Mengenal Para Ulama Besar Syiah (42)
Setelah meninggalnya Allamah Majlesi, pemerintah Safawi mulai menurun dan seiring dengan serangan bangsa Afghanistan ke Iran serta direbutnya ibu kota dinasti ini, yakni Isfahan, era pemerintahan Dinasti Safawi di Iran yang berlangsung hampir 200 tahun berakhir.
Mulai dari tumbangnya Dinasti Safawi hingga naiknya Nader Shah serta munculnya Dinasti Afshariyah, berlangsung selama 13 tahun. Selama tenggat waktu tersebut, Iran mengalami gajolak politik dan sosial karena kehilangan pemerintahan pusat dan invasi asing. Ketenangan yang dialami para ulama di era Safawi akhirnya hancur dan peluang tepat untuk mengajar dan melakukan riset juga musnah. Di kondisi seperti ini, Allamah Vahid Behbahani bangkit di medan ilmu dan fiqih serta meski beragam kesulitan yang ada, beliau mengambil alih bendera Ahlul Bait as dan berjuang dengan gigih.
Allamah Mohammad Baqir Vahid Behbahani adalah cucu dari Allamah Majlesi pertama dan lahir di Isfahan tahun 1117 H. Saat itu, Isfahan secara bertahap kehilangan posisinya sebagai pusat ilmu. Mohammad Baqir bersama keluarganya pindah ke Behbahan. Sebagian meyakini Mohammad Akmal Isfahani, ayah Allamah Behbahani pindah ke Behbahan untuk memerangi aliran Akhbariyah yang saat itu marak di kota Behbahan. Sementara sebagian lainnya meyakini ia pindah ke Behbahan karena kondisi rusuh sosial dan politik di kota Isfahan saat itu, karena saat itu kota Behbahan relatif tenang bagi para ulama.
Mohammad Baqir tumbuh di bawah bimbingan ayahnya dan menyelesaikan pendidikannya di kota Behbahan. Ia dikenal oleh warga dan ulama setempat dengan ketinggian ilmu dan keutamaan akhlaknya. Ia tinggal di kota Behbahan selama 30 tahun dan berusaha keras menyelesaikan pertikaian dan perbedaan di antara warga.
Allamah Behbahani yang mumpuni di sebagain besar ilmu-ilmu keislaman, meninggalkan banyak inovasi baru di bidang fiqih dan usul fiqih serta membangun pijakan dan ufuk baru di bidang ilmu-ilmu Syiah. Inovasi Allamah Vahid Behbahani tidak terbatas di usul fiqih saja, tapi di berbagai ilmu Islam lainnya seperti teologi, rijal (cabang ilmu hadis), hadis.
Mengingat pembahasan fiqih dan usul fiqih banyak penggunaannya oleh para ulama, merupakan kajian lain yang menjadi fokus Allamah Bebahani serta beliau banyak memberi inovasi di cabang ilmu ini serta menciptakan banyak perubahan di dalamnya. Selain itu, Allamah Behbahani juga memiliki banyak inovasi di ilmu rijal dan dirayah hadis.
Di era Allamah Vahid Behbahani, ilmu usul fiqih yang menjadi pijakan di ijtihad mengalami kemunduran dan kurang mendapat perhatian dari ulama serta cendikiawan. Allamah Behbahani bangkit membela dan mendukung cabang ilmu ini dan membangun dari awal ilmu usul fiqih serta menghidupkannya kembali. Usul fiqih adalah ilmu yang membahas kaidah dan prinsip istinbat hukum syar'i yang digunakan para mujtahid.
Oleh karena itu, usul fiqih adalah ilmu alat di mana seorang faqih (ulama fiqih) memanfaatkannya untuk mengistinbat hukum far'i (furu') dari sumber utama yakni al-Quran, sunnah, ijma' dan akal.
Allamah Vahid Behbahani menciptakan kebangkita di mana hasilnya adalah produksi puluhan faqih dan pakar usul di berbagai hauzah ilmiah. Guru Allamah Behbahani, yakni Sayid Sadruddin Razavi Qommi mengatakan, "Di zaman kami tidak ada seorang pun pakar usul fiqih". Namun dalam waktu singkat setelah guru besar ini, dan berkat upaya Allamah Behbahani, terjadi perubahan besar di bidang usul fiqih dan para murid beliau membuat kajian cabang ilmu ini semakin maju.
Allamah Vahid Behbahani dikenal getol melawan aliran Akhbari. Kaum akhbari adalah sekelompok ulama yang meyakini untuk memahami ajaran agama hanya cukup bersandar pada zahir riwayat dan hadis. Mereka meyakini empat kitab utama Syiah seluruhnya sahih dan menganggap siapa saja dapat merujuk pada hadis-hadis di sumber utama empat kitab ini untuk memahami hukum agamanya dan tidak membutuhkan untuk taqlid kepada mujtahid.
Faktanya kelompok Akhbari tidak membolehkan ijtihad dan taqlid kepada seorang mujtahid. Sementara kaum Usuli meyakini bahwa untuk menentukan kebenaran dan keabsahan sebuah hukum agama (syariat), diperlukan keahlian dan spesialiassi ilmiah yang cukup dan seseorang yang menguasai dengan cukup sumber agama dan pemanfaatan metodologi teliti ilimiah dan aqli yang dapat mengistinbatkan hukum agama di berbagai kasus.
Adapun mereka yang tidak memiliki spesialisasi ini harus merujuk kepada pakar dan spesialis. Masalah merujuk orang yang tidak memiliki spesialisasi kepada pakar sebuah kaidah rasional yang diterima di antara orang berakal. Usuli meyakini bahwa kaidah ini juga berlaku di bidang penentuan hukum agama.
