Apr 12, 2017 14:11 Asia/Jakarta

Pada pertemuan sebelumnya kami telah jelaskan mengenai arti dari Wetland atau lahan basah. Lahan basah atau wetland adalah wilayah-wilayah di mana tanahnya jenuh dengan air, baik bersifat permanen (menetap) atau musiman.

Wilayah-wilayah itu sebagian atau seluruhnya kadang-kadang tergenangi oleh lapisan air yang dangkal. Digolongkan ke dalam lahan basah ini, di antaranya, adalah rawa-rawa (termasuk rawa bakau), paya, dan gambut. Air yang menggenangi lahan basah dapat tergolong ke dalam air tawar, payau atau asin.

 

Lahan basah merupakan wilayah yang memiliki tingkat keanekaragaman hayati yang tinggi dibandingkan dengan kebanyakan ekosistem[1]. Di atas lahan basah tumbuh berbagai macam tipe vegetasi (masyarakat tetumbuhan), seperti hutan rawa air tawar, hutan rawa gambut, hutan bakau, paya rumput dan lain-lain. Margasatwa penghuni lahan basah juga tidak kalah beragamnya, mulai dari yang khas lahan basah seperti buaya, kura-kura, biawak, ular, aneka jenis kodok, dan pelbagai macam ikan; hingga ke ratusan jenis burung dan mamalia, termasuk pula harimau dan gajah.

 

Mengingat lahan basah kerap disamakan dengan daerah yang memiliki air dangkal dan menjadi tempat berkembang biak serangan dan penyebaran penyakit seperti malaria, maka lahan basah biasanya disebut pula dengan rawa-rawa.  Oleh karena itu, pembebasan manusia melalui drainase dan konversi lahan basah untuk lahan pertanian, bukan saja tujuan awal masyarakat pedesaan  dan instansi pemerintah, namun menurut teladan pembangunan ekonomi serta di mata pengambil keputusan elit politik hal ini menjadi simbol kemajuan.

 

Fenomena ini terus berlanjut, dan wacana baru seperti keanekaragaman biologis dan pembangunan permanen jarang berhasil mengubah pendangan tradisional. Kehancuran lahan basah tidak hanya terjadi di negara-negara sedang berkembang, bahkan di negara maju perluasan area pertanian juga dilakukan dengan menghancurkan lahan basah.

 

Oleh karena itu, baik negara sedang berkembang maupun maju memiliki kesamaan karakteristik. Misalnya Amerika Serikat  sejak era kolonialisme hingga kini telah kehilangan 87 juta hektar lahan basahnya. Sementara lahan basah yang tersisa pun mengalami ancaman kerusakan akibat dampak kemajuan industri. Padahal undang-undang air bersih (Clean Water Act) di Amerika justru yang bertanggung jawab mengawasi pengerukan dan penimbunan lahan basah serta memperioritaskan pengorganisirannya, namun sepertinya cukup terlambat untuk mengganti peluang yang hilang. Riset menunjukkan meski lahan basah bisa dihidupkan kembali, namun begitu karakteristik awalnya akan musnah dan ia berubah menjadi sebuah tempat penampungan air seperti danau buatan.

 

Kehancuran sebuah lahan basah merupakan indikasi awal kerusakan bumi. Hancurnya lahan basah juga menunjukkan kehidupan dan manajemen keliru. Hancurnya sebuah lahan basah membuat sebagian kapasitas bumi hilang. Hal ini juga memicu fenomena imigrasi, musnahnya lapangan pekerjaan, hancurkan sektor industri pertanian dan perikanan, musnahnya sumber makanan permanen serta berbagai kapasitas sosial lainnya seperti pariwisata dan merebaknya sejumlah penyakit kulit dan pernafasan.

 

Jika lahan basah kering, air bawah tanah di sekitarnya pun kering dan ketika fungsi lahan basah hilang, ini berarti upaya penggantinya akan menelan biaya besar dan waktu yang panjang. Keterlambantan aksi dan ketidakpedulian terhadap berbagai peringatan akan membuat bagian bumi lebih besar musnah.

 

Menurut pakar, salah satu fungsi penting lahan basah adalah mencegah badai pasir dan debu. Hal ini dikarenakan lahan basah mengembunkan kelembaban yang besar ke udara dan mencegah timbulnya fenomena badai pasir. Sebaliknya menghancurkan lahan basah akan meningkatkan peluang munculnya badai pasir dan debu. Lahan basah memiliki kadar garam dan endapan yang halus, ketika lahan tersebut kering  maka akan berubah menjadi sumber debu.

 

Sejatinya lahan basah yang telah kering menjadi sumber bahan badai debu dan pasir. Menurut hasil riset NOAA Amerika Serikat yang digelar di Irak, sebab utama meningkatnya volume badai pasir selama beberapa tahun terakhir, khususnya badai debu dan pasir di Iran, adalah meluasnya padang pasir di wilayah timur Irak, khususnya di daerah Al Jazira.  Wilayah ini terletak di dekat Baghdad dan di antara sungai Furat dan Dajlah. Sebelumnya daerah ini memiliki banyak lahan basah, namun kekeringan yang berkesinambungan di tahun 1990 dan 1991.

 

Musik kering tersebut dibarengi dengan menurunnya curah hujan dan persentasi kelembaban dan faktor lingkungan seperti pembagian air di hulu sungai Furat oleh Suriah, pembangunan sejumlah bendungan di sungai Dajlah oleh pemerintah Turki, penggunaan air yang berlebihan oleh warga Irak untuk pertanian membuat lahan basah di wilayah gurun khususnya Al Jazira sepenuhnya kering.

