Solusi Masalah Palestina dalam Perspektif Iran (10)
Prakarsa Republik Islam Iran untuk menyelesaikan krisis di Palestina dalam bentuk referendum nasional pada dasarnya diboikot oleh media-media Barat dan Zionis serta media rezim Arab di kawasan.
Hal ini karena menilai prakarsa ini sangat berbahaya bagi opini publik, oleh karena itu, media-media tersebut menilai boikot sebagai langkah terbaik dan sebuah prioritas. Meski demikian, prakarsa yang selaras dengan strategi muqawama ini disusun berdasarkan aturan hukum internasional dan dicatat di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai sebuah dokumen resmi.
Meski ada upaya dari poros Ibrani-Barat- Arab untuk memboikot prakarsa ini, banyak pengamat isu Palestina optimis akan prakarsa ini di masa depan, karena dari satu sisi transformasi Palestina dan berlanjutnya kejahatan rezim Zionis serta dukungan Amerika Serikat menunjukkan bahwa selama strategi perlawanan sampai rezim Zionis dan sekutunya dipaksa untuk menerima rencana demokrasi ini adalah satu-satunya solusi. Di sisi lain, dengan meluasnya komunikasi dan keakraban opini publik dunia dengan rencana referendum nasional di Palestina, dukungan global terhadap rencana ini semakin meningkat.
Hossein Kanani Moghaddam, pengamat isu Palestina di Iran meyakini, prakarsa ini menciptakan peluang politik-hukum bagi arus muqawama. Alasannya, pertama prakarsa ini menjinakkan pendekatan arus pro perdamaian dan kedua membuat muqawama sebagai landasan utama prakarsa ini dan perlawanan bersenjata melawan rezim Zionis Israel diakui secara resmi. Oleh karena itu, melalui prakarsaini, muqawama juga memiliki solusi politik dan juga miilter, serta tidak memiliki batasan dalam berjuang. Dengan demikian rencana ekspansif seperti Kesepakatan Abad dan isu aneksasi Tepi Barat tertolak serta integritas bumi Palestina mulai dari wilayah laut dan darat menjadi acuan.
Terkait urgensitas implementasi prakarsa ini mengingat rencana ekspansif kesepakatan abad dan aneksasi Tepi Barat, Kanani Moghaddam meyakni bahwa rencana kesepakatan abad sebuah prakarsa yang benar-benar gagal, sebuah kesepakatan yang digagas oleh dua pihak, AS dan Israel, serta pihak utama absen, yakni Palestina. Namun prakarsa Iran, menyatakan pemain utama dan terpenting adalah pemilih asli bumi Palestina, yakni rakyat negara ini.
Ahmad Soroush Nejad, pengamat isu Palestina lainnya di Iran meyakini, prakarsa referendum nasional di Palestina akan melegitimasi senjata muqawama. Senjata perlawanan adalah kebutuhan lain dari rencana ini. Dalam hal muqawama, terutama perlawanan bersenjata dan perjuangan yang sedang berlangsung melawan rezim Zionis, bagian dari strategi ini adalah bekerja di media dan propaganda. Karena jika perlawanan tidak dapat membenarkan tindakan dan senjatanya di mata opini publik di seluruh dunia dan meningkatkan kebutuhan akan pertahanan yang sah di arena internasional, itu akan kekurangan legitimasi dan akan menemui kegagalan. Jika perlawanan dapat menawarkan solusi politik dan hukum untuk mengakhiri pendudukan di arena internasional, tentu saja akan disambut oleh opini publik. Tentu saja, di arena internasional, karena berbagai alasan, serta dukungan Barat untuk Israel, tidak mungkin untuk melaksanakan rencana ini tanpa kemenangan perlawanan. Oleh karena itu, satu-satunya solusi adalah perlawanan dan pertahanan bersenjata untuk merebut kembali wilayah pendudukan dan memaksa rezim Zionis untuk mengadakan referendum nasional.
Nasser Abu Sharif, wakil Gerakan Jihad Islam Palestina di Iran terkait prakarsa referendum nasional di Palestina dan hubungannya dengan strategi muqawama meyakini, "Prakarsa ini tidak bertentangan dengan strategi muqawama bersenjata, perlawanan bersenjata hal yang langgeng dan selama penjajah dan pendudukan tetap membayangi kehidupan warga Palestina, dan selama ada rezim zionis yang dipaksakan dan selama Gaza dan Quds dijajah, serta tembok pemisah masih berdiri di Gaza, maka muqawama akan terus berlanjut. Seluruhnya ini berarti bahwa rezim ilegal tidak ingin menerapkan keadilan, karena nafas pemeritahan ini adalah destruktif dan menghancurkan independensi serta kebebasan bangsa Palestina. Meski sejumlah rakyat Palestina dan sejumlah faksi sepakat atas pelaksanaan referendum, tapi tidak optimis dengan pembentukan sebuah pemeritnahan yang adil dengan mempertahankan hak bangsa Palestina. Karena Israel dibentuk untuk merampas Palestina. Oleh karena itu, penjajah tidak akan memberlakukan undang-undang yang menguntungkan rakyat Palestina, sehingga perlawanan harus terus dilakukan hingga tujuan pembebasan Palestina tercapai.
