Fungsi dan Peran Masjid (20)
Dalam beberapa seri sebelumnya, kita telah mengenal masjid sebagai basis untuk pendidikan agama selama era permulaan Islam. Pada awal-awal pengutusan Nabi Muhammad Saw dan meskipun kondisi sulit di Mekkah, beliau kadang mengumpulkan para sahabatnya di Masjidil Haram dan membacakan al-Quran untuk mereka serta mengajarkan perkara halal-haram dalam agama.
Diskusi ilmiah kadang juga dilakukan dengan para tokoh Quraisy untuk membahas persoalan tauhid dan keesaan Tuhan.
Pusat kegiatan pendidikan dipindahkan ke Masjid Nabawi setelah Nabi Saw hijrah dari Mekkah ke Madinah. Beliau biasanya memberikan ceramah dan diskusi ilmiah setelah shalat subuh atau setelah shalat Isya. Sebagian besar pertemuan itu diisi dengan menafsirkan aya-ayat al-Quran dan menjelaskan tentang maknanya. Selain pertemuan rutin, kelas-kelas pendidikan juga dibuka di Masjid Nabawi.
Mengenai peran penting kegiatan pendidikan ini, Rasulullah Saw bersabda, "Berdiam diri di masjid akan menjadi sia-sia kecuali untuk tiga urusan; membaca al-Quran setelah mengerjakan shalat, menyibukkan diri dengan mengingat Allah Swt, dan mendiskusikan perkara-perkara ilmiah." (Wasail al-Shia, jilid 3)
Masjid adalah tempat di mana kaum Muslim datang untuk menunaikan ajaran-ajaran Ilahi dan mengikuti ritual keagamaan, dan ia tempat terbaik untuk penyebaran makrifat dan hukum-hukum agama. Oleh karena itu, kegiatan pendidikan dan pengajaran agama dipusatkan di masjid sejak awal permulaan Islam. Terlepas dari sejarah pembangunan masjid, banyak sejarawan percaya bahwa masjid merupakan satu-satunya pusat pendidikan dan budaya di dunia Islam sebelum munculnya madrasah.
Kamar-kamar kemudian dibangun di masjid untuk menampung pelajar dan santri, di mana model dari masjid-masjid seperti ini masih banyak ditemukan di Iran dan negara-negara Muslim lainnya. Karena itu, madrasah dan masjid seringkali identik meskipun ada perbedaan makna leksikalnya. Bahkan setelah madrasah dan sekolah berkembang pesat, masjid masih mempertahankan fungsinya sebagai tempat kegiatan pendidikan dan pengajaran.
Ibnu Batutah, seorang pengembara terkenal abad kedelapan, menceritakan tradisi pengajaran hadis di masjid Baghdad dan kehadirannya di kelas tersebut. Pada masa itu, terdapat beberapa madrasah besar di kota Baghdad. Oleh sebab itu, madrasah tersebut kadang disebut masjid atau sebaliknya dan persamaan penyebutan ini biasa terjadi di sepanjang sejarah Islam. Hari ini, masjid juga masih digunakan sebagai madrasah dan pusat pendidikan agama, dan banyak guru dan ustadz menggelar kelas-kelas mereka di masjid.
Sejarah Masjid Al Azhar di Kairo
Masjid yang paling terkenal dan tertua di Kairo adalah Masjid Al Azhar; sebuah masjid dengan kampus di dalamnya. Pembangunan masjid ini kembali ke era Daulah Fatimiyah, salah satu dinasti terbesar di Afrika Utara. Para khalifah Fatimiyah adalah keturunan dari Sayidah Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah Saw. Masjid tersebut dinamakan Al Azhar sebagai isyarat kepada az-Zahra, julukan Sayidah Fatimah as.
Di sisi lain, beberapa orang percaya bahwa nama Al Azhar tidak diambil dari gelar putri Rasulullah Saw, namun arti kata Al Azhar sendiri berarti bersinar, bercaya, dan berkilauan, yang menggambarkan sebuah tempat istimewa di antara daerah-daerah lain di Mesir.
Masjid Al Azhar dibangun oleh Panglima Jauhar Assiqilli di Kairo antara tahun 359-361 Hijriyah atau 970-972 Masehi atas perintah Muiz Lidinillah, khalifah keempat dari Dinasti Fathimiyah. Setelah menaklukkan Mesir atas perintah Khalifah Muiz Lidinillah, Panglima Jauhar Assiqilli membangun Masjid al Azhar yang mengarah ke Istana Khalifah. Pada 7 Ramadhan 361 Hijriyah dilangsungkan shalat Jumat untuk pertama kali di mesjid tersebut.
