Lintasan Sejarah 24 Juni 2022
Jun 24, 2022 14:35 Asia/Jakarta
Penandatanganan Perjanjian Hudaibiyah
1437 tahun yang lalu, tanggal 24 Dzulqadah 6 HQ, dilakukan penandatanganan perjanjian Hudaibiyah.
Pada waktu itu, Rasulullah beserta sekitar 1400 kaum Muslimin, dengan tanpa membawa perlengkapan perang, berangkat dari madinah ke mekah dengan niat untuk menunaikan ibadah umrah. Namun di tengah perjalanan, di sebuah kawasan bernama Hudaibiyah, rombongan Rasulullah dicegat kaum Musyrikin.
Setelah melalui perundingan panjang antara kedua pihak, akhirnya disepakati untuk ditandatangani perjanjian Hudaibiyah, yang di antaranya berisi ketetapan bahwa tahun itu, kaum Muslimin tidak boleh memasuki Mekah untuk menunaikan ibadah haji, namun tahun depan larangan tersebut akan dicabut.
Perjanjian Hudaibiyah merupakan keberhasilan diplomatis besar yang dicapai kaum Muslimin. Dua tahun kemudian, yaitu tahun delapan hijriah, kaum Muslimin bahkan berhasil menguasai kota Mekah tanpa terjadi pertumpahan darah.
Pemberlakuan Situasi Darurat Militer Pasca Pembubaran Parlemen
114 tahun yang lalu, tanggal 3 Tir 1287 HS, Mohammad Ali Shah Qajar memberlakukan kondisi darurat militer di Tehran pasca pembubaran parlemen.
Sehari pasca pembubaran parlemen Iran, Mohammad Ali Shah Qajar mengumumkan dan memberlakukan kondisi darurat militer di Tehran. Hal ini dilakukannya dengan tujuan menciptakan ketakutan di antara warga dan tidak ada organisasi yang melakukan rapat atau demonstrasi. Berdasarkan perintah ini, tentara Kazakhstan yang dipimpin panglima Rusia mereka diperintahkan untuk menangkap setiap orang yang bersenjata di kota.
Sesuai dengan perintah ini, seluruh bentuk pertemuan dan kumpul-kumpul dilarang dan polisi berhak menembak ke arah warga yang ingin berkumpul. Shah juga bersedia memberikan amnesti massal kepada warga asal tidak melakukan aksi mogok di kedutaan-kedutaan besar atau komplek makam suci Abdolazim di kota Rey.
Apa yang dilakukan Shah ini bertujuan membohongi mereka yang masih menuntut diberlakukannya Revolusi Konstitusi.
Uni Soviet Blokade Berlin
74 tahun yang lalu, tanggal 24 Juni 1948, Uni Soviet berlakukan larangan keluar-masuk ibukota Jerman, Berlin, melalui jalur darat.
Manuver Soviet itu menjadi tahap awal dimulainya Perang Dingin dengan Amerika Serikat (AS) dan negara-negara Eropa Barat, yang juga menduduki Jerman usai Perang Dunia Kedua.
Tentara Soviet pertama kali masuk ke Berlin dan berhasil menghancurkan pusat pemerintahan Nazi Jerman di akhir Perang Dunia Kedua 1945. Namun usai perang, pengelolaan kota itu terbagi dalam empat zona.
Soviet (yang kini kembali bernama Rusia) menguasai hampir sebagian besar wilayah Berlin di bagian tengah dan timur. Sedangkan kendali atas bagian barat Berlin dibagi rata oleh tiga kekuatan pasukan Sekutu, yaitu AS, Perancis, dan Inggris.
Namun, seiring dengan meruncingnya perbedaan ideologi politiknya dengan AS dan negara-negara Eropa Barat, Soviet berinisiatif memblokade Berlin. Blokade itu bertujuan agar kawasan tengah dan timur tidak sampai dicaplok oleh Barat.
Blokade darat diberlakukan Soviet antara Juni 1948 hingga Mei 1949. Namun, sejak saat itu AS dan sekutu-sekutunya mengirim pasokan logistik ke Berlin melalui pesawat udara.
Dua tahun setelah blokade dicabut, Soviet akhirnya membangun rangkaian tembok pembatas di Berlin sehingga Jerman terpecah menjadi dua, yaitu Jerman Barat dan Jerman Timur, sebelum kembali bergabung pada 1990.[]