Jul 26, 2017 09:37 Asia/Jakarta

Sebelumnya kita telah membicarakan fenomena haze atau badai pasir serta debu di kawasan Timur Tengah dalam beberapa dekade terakhir yang kerap terjadi dan volumenya lebih tinggi ketimbang wilayah dunia lainnya.

Fenomena Haze merupakan faktor penting di Timur Tengah dalam menciptakan kendala lingkungan hidup. Kondisi ini dipicu oleh pembagian tak tepat air di sungai Dajlah dan Furat oleh negara-negara yang berkepentingan serta manajemen keliru sumber air yang berujung pada kian meluasnya gurun di Irak, Suriah dan sebagian Iran.

 

Mayoritas pakar lingkungan hidup meyakini sumber badai pasir dan debu di Timur Tengah adalah rawa-rawa dan lahan basah yang musnah di Bain al-Nahrain, yang terletak di antara perbatasan Iran dan Irak. Hal ini karena salah satu fungsi utama lahan basah dan rawa adalah meningkatkan kelembaban udara dan mencegah badai pasir. Namun selama empat dekade lalu, campur tangan manusia dan ulah merusak mereka di lahan basah Bain al-Nahrain membuat 90 persen rawa di daerah ini musnah dan berubah menjadi gurun pasir.

 

Riset para pakar di dekade terakhir menunjukkan bahwa fenomena haze sejak lama menjadi kendala beruntun di Timur Tengah. Bahkan Hawr al-Azim, lahan basah serta rawa Iran dan Irak serta satu-satunya rawa besar yang tersisa di Bain al-Nahrain terancam kekeringan. Lahan basah Hawizah atau Hawr al-Azim yang memiliki luas 118 ribu hektar terletak di barat Provinsi Khuzestan di ujung sungai Karkheh, wilayah perbatasan Dasht-e Azadegan. Keringnya lahan basah ini baik di Irak maupun di Iran meningkatkan fenomena badai pasir dan haze.

 

Berbagai riset terhadap haze dan partikel halus ini menunjukkan bahwa mayoritas badai debu dan pasir terbaru di selatan dan barat Iran dipicu oleh lahan basah, bukan gurun, karena partikel halus yang dibawa angin memiliki kandungan diatom, jenis rumput di perairan payau. Selain itu, partikel halus tersebut mengandung plangton jenis Ostracod. Gambar yang direkam satelit Organisasi Regional untuk Perlindungan Lingkungan Laut (ROPME) juga menunjukkan bahwa sumber dari fenomena haze adalah lahan basah di Bain al-Nahrain yang telah musnah yang sebelumnya tercatat sebagai lahan basah terbesar di kawasan, namun sekarang berubang menjadi gurun pasir.

 

Hassan Mohammadi, koordinator tetap Republik Islam Iran di ROPME terkait hal ini mengatakan, keringnya lahan basah di Bain al-Nahrain selama beberapa tahun lalu disebabkan pembangunan bendungan raksasa di sungai Dajlah dan Furat oleh Irak dan Turki, sehingga memicu badai pasir di kawasan.

 

Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) sebelumnya memperingatkan munculnya tragedi di kawasan ini. Di laporan UNEP disebutkan, awal milenium baru tragedi musnahnya lahan basah (wetland) Bain al-Nahrain merupakan tragedi terbesar lingkungan hidup di dunia. Pembangunan bendungan dan sistem drainase telah mengubah lahan basah terbaik dunia yang sempat menyadang sebutan legenda surga bumi dan memiliki keanekaragaman hayati.

 

UNEP di laporannya menyebutkan bahwa musnahnya lahan termasuk tragedi lingkungan hidup paling buruk akibat tangan-tangan manusia dan dampaknya akan abadi di memori dunia. Peristiwa musnahnya 90 persen lahan basah Bain al-Nahrain di Timur Tengah, contoh dari sebuah krisis yang dapat meningkatkan bentrokan dan perang di kawasan, meningkatkan polusi lingkungan hidup, ancaman terhadap penduduk pribumi, musnahnya situs arkeologi dan habitat hewan serta tumbuhan, meningkatnya pengungsi lingkungan hidup serta ancaman terhadap Hak Asasi Manusia (HAM).

 

Meski opini publik menilai rezim Saddam sebagai pihak yang bertanggung jawab atas musnahnya lahan basah Bain al-Nahrain, namun pengamat meyakini perubahan mendasar di lahan basah ini terjadi antara tahun 1990-95. Bahkan selama lima tahun sebagian besar lahan basah Hawr al-Azim di Irak musnah dan hanya tersisa 30 persen. Dalam hal ini peran pemerintah Turki sangat kental.

