Pesona Iran yang Mendunia (81)
Shahab al-Din Suhrawardi adalah seorang filsuf dan arif terkemuka, sekaligus pendiri mazhab iluminasi dalam filsafat Islam. Ia dilahirkan di Suhraward, sebuah desa yang terletak dekat Zanjan, Iran. Nama lengkapnya, Abu Al-Futuh Shahāb ad-Dīn Siddiqi Yahya ibn Habash ibn Amirak as-Suhrawardī. Tapi kemudian, lebih dikenal dengan sebutan Syeikh Isyraq, dan setelah meninggal disebut sebagai Syeikh Maqtul.
Sheikh Sahab Al-Din Suhrawardi menjadi bintang yang bersinar di angkasa hikmah dan filsafat Iran maupun dunia Islam dengan karyanya. Meskipun tidak berumur panjang, tapi Suhrawardi menghasilkan tidak kurang dari 50 karya.
Berbagai karya Suhrawardi yang sebagian masih bisa kita nikmati hingga kini menjadi perhatian para sarjana, terutama sistem simbolisme dalam karyanya. Pemahaman terhadap metafor dan terma simbolis yang dipergunakan Suhrawardi dalam karyanya diperlukan untuk mencapai sebuah gambaran utuh mengenai sistem pemikirannya.
Pada acara sebelumnya, kita sudah membahas tiga karya penting Suhrawardi berbahasa Farsi yang bercorak simbolik, yaitu: Avaz-e Par Jibrail dan Lughat-i Muran, dan Fi Haqiqah al-Esgh”. Kali ini, kita akan menelisik karya lainnya yang masih bercorak simbolik yaitu Safir-e Simorgh.
Karya Suhrawardi paling muktabar mengenai suluk, tingkatan marifat dan irfan serta rahasia fana dan kematian adalah risalah Safir-e Simorgh. Karya Suhrawardi ini sepenuhnya ilmiah dan disusun dengan struktur logis khas Sheikh Isyraq. Suhrawardi menulis risalahnya ini dalam bentuk sistematika yang tersusun rapih dan tertata.
Risalah Safir-e Simorgh menunjukkan kedudukannya sebagai karya yang masuk deretan atas paling ilmiah di zamannya dengan tingkat akurasi yang tinggi dan sistematis. Di bagian pembukaan karyanya, Suhrawardi menjelaskan mengenai subyek, dan tujuan, serta gambaran umum masalah yang ingin disampaikan dalam risalah, disertai sistematikanya.
Pada bagian pembukaan, sebagaimana metode yang umum dipakai di zamannya, Suhrawardi memulai mukadimah pembahasan dengan pujian pada Allah swt, dan shalawat kepada Rasulullah Saw. Tapi berbeda dengan karya lainnya, pujian dan syukur tersebut tidak panjang dan tampil dalam format yang singkat berbentuk dua baris kalimat pendek. Kemudian, Sheikh Isyraq menjelaskan masalah utama yang dibahas dalam risalahnya. Setelah itu, menyinggung klasifikasi risalah yang diberi nama “Safir-e Simorgh”.
Pemberian judul pada risalahnya dengan nama “Safir-e Simorgh” memudahkan pembaca tertuju ke arah pesan penting yang ingin disampaikan Sheikh Isyraq dalam pembukaan karyanya itu. Terkait hal ini, Sheikh Isyraq mengungkapkan dalam pembukaan risalah Safir-e Simorgh, “…dan tidak rugi sekiranya di pembukaan ini saya menyinggung tentang kondisi burung besar ini, dan kedudukannya,”.
Kemudian, dengan mengubah perspektif dari orang pertama yaitu dirinya sendiri, menjadi orang ketiga yaitu Roshan Ravana, Suhrawardi menuturkan narasi tentang Simorgh. Pengubahan posisinya dari orang pertama menjadi orang ketiga dilakukan secara cerdas dan tepat, disertai pengubahan konsep dan muatannya, bahasa serta cara pengungkapannya yang menarik.
Ketika mengungkapkan pujian kepada Allah swt, dan mukadimah lainnya, Suhrawardi memilih bahasa yang sederhana. Tapi di saat menjelaskan mengenai posisi dan kedudukan Simorgh yang ditempatkan dalam dimensi irfan, Sheikh Isyraq menggunakan bahasa simbolik dan tamsil.
Suhrawardi menyampaikan masalah posisi dan kedudukan Simorgh berbeda dari narasi yang dikemukakan penulis lain dengan tujuan supaya risalah Safir-e Simorgh lebih mudah dipahami. Penjelasan tentang Simorgh yang dikemukakan Sheikh Isyraq dalam risalahnya ini sangat berbeda dengan narasi yang ditulis oleh Ibnu Sina, Ghazali dan Ain Al-Ghazat.
