Mari Mengenal Lingkungan (34)
Salah satu fenomena buruk yang kerap disaksikan dunia adalah perang yang dikobarkan dengan dalih menjamin keamanan, keadilan dan perdamaian. Selama perang, korban tewas dan terluka baik dari kalangan sipil maupun militer tak dapat dihindari. Selain itu perang juga merusak kota, desa dan sumber kehidupan warga. Tapi uniknya dampak konfrontasi selama perang dan sesudahnya terhadap lingkungan hidup belum pernah dirilis.
Di berbagai perang biasanya lingkungan hidup dan sumber alam akan dilupakan, dengan demikian lingkungan hidup menjadi korban perang yang tidak pernah diungkapkan. Padahal berbagai bukti menunjukkan warga di daerah perang selama bertahun-tahun pasca perang harus menanggung dampak perang yang merusak lingkungan hidup. Berdasarkan data yang dirilis lembaga perdamaian dan lingkungan hidup, kerugian lingkungan hidup akibat perang dan kekerasan serta runtuhnya lembaga-lembaga terkait, dewasa ini telah mengancam instansi kesehatan, kehidupan dan keamanan manusia di berbagai negara dunia.
Dewasa ini semua pihak mengakui dampak merusak perang terhadap lingkungan hidup lebih berbahaya dari faktor lain, karena di perang rasa untuk mengalahkan dan menang serta kecenderungan membalas dendam oleh kedua pihak membuat mereka melupakan seluruh prinsip kemanusiaan serta membahayakan kehidupan manusia tak berdosa dan merusak lingkungan hidup.
Saat ini penggunaan bom destruktif dan gas kimia di perang telah mengakibatkan polusi berbahaya di lingkungan hidup. Menurut para pakar, secara global dampak perang terhadap lingkungan hidup dibagi menjadi empat bagian, perusakan habitat, mendorong arus pengungsian, menghacurkan spesies tumbuhan dan hewan serta merusak infrastruktur kota.
“Lingkungan telah lama menjadi korban yang diam dari perang dan konflik bersenjata. Mulai dari kontaminasi tanah, kerusakan hutan, penjarahan sumber daya alam dan kerusakan pada sistem manajemen mengakibatkan lingkungan paling parah terdampak serta cenderung menyebar.” Demikian dikatakan Ban Ki moon, mantan Sekretaris Jenderal PBB dalam Peringatan Internasional Hari Pencegahan Eksploitasi Terhadap Lingkungan Akibat Perang dan Konflik bersenjata.
“Mari mengingat kembali komitmen kita untuk melindungi lingkungan dari kerusakan akibat perang dan mencegah konflik karena sumber daya alam di masa mendatang.” Perang mengubah pandangan kita. Dalam menghadapi ancaman baik nyata atau tidak, maka suatu tindakan yang dalam konndisi normal dianggap tidak pantas akan tetap diterima, bahkan menjadi rutinitas. Satu di antara banyak hal yang dikesampingkan adalah perlindungan terhadap lingkungan, demikian disampaikan Catherine Lutz, seorang profesor mengenai perang dan dampaknya dari Watson Institute for Internasional Studies.
“Ada anggapan bahwa ini adalah persoalan hidup matinya suatu bangsa, sehingga Anda tak perlu khawatir pada basa-basi. Kita memiliki pemikiran bahwa manusia terpisah dengan lingkungannya dan nyawa manusia bisa diselamatkan melalui upaya dan kesiapan militer, sehingga urusan lingkungan dinomorduakan dan dipikirkan nanti.

Menurut Institut for Economics and Peace, hanya sebelas negara di dunia yang tidak terlibat dalam konflik, kendati ada klaim bahwa abad ini adalah masa paling damai dalam sejarah manusia. Meskipun di negara yang relatif damai, pasukan tetap melakukan kegiatan untuk menjaga keamanan dengan mengkonsumsi sumber daya alam secara cepat dan bebas dari hukuman. Namun, di masa perang, lingkungan menderita karena pengabaian, eksploitasi, keputusasaan manusia, dan penyalahgunaan disengaja yang terjadi secara besar-besaran.
Sepanjang perang gurun pertama, tentara Amerika mengebom Irak dengan misil seberat 340 ton yang mengandung uranium. Mac Skelton, peneliti dari Johns Hopkins University, melakukan kerja lapangan di Irak terhadap peningkatan tingkat radiasi kanker yang berkaitan dengan peluru militer AS dan UK.
Skelton dan peneliti lainnya mengatakan bahwa radiasi dari jenis senjata ini telah meracuni tanah dan air di Irak menjadi lingkungan yang menyebabkan kanker (carcinogenic). Pemerintah Inggris mengatakan, tuduhan tersebut tidak berdasar. Tidak ada penelitian yang komprehensif dilakukan untuk mendukung atau membantah hubungan antara kanker dan senjata yang mengandung uranium.
Namun, Skelton mengatakan, kerusakan lingkungan di Irak sepanjang perang 24 tahun yang lalu disebabkan karena kerusakan infrastruktur di Irak yang terjadi secara sistematis. Aktivitas pengeboman sepanjang tahun 1991 memusnahkan fasilitas sosial, termasuk di dalamnya sistem yang mendukung lingkungan.
“Anda tak pernah melihat kerusakan infrastruktur suatu negara secepat itu.” Kata Skelton. Air limbah membanjiri jalanan dan sungai, kilang minyak dan jaringan pipa-pipa rusak menyebabkan oli masuk ke dalam tanah. Sanksi yang diberikan tidak terlalu berarti, sementara tanah dan kota sudah terlanjur teracuni. Seorang pengamat di Basra pada 2008 mengatakan, “Masyarakat hidup di tengah lumpur dan kotoran manusia, sementara tingkat penderita kanker pada anak pada angka yang paling tinggi.” Air tanah di kota mengandung garam yang membuat orang sakit. Di jalanan, lebih banyak sampah daripada petugas yang membersihkan.
