Okt 18, 2017 10:51 Asia/Jakarta

Keanekaragaman hayati adalah keanekaragaman makhluk hidup yang menunjukkan keseluruhan variasi gen, spesies dan ekosistem di suatu daerah. Ada dua faktor penyebab keanekaragaman hayati, yaitu faktor genetik dan faktor luar. Faktor genetik bersifat relatif konstan atau stabil pengaruhnya terhadap morfologi organisme. Sebaliknya, faktor luar relatif stabil pengaruhnya terhadap morfologi organisme.

Keanekaragaman hayati secara luas telah digunakan konsepnya di alam tetapi dalam penggunaannya tidak terlalu baik. Beberapa negara menginterpretasikan konservasi dari keanekaragaman hayati sangat kaku, Negara-negara tersebut berpendapat bahwa semua pengembangan dapat dihalangi oleh prospek hilangnya tempat kediaman makhluk hidup.

Keanekaragaman hayati telah muncul sebagai topik ilmiah dengan tingkat sosial yang tinggi menonjol dan akibatnya bagi kepentingan politik. Sampai-sampai para ilmuwan ingin melihat program-program untuk melestarikan keanekaragaman hayati dilaksanakan, mereka harus sadar akan aspek politik dari masalah dan bersiap untuk membuat kompromi yang diperlukan ketika seseorang masuk ke dalam arena politik.

Konservasionis menghadapi masalah serupa seperti kampanye melawan kekejaman terhadap binatang jauh lebih baik dengan daya tarik manusia terhadap hewan dibandingkan dengan penderitaan yang sebenarnya, sehingga hilangnya spesies sering terlihat lebih dalam hal daya tarik spesies ke manusia daripada faktor-faktor biologis.

Keragaman hayati adalah istilah yang digunakan pertama kali oleh ilmuwan satwa liar dan pelestari Raymond F. Dasmann pada tahun 1968 meletakkan buku kesukaan Aneka Negara konservasi advokasi. Istilah ini banyak digunakan hanya setelah lebih dari satu dekade, ketika pada 1980-an itu datang ke dalam penggunaan umum dalam ilmu pengetahuan dan kebijakan lingkungan. Thomas Lovejoy, dalam kata pengantar buku Biologi Konservasi, memperkenalkan istilah untuk komunitas ilmiah. Sampai kemudian "keanekaragaman alam" istilah itu biasa, yang diperkenalkan oleh Divisi Ilmu dari The Nature Conservancy dalam studi 1975 yang penting, "Pelestarian Keanekaragaman Alam." Dengan program 1980 Ilmu awal TNC dan kepalanya, Robert E. Jenkins, Lovejoy dan ilmuwan konservasi terkemuka lainnya pada saat di Amerika menganjurkan penggunaan "keanekaragaman hayati".

Keanekaragaman hayati bentuk kontrak Istilah itu mungkin telah diciptakan oleh WG Rosen pada tahun 1985 ketika merencanakan Forum Nasional 1986 Keanekaragaman Hayati yang diselenggarakan oleh Dewan Riset Nasional (NRC). Ini pertama kali muncul dalam suatu publikasi pada tahun 1988 ketika sociobiologist EO Wilson digunakan sebagai judul prosiding dari forum itu.

Sejak periode ini istilah telah dicapai digunakan secara luas di kalangan ahli biologi, lingkungan, pemimpin politik, dan warga masyarakat yang peduli. Sebuah istilah yang sama di Amerika Serikat adalah "warisan alam." Ini mendahului orang lain serta yang lebih diterima oleh khalayak yang lebih luas tertarik pada konservasi. Lebih luas dari keanekaragaman hayati, itu termasuk geologi dan bentang alam.

Selama abad terakhir, penurunan keanekaragaman hayati telah semakin diamati. Pada tahun 2007, Menteri Lingkungan Federal Jerman, Sigmar Gabriel memperkirakan bahwa sampai 30% dari semua spesies akan punah pada tahun 2050. Dari jumlah tersebut, sekitar seperdelapan jenis tumbuhan dikenal terancam punah. Perkiraan mencapai setinggi 140.000 spesies per tahun.

