Okt 31, 2018 15:27 Asia/Jakarta
  • Suasana shalat Jumat di Tehran. (dok)
    Suasana shalat Jumat di Tehran. (dok)

Fungsi utama dan asli masjid adalah sebagai tempat ibadah. Masjid berasal dari kata sajada yang artinya tempat sujud dan menundukkan diri di hadapan Allah Swt. Sujud berarti puncak dan bentuk sempurna dari penghambaan. Manusia akan merasakan ketenangan jiwa dengan shalat dan membangun hubungan dengan Tuhan, serta memenuhi kebutuhan spiritualnya.

Para psikolog mengatakan manusia kadang mengalami kecemasan dan ketidakseimbangan emosi, yang berasal dari kegelisahan jiwa. Orang-orang semacam itu memiliki kebutuhan psikologis dan jiwa yang belum terpenuhi. Salah satu dari kebutuhan jiwa ini adalah menjalin hubungan dengan Tuhan.

Manusia akan meraih ketenangan ketika hubungan itu telah terjalin dan memenuhi kebutuhan fitrahnya. Oleh sebab itu, manusia – karena fitrah penciptaan – mencintai masjid dan menemukan ketenangan di sana.

Tidak heran jika para pemuka agama menyebut masjid sebagai benteng perlindungan orang-orang mukmin. Tempat ini akan menghapus kegelisahan dari manusia dan menggantikannya dengan ketenangan dan kedamaian. Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Ketika kalian menghadapi masalah dan kesedihan duniawi, berlindunglah kepada shalat dan masjid."

Pada masa Rasulullah Saw, para korban luka di medan perang akan dibawa ke masjid untuk perawatan medis dan memperoleh ketenangan jiwa dan raga. Rasul sendiri memilih masjid sebagai balai pengobatan dan tempat istirahat terbaik untuk tentara Muslim yang terluka.

Dewasa ini, ada kebutuhan yang lebih besar untuk memakmurkan masjid untuk beribadah dan menyembuhkan penyakit-penyakit jiwa. Krisis sosial dan tekanan dalam memenuhi kebutuhan hidup membuat manusia harus mencari tempat berteduh untuk menghapus beban batin. Masjid adalah tempat terbaik untuk mencapai ketenangan melalui ibadah dan berserah diri kepada Allah Swt.

Dengan melakukan ibadah secara personal dan kolektif di masjid, ada banyak kecemasan, kegalauan, penyakit jiwa, dan bahkan fisik yang bisa dicegah. Orang yang sudah terserang gangguan tersebut juga akan memperoleh kesembuhan di masjid.

Seorang ilmuan dan dokter asal Perancis, Alexis Carrel dalam bukunya "Prayer" menjelaskan tentang peran doa dan ibadah sebagai sarana terapi penyakit. "Ada banyak efek terapi dari doa (ibadah) yang menyita perhatian masyarakat di sepanjang masa, sehingga ada banyak pembicaraan tentang kesembuhan yang diperoleh dengan berdoa dan bertawassul kepada Allah dan para aulia-Nya."

Ketika doa dan ibadah bisa menjadi obat terbaik untuk mengangkat banyak penyakit, maka harus dicari sebuah tempat yang bisa mempercepat terkabulnya doa. Masjid merupakan tempat terbaik untuk mencapai tujuan ini, sebab masjid adalah rumah Allah Swt di muka bumi.

Masjid Imam Hasan Askari Qum.

Sejarah Masjid Imam Hasan Askari as di Qum

Masjid Imam Hasan Askari atau Masjid Imam adalah salah satu masjid tertua di Provinsi Qum. Menurut beberapa riwayat, Ahmad ibn Ishaq Asy'ari Qummi pada abad ketiga Hijriyah menerima perintah dari Imam Hasan Askari as untuk membangun sebuah masjid di dekat Makam Sayidah Maksumah as di Qum. Setelah menerima anggaran, Ahmad ibn Ishaq mulai membangun masjid di dekat sungai Qum dan tidak jauh dari Makam Sayidah Maksumah.

Allamah Majlisi dalam bukunya Tazkiratul Aimmah menulis, "Pada masa Khalifah Usman dan sekitar tahun 32 Hijriyah, tentara Islam datang ke Iran untuk berjihad dengan kaum kafir. Imam Hasan dan Husein as juga berada dalam rombongan tentara Islam. Ketika tiba di Qum dalam perjalanan pulang dari Tabarestan, mereka mendirikan shalat di tempat yang sekarang menjadi lokasi masjid."

Masjid Imam Hasan Askari merupakan salah satu bangunan unik di Dunia Islam karena bentuk arsitektur, ruangan-ruangan yang luas, dan aula yang besar. Karena letaknya yang strategis, masjid ini pernah difungsikan sebagai pusat pemerintahan, tempat menampung orang-orang terlantar, tempat pelaksanaan shalat berjamaah, dan pusat pendidikan agama.

