Pesona Iran yang Mendunia (74)
Shahab al-Din Suhrawardi adalah seorang filsuf dan arif terkemuka, sekaligus pendiri mazhab iluminasi dalam filsafat Islam. Ia dilahirkan di Suhraward, sebuah desa yang terletak dekat Zanjan, Iran. Nama lengkapnya, Abu Al-Futuh Shahāb ad-Dīn Siddiqi Yahya ibn Habash ibn Amirak as-Suhrawardī. Tapi kemudian, lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Isyraq, dan setelah meninggal disebut sebagai Syeikh Maqtul.
Kecerdasan dan luasnya pengetahuan serta kedalaman ilmu Suhrawardi menimbulkan permusuhan dari sebagian kalangan fuqaha. Lalu mereka menggelar pertemuan untuk mengadili Suhrawardi, karena pemikirannya yang mereka pandang sesat. Mereka meminta Malek Zahir menghukum mati Suhrawardi karena dianggap sesat. Tapi putra Salah Al-Din Al-Ayubi itu menolaknya.
Kemudian, fuqaha Aleppo menulis surat disertai tanda tangan mereka yang dikirimkan kepada Salah Al-Din Al-Ayubi. Ketika itu, Salah Al-Din Al-Ayubi baru saja merebut Suriah dari tangan pasukan Kristen. Untuk mempertahankan kredibilitasnya sebagai penguasa Islam di hadapan para ulama fiqih, akhirnya Salah Al-Din Al-Ayubi menerima permohonan mereka dan memerintahkan Malek Zahir membunuh Suhrawardi.
Dengan berat hati, Malek Zahir mematuhi perintah ayahnya. Pada tahun 587 Hq, Suhrawardi dijebloskan ke penjara. Menurut Ibnu Syadad, pada hari Jumat akhir Dzulhijah 587 Hq, setelah shalat, tubuh Sheikh Suhrawardi yang tidak bernafas dikeluarkan dari penjara.
Terkait hal ini, Ayatullah Muthahhari menuturkan, “Suhrawardi bukan hanya ceroboh dalam perdebatan dengan fuqaha dan mutakalim, hingga menyulut permusuhan. Dalam statemennya mengenai rahasia hikmah pun, ia tidak mendengarkan nasehat Ibnu Sina di bagian akhir [kitab] al-Isyarah wa al-Tanbihah, barangkali karena masih muda, sehingga cenderung ceroboh, dan inilah yang menyebabkan permusuhan dan konspirasi terhadap dirinya,”.
Shahrazuri, salah seorang murid paling dekat dengan Suhrawardi menuturkan bagaimana gurunya dibunuh. Sebagian berpendapat ia dijebloskan ke penjara dan tidak diberi makan dan minum hingga mati kelaparan dan kehausan. Sebagian lain mengungkapkan bahwa Suhrawardi sendiri yang meminta dia tidak diberi makan dan minum hingga menutup akhir hayatnya.
Selain itu, ada juga yang berpendapat Suhrawardi mati dijatuhkan dari bukit yang tinggi dan jenazahnya dibakar. Kematian Suhrawardi menimbulkan penyesalan bagi Malek Zahir. Ia mengintruksikan orang yang mengeluarkan fatwa hukuman mati bagi Suhrawardi supaya diasingkan dan seluruh hartanya disita.
Kematian Suhrawardi, sebagaimana kehidupannya hingga kini menyisakan teka teki yang belum terjawab. Selain sejumlah buku yang ditulisnya, tidak ada yang tersisa dari Suhrawardi yang bisa membantu melacak jejak kehidupannya.
Shahrazuri, yang termasuk pembela Sheikh Israq dan mazhab iluminasinya, menuturkan tentang kehidupan Suhrawardi, “Kehidupan luarnya seperti seorang Sufi. Untuk mengontrol nafsunya, ia melakukan penyucian diri yang sangat ketat. Riyadhah yang dilakukannya tidak bisa dikerjakan masyarakat awam. Hanya makan sekali untuk sepekan, itupun dengan porsi sangat sederhana. Ia banyak beribadah, dan memandang kelaparan, kesadaran dan perenungan adalah alam ilahi. Ia sangat menyukai sama’ dan musik, dan dikarunia karamah,”.
Sejak zaman dahulu, selalu muncul penolakan terhadap pemikiran baru dengan berbagai cara, bahkan hingga pengkafiran. Masalah tersebut bisa disaksikan dalam sejarah kehidupan para pemikir dan ilmuwan serta filsuf dunia, termasuk di Iran. Contohnya, Ibnu Sina disebut sebagai kafir dan sebagian menamainya zindiq. Fenomena serupa juga menimpa Suhrawardi yang berujung kematiannya.