Pada Ramadhan 365 H, Masjid Al Azhar menjadi pusat pendidikan di dunia Islam, dan ketua Mahkamah Agung Ali ibn Nu'man mulai mengajar dari buku "al-Ikhtisar" sebuah buku yang ditulis oleh ayahnya, Abu Hanifah al-Nu'man sebagai referensi hukum Syiah di Al Azhar. Ini adalah kuliah pertama yang diadakan di Al Azhar yang diikuti oleh banyak orang. Pada tahun itu, Ali ibn Nu'man, sesuai dengan perintah Muiz Lidinillah, mulai membentuk kelas-kelas untuk mengajarkan ajaran Syiah.
Masjid Al Azhar awalnya terdiri dari dua bagian; satu teras (halaman) dan satunya lagi bangunan utama. Bangunan masjid juga memiliki dua bagian; bagian pertama disebut Jauhar Assiqilli dengan 76 tiang marmer. Bagian ini digunakan sebagai ruang utama untuk shalat, dan empat barisan pilar telah membagi ruang shalat menjadi lima koridor paralel dengan kiblat. Bagian kedua dari bangunan Masjid Al Azhar adalah sebuah area yang kemudian dibangun oleh Amir Abd al-Rahman Katkhuda dan memiliki 50 tiang marmer dan terletak di belakang mihrab masjid tua.
Pada tahun 400 H, Al-Hakim bi-Amrillah memugar Masjid Al Azhar dan mengalokasikan anggaran yang besar untuk memajukan urusan masjid dan biaya bagi para pelajar. Khalifah ini juga memindahkan buku-buku di perpustakaan Dar al-Hikmah ke perpustakaan Al Azhar.
Masjid Al Azhar yang dikenal hari ini sangat berbeda dengan masjid aslinya. Karena bangunan ini selalu menjadi perhatian para penguasa dan mengalami banyak perubahan dari masa ke masa dan telah jauh dari bentuk aslinya yang sederhana. Para penguasa dan amir, masing-masing dengan selera dan kebutuhan zaman, menghancurkan bagian tertentu dan menambahkan sudut-sudut lain, dan kadang-kadang membangun kembali sebuah ruang baru. Oleh karena itu, Masjid Al Azhar adalah perpaduan dengan mosaik berbagai arsitektur Islam dan Arab.
Selama periode Dinasti Mamalik dan Utsmaniyah, struktur baru seperti menara, makam, tempat wudhu' dan madrasah dibangun menempel dengan dinding luar masjid. Pada tahun 740 H, sebuah sekolah khusus, Madrasa al-Aqbaghawiyya dibangun di sepanjang dinding Masjid Al Azhar di bagian barat laut. Masjid Al Azhar telah menyaksikan berbagai perubahan dan peristiwa dalam berbagai fase usianya. Misalnya, selama periode al-Ayyubiyah, shalat Jumat tidak pernah dilakukan di tempat tersebut selama sekitar 100 tahun.
Pada tahun 702 H, Masjid Al Azhar kembali menjalani perbaikan karena gempa yang mengguncang kota Kairo, dan ini dilakukan oleh pemerintah Mesir waktu itu. Setelah serangan Mongol, Masjid Al Azhar menjadi satu-satunya tempat favorit para peneliti Muslim, dan para ilmuwan mendatangi tempat itu dari berbagai penjuru dunia.
Pada abad ke-8 dan 9 Hijriyah, Al Azhar menikmati puncak kemuliaan dan kejayaannya, dan di samping ilmu-ilmu agama, disiplin ilmu lain seperti kedokteran, matematika, sejarah, geografi, dan astronomi juga diajarkan di sana. Al Azhar telah menampung banyak tokoh hebat yang telah lama belajar dan lulus dari tempat ini. Di antara ilmuwan dan pemikir lulusan Al Azhar adalah Ibn Khaldun, Al-Maqrizi, Asqalani, Al-Suyuthi, dan Abdul Latif Al-Bagdadi, dan di era modern, Al Azhar juga telah melahirkan para tokoh besar seperti, Saad Zaghloul, Muhammad Abduh, dan Taha Hussein.
Al Azhar dibangun oleh para khalifah Fatimiyah yang bermazhab Syiah dan diharapkan menciptakan sebuah sistem ideologis yang kuat dari pemimpin, petani, dan lapisan bawah masyarakat untuk mengkonsolidasikan basis sosial pemerintah Fatimiyah. Pergeseran terjadi setelah Salahudin al-Ayyubi berkuasa di Mesir dan berlanjutnya Dinasti Ayyubiyah yang bermazhab Sunni, dan mazhab resminya berubah dari Syiah Ismailiyah menjadi Sunni Syafi'i.
Saat ini, Universitas Al Azhar adalah satu-satunya hauzah ilmiah di Mesir yang aktif mendidik para pelajar agama dan mahasiswa. Para ulama mengeluarkan maklumat untuk menjawab berbagai permasalahan yang ditanyakan kepada mereka dari seluruh dunia Islam Sunni. Pusat pendidikan ini juga terlibat dalam beberapa spesialisasi seni seperti, Qira'at al-Qur'an, kaligrafi, syair, dan lain-lain. (RM)