Solusi Masalah Palestina dalam Perspektif Iran (7)
Inisiatif demokrasi Iran bagi referendum Palesistina digulirkan ketika selama beberapa dekade terakhir, Amerika Serikat menggulirkan beragam prakarsa tak adil bagi isu Palestina.
Prakarsa terbaru AS terkait isu Palestina adalah rencana Kesepakatan Abad. Usulan kesepakatan abad oleh pemerintah Donald Trump yang disusun dengan keterlibatan langsung Israel dan di bawah pengawasan Menantu Trump, Jared Kushner serta dipaksakan kepada negara-negara Arab adalah rencana yang melanggar perjanjian PBB, ketentuan HAM internasional dan cita-cita Hak Asasi Manusia (HAM) karena mengabaikan hak-hak bangsa Palestina.
Sementara pemerintah Amerika selama beberapa tahun lalu, senantiasa mengklaim komitmen terhadap hukum internasional, tapi mengajukan prakarsa yang melanggar seluruh resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) terkait Palestina.
Di sisi lain, Republik Islam Iran mengajukan prakarsa referendum nasional di Palestina yang didasari hak dan hukum internasional serta demokrasi. Urgensitas prakarsa Iran ini dari sisi karena menyasar kesadaran publik dunia dan opini publik serta secara praktis membuktikan bahwa klaim pemerintah Amerika terkait dukungan terhadap hak bangsa Palestina di samping Zionis selama bertahun-tahun ini sekedar kebohongan propaganda. Selain itu, klaim kosong Amerika yang mengaku menghormati suara dan pandangan serta hak menentukan nasib bangsa Palestina adalah kebohongan dan Barat tidak berencana menjamin hak rakyat Palestina dan menjalankan hukum internasional di kasus ini.
Rencana kesepakatan abad dibangun di atas pilar palsu ini bahwa Palestina sejak awal dan sebelum pembentukan pemerintah ilegal Israel, sebuah wilayah kosong dan tanpa penghuni.
Rencana kesepakatan abad ini dan pencaplokan Tepi Barat didasarkan pada fakta bahwa Palestina telah menjadi tanah tak bertuan dan tak berpenghuni sejak awal dan sebelum pembentukan negara palsu Israel. Dengan argumen yang salah inilah rezim perampas mengklaim bahwa tanah-tanah ini harus dianeksasi ke Israel. Namun rencana Iran, yang disebut referendum nasional di Palestina dan berfokus pada pemilik utama tanah, meskipun menghadapi tantangan dalam implementasi dan tidak direalisasikan dalam jangka pendek, menimbulkan argumen alternatif yang akan mempertanyakan klaim Israel.
Rencana referendum nasional di Palestina sebenarnya adalah rencana melawan kesepakatan abad yang berupaya memberikan wilayah pendudukan kepada Israel secara sepihak dan ekspansionis. Rencana aksesi Tepi Barat, yang bahkan ditentang keras oleh Uni Eropa, bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum internasional dan resolusi yang disahkan di forum internasional seperti Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Tetapi rencana Republik Islam ini kebetulan didasarkan pada semua aturan dan hukum internasional, jadi itu sangat penting.
Faktanya rencana Iran terkait referendum nasional di Palestina tidak hanya berkaitan dengan sebagian wilayah Palestina. Urgensitas rencana ini di kondisi saat ini ketika isu kesepakatan abad tengah marak digulirkan, semakin besar. Rencana Iran dapat mencegah implementasi prakarsa para pengkhianat ini. Khususnya meski Trump kalah dari Joe Biden, masalah kesepakatan abad masih tetap eksis. Sepertinya pandangan kubu Demokrat AS terkait rencana aneksasi Tepi Barat sangat jelas, dan mereka mengumumkan penentangannya. Demokrat sepertinya menolak isu aneksasi Tepi Barat ke wilayah pendudukan. Sama seperti Uni Eropa yang telah mengumumkan penentangan mereka di bidang ini. Oleh karena itu, rencana Iran dapat menjadi sebuah benteng kokoh dan tidak dapat ditembus dalam melawan rencana Kesepakatan Abad dan perluasan wilayah rezim Zionis serta eskalasi agresi rezim ilegal ini.
Rencana aneksasi Tepi Barat dan Kesepakatan Abad, dua rencana yang ingin direalisasikan kubu arogan dengan poros Barat-Arab-Ibrani.
Republik Islam Iran adalah pencetus perjuangan yang komprehensif tanpa pandangan etnis atau agama yang sempit tentang masalah Palestina. Tidak boleh diabaikan bahwa Imam Khomeini-lah yang dengan inisiatif penamaan Hari Quds Internasional, mengubah masalah Palestina dari masalah Arab murni menjadi masalah internasional dan Islam, dan proses ini diperkuat melalui prakarsa mengadakan referendum nasional di Palestina oleh Ayatullah Khamenei, Pemimpin Tertinggi Revolusi Islam. Alasan Iran untuk masalah ini adalah kegagalan organisasi internasional untuk mewujudkan hak-hak Palestina.