 

Di sisi lain, tumbuhan di daerah ini akibat kekeringan yang beruntun, ternak dan yang lebih penting perang Irak dan Amerika Serikat, musnah total. Dengan demikian, unsur-unsur bagi pembentukan lahan basah yang sangat halus dengan mudah disapu angin utara (Shamal) dan negara-negara Timur Tengah dilanda fenomena merugikan badai debu dan pasir.

 

Berbagai riset oleh pakar menunjukkan bahwa krisis badai pasir dan debu di Timur Tengah menjadi kendala serius ketika intervensi dan campur tangan manusia di lahan basah Hoor al-Azim semakin besar. Hoor al-Azim merupakan lahan basah permanen Iran dan Irak serta satu-satunya lahan basah yang tersisa di Bain al-Nahrain. Lahan basah ini terletak di perbatasan Iran dan Irak.

 

Lahan basah Bain al-Nahrain mencakup tiga bagian penting, Hoor Tengah, Hoor al-Hammar dan Hoor al-Hawizah (al-Azim). Dari tiga bagian tersebut Hoor Tengah dan Hoor al-Hammar sepenuhnya berada di wilayah Irak, sementara Hoor al-Azim dua pertiganya milik Irak dan sepertinya milik Irak. Lahan basah Hoor al-Azim memiliki luas 118 hektar dan terletak di barat Provinsi Khuzestan di ujung danau Karkheh dan berada di wilayah perbatasan Dasht-e Azadegan.

 

Lahan basah Hoor al-Azim ini berfungsi menahan debu dan mencegah masuknya pasir serta debu ke wilayah lain. Oleh karena itu, keringnya lahan basah Hoor al-Azim baik di Iran maupun di Irak meningkatkan volume badai pasir dan debu. Dengan demikian para pakar lingkungan hidup meyakini sebab badai debu dan pasir adalah lahan basah yang musnah di Bain al-Nahrain yang terletak di antara Iran dan Irak.

 

Lahan basah ini selama empat dekade lalu mengalami kerusakan 90 persen dan kini menjadi pusat pasir dan debu. Berbagai riset dengan mikroskop elektronik menunjukkan bahwa di krisis terbaru di selatan dan barat Iran, debu yang dibawa badai ternyata mengandung diatom, sejenis rumput yang hidup di air tawar dan asin. Selain itu, juga ditemukan debu yang mengandung zooplankton bernama Ostracod.

 

Penemuan ini membuktikan bahwa debu tersebut berasal dari lahan basah bukan dari padang pasir. Gambar satelit yang diambil Organisasi Regional untuk Perlindungan Lingkungan Laut (ROPME) menunjukkan bahwa mayoritas penyebab badai debu terbaru adalah daerah di Bain al-Nahrain yang sebelumnya merupakan lahan basah terbesar di Timur Tengah dan kini menjadi gurun pasir.

 

Meski opini publik menganggap tragedi hancurnya Bain al-Nahrain terjadi selama pemerintahan Saddam Hossein di dekade 90-an, namun laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menunjukkan bahwa pemerintah Turki yang memiliki saham besar di proyek pembangunan dam dan bendukan serta menutup aliran air Dajlah dan Furat juga memiliki andil besar dalam keringya danau serta lahan basah di Irak dan Suriah. Ini akibat proyek raksasa GAP oleh Turki.

 

Riset berbagai pakar juga menunjukkan bahwa keringnya sejumlah lahan basah di Bain al-Nahrain selama beberapa tahun lalu akibat pembangunan bendungan besar di sungai Dajlah dan Furat oleh Irak dan Turki yang memicu fenomena badai pasir di kawasan Timur Tengah. Pembangunan bendungan tersebut dan  sistem drainase merupakan faktor utama yang mengubah salah satu lahan basah terbaik dunia yang sempat disebut legenda surgawi menjadi gurun pasir.

 

Program Lingkungan Hidup PBB (UNEP) di laporannya yang dirilis beberapa waktu lalu mengisyaratkan realita ini dan menulis, “Di awal milenium baru musnahnya lahan basah Bain al-Nahrain termasuk tragedi lingkungan hidup paling besar di dunia.”  UNEP di laporannya menyatakan, musnahnya lahan basah ini tercatat tragedi paling memilukan yang disebabkan oleh tangan-tangan manusia dan dampaknya akan senantiasa tercatat dalam memori dunia.

 

Peristiwa musnahnya 90 persen lahan basah Bain al-Nahrain di Timur Tengah merupakan contoh dari krisis destruktif yang dapat memicu eskalasi bentrokan dan perang di kawasan, meningkatnya polusi lingkungan hidup, ancaman terhadap masyarakat pribumi, hancurnya situs kuno dan lingkungan flora serta fauna, bertambahnya imigran lingkungan hidup serta ancaman Hak Asasi Manusia (HAM).

 

Oleh karena itu, manusia dewasa ini harus menyadari realita penting ini bahwa matinya sebuah lahan basah bukan saja terhapusnya nama lahan basah di buku atau sejarah, namun kematian lahan basah merupakan tragedi yang tidak dapat diperbaiki dan hasilnya adalah kematian ribuan makhluk hidup serta ekosistem bumi. Kisah Bain al-Nahrain dan nasibnya memberi peringatan kepada kita untuk semakin memperhatikan proses penghancuran planet bumi.