Des 11, 2021 20:41 Asia/Jakarta
  • Tentara AS di Afghanistan (dok)
    Tentara AS di Afghanistan (dok)

Intervensi militer Amerika Serikat salah satu faktor yang menyebabkan eskalasi instabilitas di kawasan dan keamanan di Asia Barat telah diganggu oleh hubungan trans-regional dan persaingan yang tidak produktif.

Kehadiran militer Amerika Serikat di Asia Berat selama bertahun-tahun dan jangka panjang mendorong kondisi di kawasan semakin parah termasuk di Afghanistan, Irak, Suriah serta memicu tensi keamanan di kawasan Teluk Persia dan Laut Oman.

Perang 20 tahun Amerika Serikat di Afghanistan bukan saja merusak kekuatan imperialis Amerika Seriakt, bahkan berujung pada terbentuknya kutub di kawasan, di mana kini langkah politik Amerika disebut sebuah kekeliruan besar oleh banyak pengamat.

Walden Bello, pengamat militer di laporannya yang dimuat Middle East News menulis, keluarnya Amerika dari Irak dan Afghanistan menunjukkan berakhirnya strategi konfrontasi militer langsung untuk mengubah peta politik kawasan.

Tentara AS

Kaum liberal dan progresif di Amerika Serikat berharap bahwa mengakhiri komitmen militer di Afghanistan akan membuka jalan bagi perombakan besar-besaran kebijakan luar negeri AS; Tetapi banyak yang meragukan bahwa Amerika Serikat telah benar-benar "mempelajari pelajarannya" dan terus percaya bahwa Joe Biden sedang mencari alasan baru untuk mempertahankan kehadiran militer di wilayah tersebut.

Melihat kebijakan intervensionis AS di kawasan di masa lalu menunjukkan George W. Bush, yang frustrasi dengan keengganan ayahnya untuk mengakhiri Saddam Hussein selama Perang Teluk, melihat serangan itu sebagai langkah pertama dalam konflik untuk menggulingkan apa yang disebut negara-negara nakal, membujuk sekutu agar lebih setia, atau menggantinya dengan sekutu yang lebih kuat dan peringatan kepada saingan strategis seperti Cina bahwa mereka seharusnya tidak berpikir untuk bersaing dengan Amerika Serikat.

Pemerintah Bush seraya mengabaikan pelajaran di perang Vietnam dan langkah Inggris dan Uni Soviet di Afghanistan, mendorong Amerika ke dua perang di Asia Barat, di mana perang tersebut tidak ada potensi kemenangannya.

James Fallows, pengamat militer, saat puncak perang Irak menulis, "Bahkan pasukan komando pun terluka di perang ini. Kelangkaan sumber daya manusia, memaksa panglima militer mengirim pasukan cadangan dan pasukan Garda Nasional. Seperti yang diharapkan, spirit publik rusak."

"Ketika prospek kemenangan di medan perang memudar, dukungan publik untuk operasi militer di Irak dan Afghanistan telah berkurang."

Brack Obama yang berkuasa tahun 2009 dengan janji mengakhiri perang di Asia Barat, juga tidak terkecuali dari sikap ini. Di era kepemimpinan Presiden Obama, sebagian besar pasukan Amerika di Irak dipulangkan di awal pemerintahannya, tapi ia kembali mengirim ribuan marinir dan pasukan khusus ke Irak dengan alasan melawan Daesh (ISIS), sementara dukumen dan bukti menunjukkan bahwa Daesh muncul karena kehadiran Amerika di kawasan.

Obama juga melancarkan intervensi tanpa henti dalam perang saudara Suriah dengan mengirimkan pasukan khusus dan serangan udara, yang akhirnya menyeret Amerika Serikat ke dalam konflik multilateral.

Di Afghanistan juga, Obama menambahkan 33.000 tentara ke 68.000 pasukan, dengan hasil bahwa ia dapat "melumpuhkan" Taliban. Obama bahkan menyeret perang ke Pakistan. Perang merenggut nyawa ratusan warga sipil tak berdosa, dan militer AS menyebut kekejaman itu sebagai "kerusakan kecil".

Meski demikian, Obama membenarkan fakta ini bahwa kekuatan Amerika berkurang saat negara ini terjebak di Asia Barat setelah muncul ketidakpuasan di dalam dan luar negeri.

