Jan 11, 2023 21:37 Asia/Jakarta
  • Sahib al-Jawahir
    Sahib al-Jawahir

Ayatullah Muhammad-Hasan al-Najafi atau yang dikenal dengan Sahib al-Jawahir adalah ulama besar Syiah dan jenius abad 13 Hijriah.

Ayatullah Muhammad Hasan al-Najafi atau Sahid al-Jawahir, ulama besar dan jenius abad 13 Hijriah di zamannya memiliki kelayakan penuh sebagai marja Syiah. Ia adalah murid dari Sheikh Ja'far Kashif al-Ghita dan Sayid Muhammad Jawad 'Amili, Sahib Miftah al-Karama. Ayatullah al-Najafi dikenal sebagai Sahib al-Jawahir karena karya besarnya buku ensiklopedia "Jawahir al-Kalam".

Pengaruh besar ulama ini di fiqih Syiah sedemikian rupa sehingga setelah dirinya banyak ulama yang mengikuti metodenya dan fiqih Syiah bahkan dikenal dengan fiqih Jawahiri, dan metode ini sampai saat ini masih banyak digunakan serta tetap eksis.

Sahib Jawahir

Leluhur Sahib al-Jawair berasal dari kota Isfahan, Iran. Kakek ketiganya hijrah dari Isfahan ke kota Najaf di Irak karena kecintaannya untuk tinggal di sisi kompleks makam Imam Ali bi Abi Talib as dan belajar ilmu agama. Kemudian kakek Sahib al-Jawahir menjadi ulama terkenal kota Najaf. Dengan demikian keluarganya menetap di kota Najaf.

Ayah Muhammad Baqir al-Najafi dan ibunya adalah muslimah yang salehah dan bertakwa dari keluarga ulaman serta dari keturunan Rasul / Sayid dari Al Hijab di Hilla. Tahun kelahiran Sheikh Muhammad Hassan disebutkan sekitar tahun 1202 H.  Ia belajar ilmu-ilmu dasar dari guru-guru seperti Sheikh Hasan, Sheikh Qasim A'al Muhyiddin dan Sayid  Hossein Shuqarai Amoli belajar dan kemudian mendapat manfaat dari kehadiran guru besar Karbala dan Najaf seperti Sayid Muhammad Javad Amili, (Sahib Miftah al-Karama), Sheikh Jafar Kashif al-Ghita dan Sheikh Musa A'al-Kashif al-Ghita. Sheikh Muhammad Hassan dikagumi dan diperhatikan oleh para gurunya karena kecerdasan dan ketekunannya yang unik, dan segera pada usia 25 tahun, dia mencapai gelar ijtihad dan duduk di kursi guru dan ustadz.

Dalam program-program sebelumnya, kami menyebutkan bahwa seminari-seminari Syiah mengalami stagnasi dan melemah pada abad ke-11 dan ke-12, tetapi pada abad ke-13, berkat upaya ulama besar seperti Allamah Wahid Behbahani dan Syarif al-Ulama Mazandarani di Karbala dan Najaf, seminari Syiah (Hauzah Ilmiah) kembali berkembang. Dengan wafatnya Syarif al-Ulama Mazandarani, Seminari Karbala kehilangan sentralitas akademiknya, dan setelah itu, seminari Najaf menjadi pusat perhatian para ulama dan cendekiawan karena kehadiran Sahib al-Jawahir. Nyatanya, Sheikh Muhammad Hasan Najafi adalah tokoh yang menyempurnakan gerakan ilmiah dan yurisprudensi baru yang didirikan di Karbala.