Angka ini menunjukkan praktik-praktik ekologi yang tidak berkelanjutan, karena beberapa spesies muncul setiap tahun. Hampir semua ilmuwan mengakui bahwa laju kehilangan spesies lebih besar sekarang daripada setiap saat dalam sejarah manusia, dengan kepunahan terjadi pada tingkat ratusan kali lebih tinggi dari tingkat kepunahan latar belakang. Pada 2012, beberapa studi menunjukkan bahwa 25% dari semua spesies mamalia bisa punah dalam 20 tahun.

Penyebab Kepunahan: Kegiatan manusia adalah penyebab utama kepunahan. Hal ini disebabkan oleh penggunaan kekayaan alam yang semakin meningkat akibat semakin bertambahnya populasi manusia di muka bumi. Ancaman kepunahan keanekaragaman hayati adalah:

1. Perusakan habitat

Ancaman utama pada keanekaragaman hayati adalah rusak dan hilangnya habitat.  Kelompok vertebrata, invertebrata, tumbuhan dan jamur akan kehilangan tempat jika habitat rusak atau hilang.  Kerusakan hutan hutan tropis akibat penebangan liar yang tak terkendali sama halnya dengan kepunahan spesies. 

Proses laju penurunan mutu hutan dan penggundulan hutan pada hutan alam dikhawatirkan telah menyebabkan kepunahan banyak spesies.  Kepunahan spesies merupakan aspek kerusakan lingkungan yang sangat serius.  Apabila suatu spesies punah, populasinya tidak akan pernah pulih, dan komunitas tempat hidupnya akan tidak seimbang. Perusakan habitat alami maupun mengubah habitat alami menjadi areal hutan tanaman industri, areal perkebunan, areal pertanian, dan penukiman telah memberikan andil yang besar bagi kepunahan keanekaragaman hayati di Indonesia.  

2. Fragmentasi habitat

Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan berkelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen. Fragmen-fragmen yang terjadi adakalanya terisolasi satu dengan yang lainnya oleh daerah yang terdegradasi.  Fragmentasi ini biasanya disebabkan oleh pembuatan jalan, pembukaan areal pertanian dan perkotaan atau kegiatan lainnya.

Fragmentasi habitat juga mengancam kepunahan dengan cara yang lain. Fragmentasi habitat dapat memperkecil potensi suatu spesies untuk menyebar dan berkolonisasi.  Banyak spesies burung, mamalia dan serangga pada daerah pedalaman hutan tidak dapat menyeberangi daerah terbuka oleh karena adanya bahaya dimakan pemangsa, walaupun daerah terbuka ini tidak begitu luas. Penurunan kemampuan penyebaran hewan ini berakibat pula menurunnya penyebaran tumbuhan yang tergantung padanya.

Fragmentasi habitat akan mengurangi daerah jelajah hewan. Kebanyakan spesies hewan mempunyai daerah jelajah yang luas untuk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Fragmentasi habitat juga akan mempercepat pengecilan atau pemusnahan populasi dengan cara membagi populasi yang tersebar luas menjadi dua atau lebih subpopulasi dalam daerah yang luasnya terbatas. Populasi yang lebih kecil ini menjadi lebih rentan terhadap tekanan silang dalam (inbreeding depression), genetik drift dan masalah lain yang terkait dengan populasi yang berukuran kecil.

3. Efek tepi (edge effect)

Fragmentasi habitat akan menambah luas daerah tepi.  Lingkungan mikro daerah tepi berbeda dengan lingkungan mikro daerah tengah hutan.  Beberapa efek tepi yang penting adalah naik turunnya intensitas cahaya, suhu, kelembaban dan kecepatan angin secara drastis.  Oleh karena tumbuhan dan hewan biasanya sangat tergantung pada suhu, kelembaban dan intensitas cahaya tertentu , maka perubahan tersebut akan memusnahkan banyak spesies yang tidak toleran. 

Karena fragmentasi maka kecepatan angin akan bertambah, sehingga memperbesar kemungkinan terjadi kebakaran hutan. Api dapat berasal dari daerah pertanian sekitar yang memang sengaja di bakar. Fragmentasi habitat juga akan memperbesar invasi spesies eksotik dan spesies hewan dan tumbuhan penganggu.  Daerah tepi hutan merupakan lingkungan yang terganggu sehingga spesies penganggu dapat dengan mudah berkembang dan menyebar ke bagian dalam fragmen hutan. 