Salah satu faktor yang mempengaruhi naiknya Donald Trump ke tampuk kekuasaan adalah intensitas sentimen anti-perangnya, dan dia berulang kali mengingatkan orang-orang selama kampanye presiden 2015 dan 2016 bahwa saingannya dari Partai Demokrat, Hillary Clinton, pada tahun 2003 Ketika dia menjadi senator, dia memilih untuk menyerang Irak. Namun, ketika Trump menginjakkan kaki di Gedung Putih; Ia membuat Asia Barat semakin tidak stabil. Dukungannya yang luas untuk Israel merupakan faktor dalam menciptakan ketidakamanan di wilayah tersebut. Trump membuat marah dunia Muslim dengan memindahkan kedutaan AS dari Tel Aviv ke Yerusalem yang diduduki.

Mantan presiden AS Donald Trump

Trump juga memungkinkan Arab Saudi untuk campur tangan lebih brutal dalam perang saudara Yaman dengan membiarkan Arab Saudi bebas membeli senjata.

Satu bulan kemudian, Komando Pusat AS mengatakan tidak ada tanggal untuk mengakhiri intervensi AS di Suriah dan kehadiran 2.500 tentara AS di negara tetangga Irak.

Selama memimpin AS, Trump tetap mempertahankan ribuan tentara negara ini di Afghanistan dan hanya pada Februari 2020, ia menginstruksikan militer Amerika keluar dari Kabul pada November 2020 hanya demi merealisasikan janji pemilunya.

Tetapi pada pagi hari Jumat, 2 Juli 2021, dalam keheningan total, sesuatu terjadi yang, hanya beberapa jam kemudian, memenuhi seluruh dunia, yaitu pengumuman yang tidak terduga tentang penarikan pasukan AS dari Pangkalan Udara Bagram di Afghanistan.

Pada pertengahan April tahun ini, Biden mengumumkan di Situation Room Gedung Putih, ruangan tempat putra George W. Bush mengumumkan dimulainya invasi ke Afghanistan pada Oktober 2001, keputusan pemerintahannya untuk menarik semua pasukan AS dari Afghanistan. Presiden mengatakan penarikan itu akan selesai pada 9/11/2021, peringatan kedua puluh insiden 9/11 yang menyulut invasi ke Afghanistan.

Biden di pidatonya yang disiarkan televisi Amerika mengatakan, "Sudah waktunya kita mengakhiri perang terpanjang di sejarah Amerika. Sudah tiba saatnya pasukan Amerika kembali ke rumah mereka...Saya saat ini merupakan presiden keempat yang menyaksikan kehadiran pasukan AS di Afghanistan. Dua presiden dari kubu Republik dan dua dari Demokrat. Saya tidak akan menyerahkan tugas ini kepada presiden kelima."

Keputusan Biden untuk keluar dari Afghanistan mendapat respon beragam di dalam negeri. Aktivis anti-perang dan sebagian pendukung Biden senang atas keputusan ini bahwa ia secara resmi mengakhiri perang terpanjang di sejarah Amerika.

Rahbar atau Pemimpi Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei di pesannya kepada umat Muslim seluruh dunia bertepatan dengan ibadah haji, seraya mengisyaratkan pemahaman keliru Amerika atas kehadirannya di Afghanistan mengatakan, "Pemahaman keliru ini menyebabkan Amerika Serikat dipermalukan di Afghanistan, dan kemudian kedatangan yang penuh gejolak dua puluh tahun yang lalu, dan penggunaan senjata, bom, dan tembakan terhadap warga sipil sipil yang tidak berdaya membuat dirinya sadar tengah terjebak di kubangan. Dan menarik pasukan dan peralatan militernya dari sana."

Rahbar Ayatullah Khamenei

Adalah fakta bahwa Amerika Serikat telah berulang kali dipermalukan di Afghanistan. Penghinaan memuncak ketika Presiden AS Joe Biden mengakui setelah 20 tahun menduduki Afghanistan bahwa dia tidak ingin lagi melihat tentara Amerika terbunuh di Afghanistan. Biden, malu dengan kematian lebih dari 2.400 orang dan melukai hampir 21.000 tentara Amerika, menarik semua pasukannya dari Afghanistan sehingga rakyat Amerika dapat menyaksikan kekalahan terbesar negara mereka di era modern sejak Perang Vietnam.