Okt 16, 2018 10:34 Asia/Jakarta
  • Perpustakaan Masjid Nabawi.
    Perpustakaan Masjid Nabawi.

Pada beberapa sesi sebelumnya, kita telah mengetahui tentang fungsi masjid sebagai pusat pendidikan. Mungkin fungsi sekunder masjid, terutama pada empat abad pertama permulaan Islam adalah untuk pusat kegiatan pendidikan. Kegiatan ini biasanya diadakan di ruang utama masjid. Para guru bersandar di pilar masjid, sementara para pelajar berkumpul mengelilingi mereka.

Siapa saja dari pria dan wanita bisa mengikuti kegiatan tersebut, dan bahkan bebas mengajukan pertanyaan dan sanggahan kepada guru. Hal ini bermanfaat bagi guru, karena dia bisa lebih mempersiapkan materi pelajarannya. Muhammad al-Muqaddasi, pakar geografi abad ke-10, telah mencatat 120 kelas pendidikan seperti itu di Masjid Jami' Kairo.

Masjid di sepanjang Abad Pertengahan hingga sekarang, masih melestarikan hubungan eratnya dengan para ulama, guru, dan kitab. Di masjid, para pelajar berkumpul untuk mengikuti kegiatan diskusi serta mendengarkan ceramah dan informasi tentang kitab-kitab baru. Sebelum ada penerbitan, seorang penulis atau wakilnya akan memperkenalkan kitab baru kepada pelajar dan masjid dipandang sebagai tempat yang tepat untuk kegiatan ini.

Setelah munculnya penerbitan dan percetakan di Dunia Islam, para penulis Muslim mendedikasikan karya mereka untuk masjid sehingga bisa dinikmati oleh publik. Di masjid, selain al-Quran yang mudah diakses publik, juga tersedia kitab-kitab hadis, tafsir, sejarah, yurisprudensi, dan ushuluddin. Sumbangan buku untuk masjid meningkat sejak pertengahan abad pertama Hijriyah, dan karena tidak punya kapasitas yang cukup untuk menampung buku-buku itu, maka selanjutnya sebuah ruangan khusus dibangun di dalam masjid sebagai perpustakaan.

Dalam perkembangannya, setiap masjid besar harus memiliki perpustakaan sehingga orang-orang bisa menyumbangkan buku mereka ke masjid. Banyak ulama dan penulis mendedikasikan buku-buku mereka untuk masjid jami'. Pemilik buku-buku ini berharap agar karya mereka dijaga dengan baik dan diwariskan untuk para cendekiawan periode berikutnya.

Beberapa masjid besar bahkan mengoleksi karya-karya agung, yang terkenal di Dunia Islam. Dengan demikian, masjid selain berfungsi sebagai tempat ibadah dan kegiatan ilmiah dan budaya, juga menjadi perpustakaan umum yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat Muslim.

Perpustakaan Masjidil Haram atau Maktabah Makkah Al Mukarramah adalah salah satu perpustakaan terpenting di Dunia Islam. Perpustakaan ini mengoleksi lebih dari 350.000 manuskrip dan kitab-kitab langka.

Menurut dokumen sejarah, perpustakaan Masjidil Haram merupakan bekas rumah tempat kelahiran Nabi Muhammad Saw. Rumah ini ditempatkan oleh Aqil bin Abu Thalib, saudara laki-laki Imam Ali as setelah Rasulullah Saw hijrah ke Madinah. Anak-anak Aqil kemudian menempati rumah tersebut sampai ia dibeli oleh Muhammad ibn Yusuf al-Tsaqafi dan menambahkan sebuah ruangan baru yang disebut "Dar Ibn Yusuf."

Pada tahun 1370 Hijriyah, Sekretaris Dewan Makkah Al Mukarramah menjadikan tempat tersebut sebagai perpustakaan, karena letaknya yang dekat dengan Masjidil Haram setelah perluasan bangunan masjid. Dalam beberapa tahun terakhir, dengan dalih perluasan Masjidil Haram, perpustakaan tersebut juga ingin dihancurkan, namun dibatalkan karena banyaknya protes dari kaum Muslim.

Di antara masjid lain yang memiliki perpustakaan penting adalah Masjid Jami' Umawi di Suriah, Masjid Jami' Al Zaytuna di Tunisia, Masjid Jami' Baghdad di Irak, dan masjid-masjid di Kairo, Najaf, dan Karbala.

Masjid Sultan Hassan Kairo.

