Okt 04, 2021 17:19 Asia/Jakarta
  • perlawanan Palestina
    perlawanan Palestina

Pada pembahasan sebelumnya telah dijelaskan tentang hubungan prakarsa referendum rakyat Palestina, dengan strategi perlawanan, dan pada pembahasan kali ini akan diulas substansi hukum dan politik prakarsa referendum nasional di Palestina.

Substansi politik masalah Palestina, dan substansi hukum-politik prakarsa Republik Islam Iran terkait penentuan nasib rakyat Palestina oleh mereka sendiri, termasuk poin yang menjadi perhatian para peneliti dan pengamat. Wakil Hamas di Iran, Khaled Al Qaddumi meyakini bahwa masalah Palestina, adalah masalah politik.
 
Sementara pengamat masalah rezim Zionis Israel, Hossein Rouivaran percaya bahwa prakarsa referendum rakyat Palestina merupakan solusi politik untuk menyelesaikan sebuah krisis, dan terkandung dalam kerangka manajemen krisis. Di sisi lain prakarsa Iran, juga memiliki sejumlah karakteristik hukum, karenanya Iran ingin menghadapi pihak lawan berdasarkan aturan internasional, resolusi-resolusi PBB termasuk Resolusi 194, prinsip-prinsip yang tercantum dalam Piagam PBB seperti hak menentukan nasib sendiri, dan prinsip demokrasi seperti referendum, sehingga pada akhirnya Israel akan menghormati pendapat rakyat Palestina.
 
Asumsi Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar adalah, Israel terbentuk sebagai hasil dari keputusan kekuatan-kekuatan imperialis, dan Inggris dalam masalah ini memainkan perang kunci, serta mendorong eksodus sebagian warga Yahudi ke Palestina. Akan tetapi apakah pendirian rezim haram ini mendapat persetujuan dari seluruh warga Yahudi dunia ? Realitasnya ternyata tidak seperti itu. Sejumlah banyak warga Yahudi seperti kaum ortodoks, Naturei Karta atau kelompok Yahudi Haredi yang anti-Zionis, dan orang-orang Samaria menentang keras prinsip, dan asas Zionisme. Oleh karena itu prakarsa Iran merupakan prakarsa hukum sebagai sebuah solusi politik, dan tujuannya adalah untuk menyelesaikan krisis Palestina, secara damai, dan dengan mematuhi prinsip hukum internasional.
 

 

Usulan Iran berlandaskan pada referendum nasional di Palestina, dan ini merupakan prakarsa hukum, dan bukan semata-mata pandangan media serta politik. Selain itu, prakarsa ini juga merupakan sebuah prakarsa operasional dan praktis yang mungkin dilaksanakan, dan seluruh prakarsa awal berdasarkan pada asumsi bahwa semuanya bisa diimplementasikan. Akan tetapi meski pada kondisi saat ini mungkin belum bisa dilaksanakan, tapi dia tetap punya muatan hukum, dan tendensi-tendensi media serta politik bisa disingkirkan darinya. Indikasi kekuatan politik, dan media dari prakarsa Iran ini akan tampak dari reaksi negara-negara Barat, apakah diam atau menentang. Mantan Duta Besar Iran untuk Lebanon, mendiang Ghazanfar Roknabadi mengatakan, “Selama bertugas di Lebanon saya sudah menyampaikan prakarsa referendum nasional di Palestina, kepada beberapa dubes negara Eropa, dan mereka menyambutnya, serta menganggap prakarsa ini sepenuhnya demokratis.”
 
Akan tetapi, kata Roknabadi, mereka menentang implementasinya, dan mengklaim bahwa prakarsa ini berarti menghapus Israel. Oleh karena itu harus dikatakan bahwa prakarsa ini sepenuhnya memiliki muatan hukum, dan bisa dilaksanakan. Tujuan final dari prakarsa Iran adalah menciptakan sebuah program yang bisa dilaksanakan, dan nyata di lapangan bagi rakyat Palestina. Republik Islam Iran, dengan maksud supaya rakyat Palestina bisa mendapatkan hak-haknya, mengusulkan sebuah program yang bertujuan mengembalikan hak rakyat Palestina, dan memusnahkan rezim Zionis melalui cara-cara demokratis. Pasalnya, di seluruh negara dunia diselenggarakan pemilu berasaskan hak warga negara.
 