Selain isinya, penuturan Suhrawardi mengenai Simorgh juga disampaikan dalam gaya khasnya yang menarik berupa tamsil dan rumus-rumus. Simorgh dalam narasi Suhrawardi bukan tanpa ciri. Menurut keyakinan Sheikh Isyraq, Setiap hud-hud pun yang sesuai dengan kriteria pemikiran Suhrawardi dan ajarannya, maka bisa sampai pada derajat Simorgh.
Terkait hal ini, Suhrawardi dalam risalah Safir-e Simorgh mengungkapkan, “Setiap Hud-hud yang meninggalkan tempatnya di musim semi dan dengan patuk, bulu dan sayapnya terbang menuju gunung Qaf. Apabila jarak dengan gunung Qaf membutuhkan waktu 1.000 tahun lamanya, maka bagi ahli hakikat menjadi hanya semalam saja. Ketika bisa melakukannya, maka disebut sebagai Simorgh,”.
Pemikiran utama yang disampaikan Suhrawardi dalam risalah Safir-Simorgh adalah tidak adanya prasyarat untuk sampai ke tingkatan Simorgh. Dalam karyanya, Sheikh Isyraq menggunakan terma “Setiap Hud-hud pun” yang menjadi tamsil bagi setiap salik, bisa mencapai derajat Simorgh. Meskipun demikian, jalan menuju ke arah tingkatan tersebut tidak mudah, terjal dan berliku. Tapi menurut Suhrawardi, kesulitan jalan tersebut bukan berarti tidak mungkin.
Sebagian kalangan berkeyakinan bahwa karya Suhrawardi dalam risalah Safir-e Simorgh menjelaskan jalan pesuluk hak hingga ke tingkatan marifat.Kisah Simorgh merupakan perjalanan awal, sebuah safar di alam ruhani. Narator kisah ini menyebutnya sebagai safar “Roshan Ravanan”, terhadap orang-orang yang melakukan perjalanan ruhani untuk meraih cahaya.
Suhrawardi sendiri menjadikan cahaya sebagai pijakan pemikirannya dengan menjelaskan masalah “Nur Roshanaie”. Menurut Suhrawardi orang-orang yang diterangi cahaya berkewajiban untuk menjelaskan jalan isyraqi kepada orang lain.
Dalam risalah Safir-e Simorgh, Hud-hud dikisahkan meninggalkan sarangnya, dan mencabut bulu-bulu serta sayap dengan patuknya sendiri. Hud-hud adalah tamsil dari pesalik yang mengurangi bawaannya sebelum terbang menuju gunung Qaf. Burung hud-hud ini meninggalkan sarangnya, dan melepaskan bulu dan sayapnya sebagai bentuk penyucian diri, dan tidak adanya ketergantungan kepada dunia sebagai syarat melakukan perjalanan ruhani.
Waktu safar adalah musim semi, yaitu musim perubahan dan era tumbuh kembang. Menurut Suhrawardi, inilah Roshan Ravanan dari kegelapan musim dingin, menuju musim semi marifah.Tujuan perjalanan Hud-hud adalah gunung Qaf, sebuah tempat yang tidak ada dalam peta dunia.
Perjalanan yang harus ditempuh membutuhkan waktu 1000 tahun, dan ketika itu baru menjadi Simorgh. Tapi waktu sepanjang itu, dalam kalender ahli hakikat terasa hanya satu malam.Tujuan dan hasil akhir dari perjalanan itu adalah menjadi Simorgh. Di akhir perjalanan, Hud-hud yang merupakan cermin dari ruh pesalik, akhirnya mencapai derajat Simorgh. Sheikh Isyraq menyebutnya sebagai salah satu dari 20 sifat paling terpuji.
Sifat yang disebutkan oleh Suhrawardi untuk Hud-hud yang menjadi Simorgh, tidak diragukan lagi adalah sifat manusia sempurna atau insan kamil. Sheikh Isyraq di bagian mukadimah risalah Safir-e Simorgh menjelaskan teori tentang Insan kamil, disertai syarat dan tingkatannya dalam bentuk bahasa simbolis.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Sheikh Isyraq berbentuk risalah yang sepenuhnya ilmiah dengan pengungkapan yang sederhana dan relatif mudah dipahami. Dalam risalahnya ini, Suhrawardi mengaitkan pembahasan antara teori dan praktik, yang merupakan salah stau karakteristik metode pengajaran Suhrawardi.
Para peneliti karya Suhrawardi berkeyakinan bahwa Suhrawardi menawarkan sebuah penjelasan ilmiah mengenai perjalanan menuju Allah swt yang disampaikan dalam bentuk sistem simbolik dalam risalah Safir-e Simorgh.(PH)