Madrasah dan Masjid Sultan Hassan Mesir

Masjid penting lainnya di Mesir adalah Madrasah dan Masjid Sultan Hassan. Masjid ini mulai dibangun pada tahun 1356 dan berakhir tiga tahun kemudian setelah tanpa henti satu hari pun. Madrasah dan Masjid Sultan Hassan dibangun di era Dinasti al-Mamalik (Mamluk) dan terletak di dekat Benteng Salahuddin di Kairo.

Masjid ini merupakan salah satu masjid terbesar di Dunia Islam dengan area seluas 7.906 meter persegi. Ketinggian dindingnya mencapai 36 meter dan menara tertingginya 68 meter. Bangunan masjid dan madrasah ini berbentuk persegi panjang melengkung.

Bangunan masjid besar ini memiliki empat beranda (ruang beratap besar) di empat sudut halaman masjid untuk empat mazhab Sunni yaitu; Syafi'i, Maliki, Hanafi, dan Hanbali. Ini menunjukkan bahwa Sultan Hassan berusaha untuk menciptakan persatuan di antara empat mazhab tersebut.

Beranda yang mengarah ke kiblat lebih penting dari tiga beranda lain, dan semua orang memenuhi ruangan ini pada waktu shalat. Seluruh tembok kiblat yang terletak di ruang utama Masjid Sultan Hassan, dilapisi dengan marmer khas era Dinasti al-Mamalik. Pembangunan masjid ini melibatkan para seniman asing dari Suriah dan Iran. Karya artistik mereka dapat disaksikan dalam sentuhan halus hiasan dan dekorasi masjid.

Hingga kini, Masjid Sultan Hassan masih merupakan salah satu masjid terbesar di dunia. Namun, kegiatan pendidikan formal atau madrasah sudah tak seaktif pada masa silam. Hanya rutinitas shalat lima waktu, shalat Jumat, dan ibadah-ibadah lainnya yang masih terus dilangsungkan di sini. Di sisi barat kompleks Masjid Sultan Hassan, terdapat bazar yang berdiri di atas tanah wakaf Sultan Hassan.

Seperti yang disebutkan pada seri sebelumnya, masjid dibangun sangat sederhana pada masa Rasulullah Saw, sebab rumah Tuhan adalah tempat untuk mengingat Allah Swt dan melupakan selain-Nya. Oleh karena itu, sangat pantas untuk menghindari apapun yang akan mengalihkan perhatian kita kepada selain Allah dan dunia. Sayangnya, setelah wafatnya Nabi Saw, kesederhanaan itu perlahan memudar. Tentu saja, prinsip penghormatan terhadap sakralitas masjid tetap dijaga sampai sekarang.

Para arsitek Masjid Sultan Hassan, seperti banyak bangunan lain di negara-negara Muslim, memanfaatkan pintu masuk (ruang depan), koridor dan beberapa lorong lain sehingga pengunjung – yang memasuki ruang depan masjid – tidak dapat menyaksikan seluruh sudut ruangan secara bersamaan.

Di Masjid Sultan Hassan, setelah pintu masuk, ada sebuah ruang kecil yang mengarah ke koridor dan lorong-lorong pintu untuk masuk ke ruang utama. Langit-langit gerbang pintu masuk ke masjid dibangun dengan pola sarang lebah atau muqarnas dengan rangkaian berukir hexagonal. Konstruksi muqarnas dianggap sebagai ciri khas arsitektur Islami, dan dipakai untuk menghiasi bagian atas dinding atau menyembunyikan sudut.

Muqarnas adalah sebentuk ragam dekoratif dalam arsitektur tradisional Islam dan Persia. Hiasan Muqarnas menampilkan sistem proyeksi, pengulangan, dan penggandaan berbentuk ceruk, yang berfungsi sebagai dekorasi untuk bagian-bagian peralihan dalam arsitektur.

Di luar keindahan dan kemegahan yang diperlihatkan oleh bangunan masjid ini, tersimpan kisah kelam yang meliputi proses pembangunannya. Dalam perencanaan awal, di atas gerbang utama pintu masuk Masjid Sultan Hassan akan didirikan menara. Namun, karena salah satu menara yang sudah dibangun runtuh, akhirnya rencana tersebut tidak jadi direalisasikan.

Runtuhnya bangunan menara tersebut menewaskan sekitar 300 orang pekerja. Musibah ini dipandang sebagai pertanda jatuhnya sultan, dan pertanda tersebut terbukti dengan kematian Sultan Hassan selang tiga bulan kemudian setelah peristiwa runtuhnya bangunan menara masjid. Namun, beberapa versi lain menyebutkan Sultan Hassan dibunuh sebelum masjid itu selesai oleh pihak-pihak yang memang tidak menyukai kepemimpinannya. (RM)