pembantaian Yahudi juga dikenal dengan “Industri Holocaust”.
Namun sejumlah pakar sejarah dan ilmuwan melakukan banyak riset mengenai holocaust seperti peristiwa sejarah lainnya. Mereka berhasil mengumpulkand ata yang menolak sebagian klaim Zionis di kasus ini. Sejumlah sejarawan meneliti dokumen dan bukti yang menunjukkan menki Hitler, pemimpin NAZI Jerman seorang anti Smith, bukan saja dia tidak menginstruksikan pembantaian Yahudi, tapi malah pemimpin Zionis memiliki kedekatan dengan dirinya dan di antaranya meminta pengiriman Yahudi ke Palestina.
Sementara terkait jumlah Yahudi yang dibunuh selama perang dunia kedua, juga ada banyak keraguan yang mencul. Louis Marschalko, penulis dan periset dari Hongaria di bukunya The World Conquerors: The Real War Criminals menulis, “...Asumsi bahwa korban Yahudi mencapai antara lima hingga enam juta orang sepenuhnya sebuah kelalaian dan tak berdasar. Paling banyak jumlah korban yang dapat diterima adalah satu hingga satu setengah juta orang, tak lebih dari itu. Karena pada dasarnya tidak lebih dari jumlah ini yang dapat diakses oleh Hitler ataupun Heinrich Himmler, di antara pemimpin utama NAZI Jerman.”
Lebih lanjut ia mengisyaratkan poin ini bahwa meski sejumlah Yahudi tewas di perang dunia kedua, namun hal ini tidak dapat dibandingkan dengan korban dari pihak Kristen yang terbunuh selama perang ini, meski keduanya patut disesalkan.
Zionis mengklaim bahwa selama Holocaust, sejumlah besar orang Yahudi terbunuh di ruangan yang penuh dengan gas beracun. Tetapi banyak peneliti telah membantah klaim ini berdasarkan penelitian dan bukti yang kredibel. Hanya sedikit orang seperti Profesor Robert Faurisson yang telah meneliti ini. Dia mengatakan dia telah mempelajari kamar gas selama 14 tahun dan membaca banyak dokumen, dan selama empat tahun dia telah mengunjungi tempat-tempat yang konon merupakan ruangan tempat orang Yahudi dibunuh oleh gas beracun.
Dia menggambarkan hasil penelitiannya sebagai berikut: "Selama bertahun-tahun, sia-sia saya mencari hanya satu orang yang selamat dari perang yang telah melihat kamar gas dengan matanya sendiri; Saya puas bahkan dengan satu bukti; Tapi saya tidak menemukan bukti yang sama. Bertentangan dengan apa yang saya temukan, ada banyak dokumen palsu yang tak terhitung jumlahnya. Setelah itu, saya menghadapi keheningan, pelecehan, permusuhan, penghinaan, dan akhirnya pemukulan dan hukuman. »
Dia dan cendekiawan lain, seperti pemikir Prancis Profesor Roger Garaudy, berpendapat bahwa membunuh orang Yahudi di kamar gas tidak mungkin. Sejarawan dan ahli yang telah mengunjungi kamp-kamp penahanan Yahudi juga mengakui bahwa Zionis tidak mengklaim bahwa tubuh mereka dikremasi karena berbagai alasan. Satu-satunya hal yang dicapai para peneliti ini adalah kremasi jenazah mereka yang meninggal karena demam tifoid atau tifus, sebuah praktik yang umum dilakukan di semua negara pada saat itu untuk mencegah penyebaran penyakit ke negara lain.
Tetapi pertanyaan tetap adalah mengapa pemerintah Barat tidak mengizinkan hasil penelitian ilmiah yang meragukan beberapa aspek Holocaust dipublikasikan, dan untuk mengomentari peristiwa misterius ini, mereka malah menjatuhkan hukuman? Tidak diragukan lagi bahwa Zionisme global memiliki pengaruh yang besar terhadap pemerintahan Eropa dan Amerika, sehingga pemerintah masing-masing negara tersebut menganggap dirinya wajib menyatakan secara terbuka dukungannya terhadap rezim Zionis dan kepentingannya serta mengupayakan realisasinya.
Dominasi ekonomi, propaganda, dan politik para pemimpin Zionis atas pemerintah Barat telah menyebabkan mereka menentukan posisi dan kebijakan mereka sepenuhnya untuk kepentingan rezim ini. Untuk alasan ini, mereka tidak mentolerir kritik terhadap Holocaust, meskipun didasarkan pada penelitian ilmiah dan dokumen sejarah serta bukti yang tidak dapat disangkal, dan dalam hal ini mereka bersedia menerima stigma pencegahan kebebasan berekspresi untuk kesenangan negara asing.
Sekaitan dengan ini, pada tahun 1990, Prancis mengeluarkan undang-undang yang mengkriminalkan skeptisisme tentang Holocaust dan menghukumnya. Undang-undang serupa telah diberlakukan di banyak negara Eropa. Prancis telah melangkah lebih jauh, melarang kritik dan oposisi terhadap ideologi berbahaya Zionisme, yang bahkan tidak diterima oleh banyak orang Yahudi. Sejauh ini, sejumlah ulama independen yang berani mengkritik Holocaust telah diadili dan dihukum.
Sejauh ini, sejumlah ilmuwan independen yang berani mengkritik Holocaust telah diadili dan dihukum. Di antara ilmuwan tersebut adalah Roger Garaudy, Robert Forison, Ernst Zündel, David Irving, Siegfred Warbeck, dan John Gundnos. Sejumlah peneliti lain yang mempertanyakan mitos Holocaust kehilangan pekerjaan dan posisi sosial serta diancam bahkan dipukuli.
Terkait ketidakadilan ini dan standar ganda Barat mengenai kebebasan berekspresi, Ayatullah Khamenei mengatakan, “Di sebuah negara seseorang memprotes mitos holocaust, mengatakan Saya menolaknya, maka ia akan dijebloskan ke penjara, dihukum karena mengapa Anda mengingkari sebuah peristiwa bersejarah! Sekarang, bahkan jika saya tidak berpikir demikian - ini nyata - baiklah, apakah menyangkal peristiwa sejarah yang nyata merupakan kejahatan? Jika tidak jelas bagi siapa pun, tidak terbukti dan dia menyangkal atau bahkan meragukannya, haruskah dia dijebloskan ke penjara?”
Jika perilaku pemerintah Barat khususnya Prancis terkait sebuah realita sejarah kita bandingkan dengan menghina Rasulullah Saw, maka dengan mudah kita dapat menyadari bahwa pembelaan petinggi Barat mendukung aksi memalukan ini sejatinya ditujukan untuk meningkatkan Islamofobia.
Rahbar terkait hal ini mengatakan, ““Yang terjadi saat ini di negara-negara Eropa yang mengklaim beradab adalah, Jika seseorang memprotes, meragukan dan menolak isu holocaust, maka ia akan diadili. Sementara mereka yang dengan nyata menghina Nabi Muhammad Saw manusia suci dan unggul sepanjang sejarah, melecehkan kesucian satu setengah miliar Muslim, tidak ada yang boleh memprotes, mengapa kamu melakukan hal ini.”