 

Laporan PBB menunjukkan bahwa pemerintah Turki memiliki peran besar dalam pembangunan dam dan pembatasan aliran sungai Dajlah dan Furat. Salah satu sebab utama keringnya danau dan lahan basah di Irak serta Suriah, proyek raksasa Anadolu (GAP) di Turki. Berdasarkan proyek ini, pembangunan lebih dari 22 dam dan pusat pembangkit listrik tenaga air (PLTA) serta pengembangan sistem irigasi pertanian di sekitar Dajlah dan Furat hingga tahun 2023 tercantum dalam agenda kerja pemerintah Turki. Hingga kini 21 persen proyek irigasi dan 74 persen proyek PLTA Turki di kawasan ini rampung.

 

Berdasarkan dokumen yang ada kapasitas penampungan bendungan yang ada atau yang tengah dibangun oleh Turki di sungai Furat mencapai hampir satu setengah kali lipat dari volume air sungai tersebut. Para pakar mengatakan, volume air di mulut sungai Dajlah dan Furat mencapai 48 miliar meter kubik, dimana pemerintah Turki mengambil sekitar 32 miliar meter kubik. Padahal lebih dari 98 persen air di Irak dan 86 persen air Suriah sangat tergantung pada sungai Dajlah dan Furat.

 

Berbagai sumber terpercaya juga membenarkan bahwa proyek raksasa relokasi air di Turki yang 80 persen investornya adalah Zionis telah menyebabkan keringnya wilayah timur Suriah dan Irak. Proyek ini bahkan memicu tensi politik, militer dan diplomasi negara-negara yang berkepentingan. Contohnya tensi antara Turki dan Suriah dan tensi Suriah dan Irak terkait pembangunan dam al-Thawra.

 

PBB juga merilis gambar setelit yang menunjukkan kerusakan lingkungan hidup akibat proyek ini, mulai dari lahan basah Bain al-Nahrain di Irak dan Irak di tahun 1973 dan 2000. Proyek ini telah menimbulkan tragedi di kawasan. Sebuah tragedi yang mengubah keindahan lahan basah Hawr al-Azim, Hawr al-Hamr dan Hawr Tengah di Irak dan Irak yang sempat menjadi cikal bakal berbagai peradaban termasuk Babilonia dan Sumeria menjadi hamparan gurun dan lautan garam seluas 500 ribu hektar.

 

Tak diragukan bahwa upaya penanggulangan penyebaran badai pasir dan debu di Timur Tengah, baik yang ditimbulkan oleh lahan basah yang kering atau gurun, membutuhkan kerjasama kawasan. Di masa lalu, Iran, Irak dan Arab Saudi bersama-sama menanggulangi fenomena badai pasir dan haze. Namun perang Irak dan perubahan kebijakan pemerintah di dekade 2000 menyebabkan kerjasama ini terlupakan dan pada akhirnya fenonema badai debu dan pasir di kawasan meningkat drastis.

 

Selanjutnya meski ada upaya di tingkat diplomatik dan penandatanganan sejumlah Nota Kesepahaman (MoU), namun sangat disayangkan hingga kini belum terlihat kerjasama serius di antara negara yang menjadi korban fenomena ini, khususnya dari negara-negara produsen badai pasir dan debu. Padahal kini fenomena haze atau badai pasir merupakan ancaman paling berbahaya bagi lingkungan hidup di negara-negara Timur Tengah. Jika tidak ada upaya memikirkan cara penanggulangannya, dalam waktu dekat negara-negara yang terlilit fenomena ini akan mengeluarkan dana besar bagi anggaran kesehatan warganya.

 

Mengingat fenomena ini bersifat trans-nasional, maka negara-negara yang terkena dampak fenemona ini diharapkan segera bertindak dan saling bekerjasama mengatasi bencana ini. Pengalaman krisis serupa, seperti pengalaman Asia Tenggara menunjukkan bahwa solusi krisis lingkungan hidup membutuhkan kerjasama regional. Karena pada dasarnya isu lingkungan hidup tidak mengenal batas.

 

Oleh karena itu, percepatan dan kemudahan implementasi MoU yang telah ditandatangani di antara negara-negara tetangga, penyusunan draf implementasi kerjasama multi antara negara kawasan guna menghadapi fenemone badai pasir dan debu termasuk langkah yang efektif memerangi fenemona haze ini.