Program referendum nasional di Palestina yang digagas oleh Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei adalah sebuah program politik dan hukum yang mendasar. Asas dari program ini adalah hukum internasional. Merujuk kepada suara rakyat untuk menentukan nasib sebuah bangsa adalah hak yang ditekankan oleh Piagam PBB, dan Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa referendum usulan Iran, memiliki landasan hukum, akan tetapi pada realitasnya ia juga merupakan prakarsa politik yang membutuhkan semacam kesepakatan, dan sambutan politik dari negara-negara berpengaruh di PBB.
 

 

Mosadegh Mosadeghpour, salah satu pengamat Dunia Arab dari Iran, yang menyetujui substansi hukum-politik prakarsa referendum, meyakini bahwa usulan Iran bisa dilaksanakan, dan sesuai dengan aturan yang dibuat oleh Barat, termasuk Piagam PBB. Pasalnya, Inggris tidak berhak menyerahkan wilayah Palestina ke pihak lain tanpa mendapatkan persetujuan rakyatnya. Prakarsa Iran telah mempecundangi para pengklaim pembela HAM, dan mereka harus mematuhi prakarsa ini. Usulan Iran akan membuktikan kepada masyarakat internasional bahwa Barat tidak mematuhi aturan internasional.
 
Prakarsa referendum nasional di Palestina digagas untuk menentukan masa depan Palestina oleh rakyatnya sendiri, berdasarkan prinsip-prinsip yang diatur hukum internasional. Negara-negara besar, dan adidaya yang memainkan peran di arena Palestina, dan konflik rakyat Palestina dengan rezim Zionis, telah menyampaikan prakarsa kepada negara dunia lain untuk mengakhiri konflik ini, di antaranya prakarsa Amerika Serikat yang terbaru yaitu Kesepakatan Abraham, atau prakarsa damai Arab yang diusulkan negara-negara Arab. Iran sebagai salah satu pemain asli dalam masalah Palestina juga mengajukan sebuah prakarsa untuk menyelesaikan masalah Palestina secara damai yang memusatkan perhatian pada peran rakyat Palestina sendiri melalui partisipasi masing-masing penduduk asli Palestina baik Yahudi, Muslim atau Kristen.
 
Prakarsa ini menjadi prakarsa resmi Republik Islam Iran yang tercatat di PBB, dan untuk mengenalkan serta menyebarkluaskannya, Kementerian Luar Negeri Iran sampai sekarang terus melanjutkan upayanya. Sehubungan dengan hal ini pejabat politik Iran di Mesir mengatakan, “Dari sisi hukum, melawan setiap rezim penjajah secara bersenjata atau tanpa senjata, berdasarkan prinsip membela diri, sepenuhnya diterima. Oleh karena itu strategi perlawanan di hadapan rezim semacam ini bukan saja berasaskan pengalaman politik, bahkan dari sisi hukum juga bisa dipertanggungjawabkan. Dengan itu, Iran melalui prakarsa penyelenggaraan referendum, berusaha mempertanyakan logika demokrasi Barat, dan penerimaan suara rakyat."
 

 

Substansi prakarsa Republik Islam Iran dengan cara tertentu mempertimbangkan sisi keislaman di samping prinsip umum demokrasi. Iran adalah pembawa panji diskursus perlawanan, dan tidak diragukan Palestina sebagai salah satu cita-cita pertama revolusi, tetapi menjadi kebijakan luar negeri utama negara ini. Iran juga penggagas wacana umum perlawanan. Dr. Sayid Reza Sadrolhosseini, pengamat Asia Barat asal Iran, terkait substansi terpenting prakarsa Iran mengatakan, “Jika kita ingin menilai substansi prakarsa ini, maka harus kita katakan bahwa prakarsa ini merupakan sebuah prakarsa kemanusiaan, hukum, politik dan media.”
 
Dimensi prakarsa ini dapat meliputi sejumlah bidang berbeda. Seluruh dimensi ini pada akhirnya akan berujung pada hak pemilik asli Palestina yaitu rakyatnya sendiri. Arahan Rahbar terkait substansi prakarsa referendum nasional di Palestina, sepenuhnya transparan. Ayatullah Khamenei dengan tegas menekankan berlanjutnya dukungan militer dan logistik atas kelompok perlawanan Palestina, di samping upaya politik. Dengan kata lain, Iran di arena perlawanan dan jihad, dan perjuangan bersenjata serta pengetahuan kemiliteran, juga di arena diplomasi, politik dan hukum internasional melalui referendum, tetap menjadi pendukung rakyat Palestina, dan cita-cita pembebasan Al Quds. (HS)