Ada berbagai alasan mengapa seminari mencapai kemajuan dan kemakmuran yang signifikan di era ini. Salah satu alasannya adalah bahwa setelah perselisihan panjang antara dua pemerintah Ottoman dan Iran atas kepemilikan Irak, dengan mediasi beberapa ulama Syiah, dalam waktu singkat keamanan dan ketenangan politik berhasil ditegakkan di wilayah Islam ini. Keamanan ini membuat para ulama dan pecinta mazhab Ahlulbait as dapat belajar, mengajar, dan menulis dengan relatif tenang. Juga, di bawah bayang-bayang keamanan yang ada dan peningkatan perjalanan Syiah ke Irak, situasi ekonomi seminari meningkat sampai batas tertentu dan ini juga efektif dalam kemakmuran seminari.

Dari zaman gemilang itu, banyak karya-karya abadi dan langgeng yang tersisa, yang bisa disebutkan dari buku-buku fikih dan ensiklopedia besar seperti Kashf al-Ghita, Miftah al-Karama, Riad al-Masail, al-Makasib dalam fikih. Sementara itu, di bidang ilmu usul fikih, ada sejumlah karya besar seperti Qawanin, Fusul, Dzawabid, dan Faraid al-Usul. Di antara karya-karya ini, Jawahir al-Kalam karya Sheikh Muhammad Hassan dalam mata pelajaran fikih dan Faraid al-Usul karya Sheikh Murtadha Ansari dalam ilmu usul fikih memiliki nilai urgen lebih.

Sheikh Mohammad Hasan al-Najafi mendapat gelar "Sahib Jawahir" karena mengarang buku yang sangat besar dan sangat penting "Jawahir al-Kalam". Ulama terkenal ini, selain Jawahir Kalam, juga menulis karya lain tentang mata pelajaran Haji, Zakat , Bersuci, Shalat, Fara'id (kewajiban), Warisan, dll. Terkadang semua dan terkadang sebagian dari karya-karya ini telah diterbitkan di Iran dan negara lain dengan nama "Najah al-Ibad".

Sahib Jawahir sangat memperhatikan pendidikan murid-muridnya. Bidang kajiannya merupakan pusat berkumpulnya para ulama dan santri dari negeri-negeri Islam yang dekat maupun yang jauh. Telah dilaporkan bahwa ribuan orang menggunakan pelajarannya dan tidak ada kota Syiah di mana salah satu murid dari ulama besar ini tidak sampai ke sana sebagai referensi untuk masalah-masalah yang dihadapi warga. Ahli hukum Syiah terkenal ini, meskipun dia adalah seorang guru yang hebat dan terkenal, memperlakukan murid-muridnya dengan sangat sopan dan hormat dan menghormati mereka karena mereka telah menginjakkan kaki di jalur untuk mempromosikan aliran Ahlulbait as.

Sahib Jawahir khususnya memperlakukan dan mempersiapkan murid unggulannya untuk menjadi marja di berbagai wilayah. Misalnya ketika salah astu murid unggulannya bernama Sheikhr Muhammad Hasan Aal Yasin dikirim ke Baghdad, warga Baghdad memperlakukannya dengan buruk, dan bahkan sebagian dari mereka mendatangi Sahib Jawahir di Najaf untuk memberikan zakat dan khumusnya. Sheikh al-Najafi dengan menyesal dan sedih menolak uang yang jumlahnya besar tersebut dan berkata, "Apakah tidak ada sosok seperti A'al Yassin di Baghdad, sehingga kalian membawa uang besar ini ke Najaf?"

Sikap Sheikh al-Najafi ini membuahkan pengaruh yang baik di daerah, dan warga Baghdad kemudian menyadari adanya ulama yang layak di kotanya dan untuk selanjutnya warga Baghdad menghormati Sheikh A'al Yassin, dan mereka menemukan marja yang layak untuk masalah syar'i dan sosial mereka.

Selama masa muda Sheikh Najafi, terlepas dari perdamaian politik relatif dan keamanan sementara yang diciptakan untuk wilayah Irak, karena serangan budaya Wahabi Arab Saudi dan upaya kelompok Akhbari terhadap yurisprudensi Syiah, masyarakat Syiah mengalami kondisi budaya khusus. Akhbarisme mencakup spektrum sikap yang, dalam keadaan paling ekstremnya, menganggap riwayat-riwayat yang sempurna sebagai satu-satunya sumber hukum dan tidak menerima akal dan konsensus sebagai sumber.