Omar Rahman, anggota Brookings Institution Doha Center, mengutip kegagalan rencana kompromi, kelanjutan dan konsolidasi pemukiman melalui apa yang disebut alat legislatif oleh rezim Zionis sebagai bukti bahwa rezim Tel Aviv tidak bersedia menghormati hak-hak dasar bangsa Palestina. Dia percaya bahwa dalam menghadapi apartheid Zionis terhadap orang-orang Palestina, membebaskan orang-orang Palestina dengan memberikan mereka hak-hak politik dan sosial dalam sebuah negara demokratis adalah alternatif terbaik dari upaya yang gagal selama beberapa dekade terakhir.
Tanpa menyebutkan rencana referendum nasional Palestina, Omar Rehman mengakui bahwa pemberian hak-hak politik dan sosial kepada orang-orang Palestina membebaskan mereka dari realitas penindasan yang tak terkendali saat ini, mencegah mereka dari tergusur dari tanah mereka, dan merampas hak mereka untuk menentukan nasib sendiri serta menjawab harapan dan keginginan mereka secara praktis.
Khalid Qadomi, perwakilan dari gerakan Hamas di Iran, sementara sepenuhnya menyetujui rencana referendum nasional di Palestina, menekankan pada kelanjutan dari perlawanan bersenjata dan pertahanan sipil terhadap Quds, dan berkata: Iran adalah pendukung paling penting dari perlawanan dan semua orang mengetahuinya. Prakarsa Iran juga didukung oleh Hamas dalam hal moralitas dan hak asasi manusia. Tetapi kita harus tahu bahwa demokrasi dan hak asasi manusia hanya ditekankan dalam kata-kata oleh para pemimpin Barat. Untuk alasan ini, rakyat Palestina bersikeras pada pilihan perlawanan sampai kebebasan penuh. Karena perlawanan terhadap pendudukan rezim Zionis adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dicabut dari rakyat Palestina dan kelompok bersenjata Palestina; Tentu saja, perlawanan rakyat Palestina dan kelompok bersenjata Palestina juga mempengaruhi dimensi politik, diplomatik, dan media. Alasan mendukung prakarsa Iran adalah sejarah Republik Islam dalam mendukung hak membela diri rakyat Palestina dan kelompok bersenjata Palestina.
Sayed Hossein Mousavian, seorang peneliti di Universitas Princeton, tentang situasi di Palestina, pendekatan Republik Islam Iran dan rencana referendum meyakini, Iran menekankan poin ini bahwa bukan Palestina, bukan Arab dan bukan Muslimin yang bertanggung jawab atas pembantaian yang diklaim terhadap warga Yahudi oleh rezim Nazi di Jerman. Iran meyakini bahwa korban atau ahli waris kejahatan tersebut harus menerima ganti rugi dari pejabat yang bertanggung jawab atas kejahatan ini di Eropa. Menurut Iran, ini tidak adil bahwa jutaan manusia dari satu bangsa lain, di benua lain diusir dari rumah mereka dan harta serta kehidupan mereka dirampas untuk ganti rugi kejahatan Nazi. Menciptakan jutaan korban baru untuk mengkompensasi kejahatan di masa lalu bertentangan dengan akal, moral, aturan internasional dan prinsip kemanusiaan. Hasil dari pandangan Iran ini adalah bangsa Palestina harus mendapat ijin kembali ke tanah air mereka, dan di bentuk sebuah pemerintahan dan demokratis dengan keragaman etnis dan agama.
Mosadegh Mosadeghpour, pengamat isu-isu dunia Arab di Iran meyakini,"Peluang penting dari pengguliran prakarsa referendum nasional adalah menentukan sebuah tujuan serius dan strategis bagi arus muqawama dan jihad. Muqawama dengan motivasi lebih kuat harus terus dilanjutkan hingga musuh kalah dan memaksa mereka untuk menyelenggarakan referendum dan menerima hasilnya. Kekuatan militer muqawama harus ditingkatkan sehingga peluang untuk melaksanakan prakarsa ini semakin besar..."
"...Selain itu, muqawama dengan menggulirkan prakarsa politik ini, akan menciptakan legalitas politik dan internasionalnya, serta tudingan bahwa mereka adalah kelompok teroris tidak akan berarti. Prakarsa referendum nasional di Palestina jika digulirkan di tingkat politik dan juga akademik serta komunitas cendikiwan seperti lembaga think tank, maka kemampuan lobi dan tawar menawar arus muqawama akan meningkat. Kesempatan referendum bagi gerakan perlawanan adalah untuk dapat menggunakan semua kelompok Palestina dan non-Palestina yang berbeda yang percaya pada demokrasi dan hak untuk menentukan nasib sendiri untuk membantu rakyat Palestina."