Sebagian peneliti berupaya melacak jejak terbunuhnya Suhrawardi. Sebagian menilai Suhrawardi sebagai pembela nasionalisme yang membuatnya terbunuh.Tapi, pandangan ini dikritik oleh sebagian besar peneliti, karena tidak memiliki argumentasi yang kuat. Penilaian tersebut disebabkan ketidaktahuan maupun pemahaman yang tidak utuh terhadap karya dan kehidupan Suhrawardi.
Sebagian peneliti berkeyakinan bahwa kematian Suhrawadi karena pandangannya dalam masalah politik. Ia meyakini Filsuf Sultan sebagai orang yang berhak berkuasa. Pemikiran ini mengancam status quo Khalifah Baghdad dan Salahuddin al-Ayubi.
Di awal bukunya berjudul Hikmah Al-Isyraq, Suhrawardi membela pemikirannya mengenai Filsuf Sultan. Pemikiran tersebut juga memicu kekhawatiran para fuqaha Malek Zahir, putra Salahuddin Al-Ayubi. Masalah tersebut menyulut keluarnya fatwa kafir dan hukuman mati bagi Suhrawardi.
Kehidupan Sheikh Israq juga bersamaan dengan era sensitif penyebaran ajaran Ismailiah. Ketika itu dua orang dari penguasa Ismailiah mengumumkan ajaran Ismailiah yang kontroversial yaitu hari raya Kiamat dan dihapusnya hukum zahir fiqh Islam.
Penguasa Ismailiah Nuruddin Muhammad kedua dalam kitab Fusul wa Ushul menjelaskan mengenai akidah Ismailiah yang berpijak dari filsafat. Para peneliti meyakini, Suhrawardi yang cerdas, muda dan gigih dalam menuntut ilmu, terutama hikmah, dalam perjalanannya dari Maragha ke Qazvin, Ray, Esfahan, Mardin dan Aleppo berinteraksi dengan mubaligh Ismailiah dan ajaran mereka mempengaruhi pemikiran Suhrawardi.
Meskipun tidak berumur panjang, tapi Suhrawardi menghasilkan tidak kurang dari 50 karya. Tapi sebagian karyanya belum diterbitkan hingga kini. Berbagai riset dilakukan para peneliti dunia untuk menggali pemikiran dan kehidupan Suhrawardi.
Sejumlah tokoh terkemuka seperti Hossein Nasr, Henry Corbin dan Louis Massignon termasuk deretan sarjana yang memiliki perhatian besar terhadap karya-karya Suhrawardi. Karya biografi pemikiran Suhrawardi ditulis oleh dua muridnya, Shams al-Din Shahrazuri dan Qutb al-Din Shirazi dengan notasi dari Sadr al-Din Shirazi.
Para ahli sastra dan penulis memuji model penulisan Shahrazuri mengenai biografi Suhrawardi. Salah satu karakteristiknya mengenai ketajaman dan kebernasan yang didukung dengan kematangan berbahasa Arab yang fasih. Hossein Nasr mengedit karya berbahasa Farsi Sheikh Israq dan mempublikasikannya dalam bentuk buku.
Nasr berkeyakinan bahwa karya Suhrawardi tersebut merupakan contoh terbaik karya filsafat berbahasa Farsi dalam sejarah sastra Iran. Bahkan menurut Nasr, sebelum Suhrawardi, barangkali bisa dikatakan dalam sejarah seribu tahun karya berbahasa Farsi belum ada orang yang menulis pembahasan filsafat dengan lembut dan mudah dicerna.
Risalah Farsi Suhrawardi tidak seragam. Misalnya kitab “Parto Nameh”, “Haykal al-Nur” dan Alwah Emadi merupakan karya mengenai hikmah teoritis yang sebagian mengikuti hikmah paripatetik Ibnu Sina. Tapi pembahasan mengenai Nafs dan ilahiyah sepenuhnya menjelaskan tentang hikmah Israqi yang disampaikan dalam bentuk tamsil dan rumus.
Selain itu, Suhrawardi juga memiliki karya dalam bentuk cerita irfani. Dalam karyanya ini ia tidak hanya menjelaskan tentang hikmah dan marifat, tapi juga mengajak pembaca untuk memahami sebuah kondisi khusus mengenai kehidupan seorang isyraqi.