Amerika Serikat tidak memperhatikan resolusi terkait Palestina dan kejahatan rezim Zionis. Oleh karena itu, Iran telah mengusulkan sebuah rencana berdasarkan hukum internasional untuk menyelesaikan krisis yang telah berlangsung selama puluhan tahun ini. Alasan untuk ini adalah untuk memverifikasi klaim dunia Barat dan pendukung rezim Israel dan untuk mengekspos standar ganda mereka. Barat tidak pernah percaya pada demokrasi dan referendum - jika tidak melayani kepentingannya. Fakta bahwa dunia Barat menekankan hak untuk menentukan nasib sendiri bagi komunitas Yahudi dan pada saat yang sama diam tentang hak untuk menentukan nasib sendiri bagi komunitas Palestina adalah tanda dari standar ganda ini.
Republik Islam Iran telah menyajikan rencana yang progresif dan legal berdasarkan prinsip-prinsip yang diterima secara internasional yang tidak dapat ditolak oleh negara manapun; Karena jika suatu negara menolak rencana Republik Islam Iran, maka ia telah menolak prinsip-prinsip demokrasi. Gagasan utama Republik Islam Iran selama tahun-tahun berdirinya adalah untuk merebut kembali wilayah pendudukan dan mencegah perluasan dominasi Zionis atas wilayah Palestina. Itulah sebabnya rencana referendum dirancang untuk mencapai tujuan ini, dan pada kenyataannya, sisi lain dari solusi perlawanan bersenjata, rencana referendum tidak bertentangan dengan solusi dan perlawanan militer. Sebaliknya, itu adalah pelengkap dan telah memperluas alat Front Perlawanan.
Sementara rencana referendum nasional di Palestina didasarkan pada aturan hukum internasional, rencana jahat kesepakatan abad ini bertentangan dengan aturan hukum internasional yang jelas. Pelanggaran resolusi PBB oleh kesepakatan abad ini adalah salah satu poin yang disetujui dan ditekankan oleh Mehdi Shakibaei, seorang ahli masalah Palestina. Dia percaya bahwa "kesepakatan abad ini sebenarnya adalah rencana yang komprehensif dan terpadu untuk situasi di Palestina yang mendukung rezim Zionis. Menurut rencana ini, pihak Palestina akan dihapus dari kesepakatan dan semua rencana sebelumnya terkait dengan krisis Palestina dan bahkan semua resolusi PBB akan dihapus dari kesepakatan. Dengan kata lain, baik rencana untuk membagi Palestina (Resolusi 181) maupun rencana dua negara, yang dalam beberapa hal mendapat dukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Uni Eropa, telah diabaikan dalam kesepakatan abad ini.
Dengan demikian, Kesepakatan Abad yang tidak memiliki landasan hukum dan hanya didasarkan pada kekuatan serta unilateralisme, secara praktis merugikan komunitas Palestina dan mengakui secara resmi kedaulatan Israel terhadap seluruh wilayah yang didudukinya serta setiap perlawanan bangsa Palestina akan dicap sebagai tindakan teroris.
Pencantuman Hamas di list kelompok teroris oleh Amerika Serikat dan kemudian oleh Arab Saudi juga dilakukan dalam koridor ini. Selain itu, tangan Israel untuk memantapkan pendudukannya akan semakin terbuka. Tak hanya itu, pengumuman Quds sebagai ibu kota Israel dan relokasi Kedubes AS ke kota ini serta pengakuan Washingtoan atas aneksasi Dataran Tinggi Golan dan aneksasi sebagian wilayah Tepi Barat juga dilakukan dalam koridor kebijakan ini. Namun berdasarkan rencana Iran, untuk menentukan nasib bangsa Palestina setiap langkah yang tidak merujuk pada suara umum dan pengambilan keputusan bangsa Palestina adalah tindakan ilegal.
Jika kesepakatan rencana abad ini dianggap sesuai dengan aturan dan pendekatan hukum dan normatif internasional, maka pendekatan pejabat Amerika dan rezim Zionis tentang Palestina didasarkan pada hukum rimba dan standar realisme agresif. Artinya, penggunaan kekuatan untuk mengembangkan; Pendekatan dan pandangan semacam ini memiliki banyak aspek negatif dan menimbulkan kemarahan dan rasa jijik di dunia Islam dan negara-negara bebas. Namun rencana Republik Islam dalam bentuk keadilan pusat dan hak untuk menentukan nasib sendiri sesuai dengan kerangka prinsip-prinsip demokrasi dan melengkapi pendekatan perlawanan untuk pembebasan Palestina.