4. Polusi dan degradasi habitat

Meskipun habitat tidak terganggu oleh kerusakan dan fragmentasi, spesies pada habitat tersebut dapat dipengaruhi oleh kegiatan manusia.  Spesies dapat punah oleh faktor-faktor luar yang tidak mengubah struktur tumbuhan dominan pada suatu komunitas sehingga kerusakan tersebut tidak langsung terlihat.  Misalnya saja pelayaran dan penyelaman yang terlalu sering dilakukan pada daerah terumbu karang dapat meyebabkan degradasi komunitas, sebab spesies yang rentan akan terinjak oleh kaki penyelam, jangkar, dan perahu.  Bentuk yang paling umum adalah degradasi lingkungan oleh pencemaran atau polusi, sperti pestisida, bahan kimia dan huangan oleh industri, sampah rumah tangga, gas dan asap yang dikeluarkan oleh pabrik, kendaraan bermotor. Efek polusi terhadap kualitas air, udara dan bahkan iklim global sangat mengkahawatirkan tidak saja sebagai ancaman keanekaragaman hayati tetapi juga kesehatan manusia.

5. Penggunaan spesies yang berlebih untuk kepentingan manusia

Pola penggunaan secara berlebihan atas suatu spesies akan berakibat jumlah populasi spesies tersebut menjadi sedikit bahkan punah.  Untuk mencegah kepunahan tersebut dilakukan dengan memperkirakan penggunaan  yang berkelanjutan secara maksimum, dimana pemanenan dari suatu spesies di alam setiap tahunnya dilakukan berdasarkan keberadaan dan tingkat pembaharuan oleh proses pertumbuhan secara alami. Disamping itu pemanenan harus memperhatikan pula fluktuasi populasi yang terjadi pada setiap musim pada periode tahunnya.

6. Introduksi spesies-spesies eksotik

Sebaran geografis setiap spesies dibatasi oleh penghalang lingkungan dan iklim.  Sehingga setiap wilayah mempunyai keanekaragaman spesies yang berbeda-beda. Adanya revolusi industri telah banyak mengubah sebaran spesies oleh manusia, terutama spesies yang mempunyai nilai ekonomi.  Manusia membawa hewan peliharaan dan tumbuhan budidaya dari suatu tempat ke tempat lain saat mereka membuka pertanian atau peternakan baru.  Sehingga banyak spesies baik hewan dan tumbuhan yang dimasukkan ke suatu daerah yang bukan tempat aslinya.  Sejumlah besar tumbuhan diintroduksi dan ditanam di daerah baru sebagai tanaman hias, tanaman pangan atau tanaman makanan ternak. Banyak spesies ini yang kemudian menjadi liar di komunitas lokal.

Selain itu penyebaran spesies introduksi juga dapat diakibatkan oleh pengangkutan yang tidak disengaja. Misalnya saja tikus dan serangga yang terbawa kapal laut atau kapal udara. Atau tanaman yang bijinya ikut terbawa oleh manusia. Sejumlah besar spesies introduksi tidak dapat bertahan hidup di daerah barunya karena lingkungan baru tersebut tidak sesuai dengan kebutuhan hidupnya.  Walaupun demikian, beberapa spesies dapat bertahan hidup bahkan membentuk koloni di tempat barunya dan bahkan dapat bertambah besar jumlahnya. Biasnya koloni ini akan mengalahkan organisme asli daerah tersebut melalui kompetisi mendapatkan bahan makanan yang jumlahnya terbatas. Hewan introduksi mungkin juga memangsa spesies asli sampai punah, atau mereka mengubah habitat sehingga organisme asli tidak dapat hidup lagi di tempat itu.

Tindakan manusia (seperti pemupukan, pengendalian hama penyakit, peningkatan kadar cahaya dan lain-lain) dapat pula menyebabkan timbulnya kondisi linglkungan yang memungkinkan spesies eksotik lebih mudah menyesuaikan diri daripada spesies lokal. Dalam hal tertentu keberadaan spesies eksotik ini dapat merupakan ancaman yang serius seperti halnya degradasi hutan.