Lutz mengatakan, 630 sumur terbakar seiring dengan mundurnya tentara Irak dari Kuwait pada 1991, memperlihatkan ‘ecocide’ (kerusakan lingkungan) sebagai hasil dari perang. “Namun, jenis kerusakan ini adalah puncak dari gunung es,” kata Lutz. Dalam dunia militer, linkungan tidak diperhitungkan, bahkan di luar daripada perang yang terjadi.
Biaya yang dikeluarkan untuk militer guna mengantisipasi ancaman terjadinya perang menjadi beban yang teramat berat bagi sumber daya alam. Departemen Pertahanan AS adalah konsumen terbesar bahan bakar fosil. Penelitian pada tahun 2007 menunjukkan, militer menggunakan 20,9 trilyun liter bahan bakar setiap tahunnya. Jumlah ini sama dengan emisi karbon dioksida yang dihasilkan oleh negara sebesar Denmark.

Hal itu sebelum terjadinya perang. Jejak karbon yang dihasilkan oleh pasukan modern sangatlah besar. Satu laporan menyatakan bahwa militer AS, dengan tank dan kendaraan perang Bradley menggunakan 190,8 milyar liter minyak setiap bulan sepanjang invasi di Irak. Diperkirakan dua pertiga dari minyak ini digunakan untuk mengirimkan lebih banyak bahan bakar kepada kendaraan perang di garis depan peperangan. Di setiap perang, pengungsi yang ada tidak didukung oleh infrastruktur yang memadai. Mereka kemudian berpaling pada lingkungan untuk memenuhi kebutuhan dasarnya.
Sepanjang perang saudara di Rwanda, hampir 750 juta orang tinggal di pengungsian di pinggir taman nasional Virunga. Menurut Worldwatch Institute sekitar 1000 ton kayu ditebang dari Taman Nasional setiap hari selama dua tahun untuk membangun permukiman, kayu bakar untuk memasak dan bahan dasar arang untuk dijual. Pada saat konflik berakhir, 105 km persegi hutan rusak dan 35 km persegi di antaranya menjadi lahan kosong. Manakala pengungsi dari Rwanda bermigrasi ke Zaire (sekarang Republik Demokratik Congo), mereka memicu perang saudara yang lain. Virunga kini dilingkupi oleh konflik. Pada tahun 1994, Unesco memutuskan taman tersebut sebagai warisan dunia yang terancam karena konflik.
Virunga menjadi totem sebuah masalah di benua yang bopeng-bopeng oleh perang. Taman tersebut menjadi rumah bagi spesies langka gorilla gunung dan simpanse, gajah, serta mega fauna lain yang karismatik. Ian Redmon, konsultan margasatwa untuk Born Free mengatakan ketidakteraturan dan keputusasaan perang menyebabkan perlindungan untuk habitat margasatwa yang berharga seperti Virunga menguap.
“Perang sangat buruk dampaknya bagi margasatwa seperti juga bagi manusia. Lahan konservasi menderita karena penjaga sibuk melarikan diri dari peperangan, bahkan bisa jadi mereka diserang oleh pasukan pemberontak yang iri pada kendaraan mereka, radio, dan senjata. Lebih lanjut lagi, pasukan pemberontak sering mencari makanan dengan hewan liar dan membiayai pasukannya dengan gading, kayu, arang, dan mineral dari wilayah yang terlindungi.”
Arus kendaraan militer yang tinggi di wilayah ini berarti sepanjang dan setelah perang terjadi pelanggaran batas yang meningkat secara dramatis. Hanya dalam waktu dua bulan pada 2006, pemberontak Mai-Mai di Kongo membantai hampir semua populasi kuda nil di dua sungai dalam Taman Nasional Virunga, dan mengubah ekosistem di sana selamanya.
Di Afganistan, margasatwa dan habitat telah menghilang. Selama tiga puluh tahun terakhir, perang telah menghilangkan pohon dari negara ini, termasuk hutan kacang pistachio yang merupakan tumbuhan asli di sana. The Cost of War Project mengatakan, pembalakan liar oleh panglima perang yang diback-up oleh AS serta pemanfaatan kayu oleh pengungsi menyebabkan lebih dari sepertiga hutan di Afganistan lenyap pada 1990-2007. Kekeringan, penggundulan dan hilangnya spesies menjadi hasilnya. Jumlah burung yang bermigrasi dan melintasi Afganistan turun sekitar 85%.
Contoh-contoh tersebut di atas dapat digolongkan pada pelanggaran hukum internasional. Konvensi Jenewa memberikan batasan untuk perang yang menyebabkan kerusakan lingkungan meluas, dalam jangka panjang dan parah. Marie Jacobsson, reporter khusus untuk Komisi Hukum PBB yang bertanggung jawab untuk penilaian sejauh mana kerangka hukum dapat melindungi lingkungan dari konflik bersenjata mengatakan, “Perlindungan hukum internasional masih belum sempurna.”
Menurut Program Lingkungan PBB, selama lebih dari 60 tahun, sekurang-kurangnya 40% dari konflik internal berhubungan dengan eksploitasi sumber daya alam. Jacobsson menunjukkan bukti bahwa militer mulai menerima bahwa perusakan lingkungan menyebabkan masalah pada keamanan dalam jangka panjang. Penelitian beliau menunjukkan bahwa tindakan militer telah diambil oleh berbagai pasukan di seluruh dunia.