Aliran ini bahkan tidak menganggap mungkin bagi orang yang tidak bersalah untuk memahami Alquran dan percaya bahwa ayat-ayat Alquran harus dipahami hanya melalui hadits. Dengan menafikan peran akal, kaum Akhbari menganggap ijtihad dalam agama sebagai haram dan menetapkan bahwa haram bagi orang untuk meniru para ahli hukum (ahli fikih). Dengan cara ini, serangkaian masalah masyarakat dengan judul "syubhat/ hal-hal yang tidak jelas" tetap tidak terjawab. Pemikiran Akhbari dapat menyebabkan masyarakat Syiah menjadi dangkal secara destruktif, dan para ulama Syiah mengenali bahaya ini dengan baik dan menanganinya secara ilmiah.

Di sisi lain, Wahabi dengan gagasan takfiri menyerang seluruh mazhab Syiah dan melakukan banyak kejahatan. Juga, propaganda keras mereka, yang menurut para ahli, tidak akan mungkin terjadi tanpa dukungan pemerintah Barat, dapat menyebabkan kelompok Muslim menyimpang dan merusak fondasi. Dalam situasi seperti itu, ulama muda dan rajin Syiah itu berpikir untuk menulis buku fikih yang komprehensif dan argumentatif untuk menghalangi jalan pemikiran yang bias dan penyimpangan. Dia mencurahkan tiga puluh tahun terbaik dalam hidupnya, dari usia 25 hingga usia 55 tahun, untuk kompilasi "Jawahir al-Kalam", karya terbesar fikih Syiah, untuk menjaga batas-batas aliran Ahlulbait as, dan karena alasan ini, dia dikenal sebagai "Sahib al-Jawahir" dan "Sheikh al-Fuqaha".

Sahib Jawahir, seperti banyak ulama dunia Syiah lainnya, tidak membatasi dirinya pada ceramah, diskusi, dan tulisan, tetapi menganggap dirinya bertanggung jawab atas masyarakat Syiah dan masalah serta kendala sosial, politik, dan budaya mereka. Rumahnya adalah tempat orang-orang datang, dan orang-orang Syi'ah berpaling kepada mujtahid saleh dan ahli hukum terkenal ini tidak hanya untuk pertumbuhan dan pengembangan spiritual, tetapi juga untuk masalah materi dan duniawi mereka.

Dia jujur ​​dan baik dalam melayani masyarakat dan selalu berada di sisi mereka dalam masalah mereka. Misalnya, ketika dia muak dengan kekurangan air di masyarakat Najaf, dia memerintahkan penggalian sungai untuk mengalirkan air Furat ke Najaf. Menggali aliran ini, yang sebenarnya merupakan saluran yang lebar dan dalam, adalah tugas yang sangat melelahkan yang membutuhkan anggaran besar, tetapi Sahib Jawahir menyelesaikannya dengan kemauan yang patut dicontoh. Aliran ini, yang kemudian dikenal sebagai "Sungai Sahib Jawahir", menyelamatkan Najaf dari ketiadaan air saat itu. Dia juga melakukan upaya besar dalam pembangunan dan perbaikan banyak bangunan keagamaan di Karbala dan Najaf.

Pengaruh yang ditinggalkan Sahib Jawahir terhadap fikih Syiah, menurut pendapat para ahli fikih besar seperti Imam Khomeini, mendiang pemimpin Revolusi Islam Iran, merupakan dampak yang luar biasa dan menentukan. Beberapa ahli percaya bahwa pandangannya tentang otoritas fikih, serta metode yang ia tetapkan dalam fikih, membuka jalan bagi pembentukan pemerintahan agama. Dalam program mendatang, kita akan mengkaji posisi ensiklopedia besar Jawahir al-Kalam dan juga pengaruh fikih Jawaheri terhadap fikih Syiah.