Pedagang dan penjelajah Perancis abad ke-17 Masehi, Jean Baptiste Tavernier dalam bukunya menulis, "… sesuatu yang menyita perhatian lebih di Qum adalah keberadaan sebuah masjid yang sangat besar dan sangat dihormati oleh masyarakat Iran."

Dia kemudian bercerita tentang bentuk arsitektur dan struktur masjid tersebut serta menukil beberapa peristiwa yang disaksikan di sana. Jean Tavernier menuturkan, "Pintu besar masjid ini mengarah ke sebuah alun-alun panjang yang dipenuhi oleh tempat penginapan dan kedai-kedai yang terlihat megah. Salah satu sisinya dibatasi dengan tembok pendek yang terlihat ada sungai di sana… Kamar-kamar kecil terlihat dari halaman utama ketika memasuki sisi kiri masjid. Orang-orang berkumpul di sana untuk mendapatkan makanan dan mereka membubarkan diri setelah selesai makan."

Masjid yang dibangun oleh Ahmad ibn Ishaq Asy'ari sejak 11 abad lalu tentu saja lebih kecil dari bangunan saat ini. Masjid Imam Hasan Askari tercatat dalam Daftar Warisan Nasional Iran pada 13 Desember 1976 dan sudah mengalami beberapa kali renovasi dan pemugaran.

Interior Masjid Imam Hasan Askari.

Serambi selatan masjid merupakan bagian yang paling tua dari bangunan ini dan didirikan pada tahun 1716 M. Serambi kuno ini memiliki tinggi 14 meter dan dibangun oleh Mahdi Ulya, ibunda Shah Suleiman Safavi pada akhir periode Safawiyah. Serambi ini dihiasi dengan dekorasi muqarnas, seni mosaik dari rangkaian ubin, dan penulisan kaligrafi.

Di era Fath-Ali Shah Qajar, Masjid Imam Hasan Askari mengalami kerusakan akibat terjangan banjir di kota Qum. Kerusakan ini diperbaiki dan direnovasi kembali. Di periode Naser al-Din Shah Qajar pada tahun 1869 M, sebuah aula dan ruang bawah tanah yang besar ditambahkan di sisi barat masjid.

Pemugaran dan renovasi terbaru dilakukan oleh almarhum Ayatullah Sayid Muhammad Reza Golpayegani dalam beberapa tahun terakhir. Beliau menyiapkan lahan untuk perluasan masjid dengan membeli tanah di sekitar masjid.

Setelah wafatnya Ayatullah Golpayegani, proyek perluasan masjid dilanjutkan oleh Ayatullah Lutfullah Safi Golpayegani. Proyek ini rampung pada 30 April 2015 dan masjid dibuka kembali untuk umum. Uniknya, bangunan lama dan baru masjid dipadukan sehingga hanya tampak satu kesatuan.

Aula utama masjid memiliki luas 2.900 meter persegi dengan kapasitas 1.900 jemaah. Sebuah lantai yang agak rendah dengan luas 700 meter persegi dibangun di aula ini dan mampu menampung 450 orang. Aula lainnya adalah ruang bawah tanah dengan luas 2.700 meter persegi. Menariknya, tiang-tiang di aula besar ini dirancang sedemikian rupa sehingga tidak menghalangi kontak antara imam dan makmum atau antara khatib dan jemaah.

Sebuah kubah yang relatif besar dibangun di atas ruang utama. Diameter kubah megah ini mencapai 27 meter dengan tinggi 35 meter. Dua menara dengan ketinggian 59 meter telah memberikan kemegahan untuk bangunan besar ini.

Seluruh isi al-Qur'an terukir di atas ubin dengan kaligrafi yang indah. Panjang kaligrafi ini mencapi 9.000 meter untuk mendekorasi tiang-tiang, relief bangunan, kubah, menara, dan langit-langit masjid.

Dalam renovasi terbaru, sebuah gedung 7 lantai dibangun di samping masjid, dua lantai darinya dijadikan perpustakaan dan lima lantai lainnya difungsikan untuk kantor administrasi dan kelengkapan masjid. Sementara lantai bawah tanah digunakan untuk kegiatan budaya seperti pameran buku dan lain-lain.

Selama bertahun-tahun, shalat Jumat diadakan di Masjid Imam Hasan Askari oleh Ayatullah Muhammad Taqi Khwansari dan Ayatullah Araki. Ayatullah Araki mengadakan shalat Jumat di masjid ini selama lebih dari 20 tahun (1957-1979). Masjid ini juga merupakan salah satu tempat untuk i'tikaf di Qum. I'tikaf di masjid ini untuk pertama kalinya dilakukan oleh Ayatullah Ha'iri. Ayatullah Golpayegani juga biasa melakukan i'tikaf di masjid tersebut. (RM)