Akhbari meyakini seluruh hadis di kutub arbaah (empat kitab rujukan utama Syiah) seluruhnya sahih, yakni apa yang dicantumkan dan diriwayatkan di kitab tersebut benar bersumber dari para maksum, dan siapa saja dapat merujuk secara langsung ke riwayat ini untuk memahami hukum agama. Sementara kaum Usuli meyakini bahwa pertama, seluruh hadis yang sampai kepada kita tidak seluruhnya sahih, tetapi validitas hadis dapat diukur dengan ketelitian khusus, termasuk memeriksa rangkaian perawi hadits tertentu. Selain itu, mereka meyakini kecenderungan terhadap zahir untuk memahami hadis akan menciptakan kekeliruan pada pemahaman agama, dan untuk memahami hadis sahih diperlukan seseorang yang memiliki keahlian ilmiah.
Setelah bertahun-tahun perjuangan ilmiah Allamah Behbahani melawan perkembangan aliran Akhbariyah, akhirnya perkembangan pemikiran ini berhasil dibendung. Allamah pada tahun 1159 H bersama keluarga dan familinya hijrah ke kota Najaf, Irak. Saat itu, beliau tidak menemukan guru yang dapat menambah pengetahuannya di kota Najaf. Akhirnya Allamah pergi ke kota Karbala. Di Karbala, pengaruh pemikiran Akhbariyah juga marak seperti di kota Behbahan.
Allamah menghadiri ceramah dan pelajaran ulama Akhbariyah serta mengkaji dari dekat pemikiran dan argumentasi mereka. Saat itu, Allamah meminta Sheikh Yusuf Bahrani, ulama besar Akbari untuk menyerahkan kelasnya selama tiga hari kepadanya. Sheikh Yusuf, sosok saleh dan berakhlak mulia, menerima permintaan tersebut. Allamah Behbahani selama tiga hari tersebut mengkritik ideologi Akhbari dan membuktikan kebenaran metodologi ijtihad. Pada akhirnya dua pertiga murid Sheikh Yusuf keluar dari Akhbariyah dan condong kepada metodologi usuli.
Salah satu keindahan sejarah ulama Syi'ah terlihat dalam sikap dan tindakan Allamah Vahid Behbahani dan Syekh Yusuf Bahrani, yang mewakili dua pemikiran yang berlawanan pada masanya. Terlepas dari kenyataan bahwa masing-masing ulama besar ini adalah salah satu ulama besar pada masanya dan memiliki banyak murid dan pengikut di antara orang-orang, tetapi karena pendidikan agama yang benar dan kesehatan jiwa, mereka menganggap diri mereka wajib mengikuti kebenaran.
Untuk itu, Sheikh Yusuf dengan mudah memberikan mimbar dan pelajarannya kepada ulama besar yang menjadi lawannya, dan ketika melihat keutamaan dan keilmuan Allamah Behbahani serta mendengar kekuatan argumentasinya, ia membuka jalan bagi orang-orang untuk berpindah ke aliran Usuli. Jika Sheikh Yusuf tidak memiliki jiwa yang sehat dan menghasut para pengikutnya, yang tidak sedikit, melawan pemikiran Usuli, maka konflik antara kaum Usuli dan Akhbari akan memasuki fase berbahaya.
Allamah Behbahani, selain sangat menentang pemikiran Akhbari, juga memiliki kritik yang tepat dan konstruktif terhadap ulama Usuli. Ia juga sangat memahami bidang pemikirannya yang diterima, pemikiran Usuli atau ijtihad dalam agama, dan sadar akan bahaya yang mengancam ijtihad yang benar. Sama seperti dia dengan tajam mengkritik Akhbari, dia juga berurusan dengan kemungkinan penyimpangan di antara kaum Usuli. Hubungannya dengan Saheb al-Madarek (Sayyid Muhammad ibn Ali Mousavi Ameli, 946-1009 H), yang adalah seorang Usuli dan ahli hukum, sangat terkenal. Oleh karena itu, Allamah Behbahani dengan sengaja berusaha mencegah ekstremisme dalam pemikiran Syi'ah dan mencapai kesuksesan besar.
Meskipun pemikiran akhbari, yang merupakan semacam kedangkalan ekstrim tentang hadits dan tidak mampu menjawab dalam masalah agama, namun keberadaan arus ini dan bentrokan intelektual antara mereka dan kaum Usuli, yaitu para pengikut ijtihad, telah menjadi berkah besar untuk Syiah. Kompilasi kumpulan besar narasi seperti "Wasa'il al-Shi'ah" dan "Bihar al-Anwar", kompilasi interpretasi narasi Al-Qur'an seperti interpretasi "Noor al-Thaqalin" dan interpretasi "Al -Burhan fi Tafsir al-Quran" ditulis pada masa dominasi pemikiran Akhbari. Juga, perdebatan dan diskusi antara kedua kelompok ini membantu memperdalam dan memperluas perdebatan yurisprudensi dan Usuli.
Usia Allamah Behbahani mencapai 90 tahun dan di akhir usianya, kelemahan menguasainya dan dia meninggalkan pengajaran dan diskusi dan hanya mengajarkan Syaharah Lum'ah. Dia menyebut Allama Bahr al-Ulum sebagai siswa terkemuka di Najaf Ashraf dan memintanya untuk mengatur pelajaran dan diskusi untuk mengurus urusan Syiah. Ulama besar Syiah ini meninggal di Karbala pada 29 Syawal 205 H setelah perjuangan seumur hidup dan dimakamkan di serambi Imam Husein (AS) di kaki para syuhada. Meski jasadnya disemayamkan seperti jenazah lainnya, tapi nama besarnya bersinar dan sejajar dengan nama tokoh besar. Cahaya yang dia bawa sampai kini masih membimbing para ulama dan pencari kebenaran.