Pesona Iran yang Mendunia (82)
Shahab al-Din Suhrawardi adalah seorang filsuf dan arif terkemuka, sekaligus pendiri mazhab iluminasi dalam filsafat Islam. Ia dilahirkan di Suhraward, sebuah desa yang terletak dekat Zanjan, Iran. Nama lengkapnya, Abu Al-Futuh Shahāb ad-Dīn Siddiqi Yahya ibn Habash ibn Amirak as-Suhrawardī.
Kecerdasan dan luasnya pengetahuan serta kedalaman ilmu Suhrawardi menimbulkan permusuhan dari sebagian kalangan fuqaha. Lalu mereka menggelar pertemuan untuk mengadili Suhrawardi, karena pemikirannya yang mereka pandang sesat. Mereka meminta Malek Zahir menghukum mati Suhrawardi karena dianggap sesat. Tapi putra Salah Al-Din Al-Ayubi itu menolaknya.
Kemudian, fuqaha Aleppo menulis surat disertai tanda tangan mereka yang dikirimkan kepada Salah Al-Din Al-Ayubi. Ketika itu, Salah Al-Din Al-Ayubi baru saja merebut Suriah dari tangan pasukan Kristen. Untuk mempertahankan kredibilitasnya sebagai penguasa Islam di hadapan para ulama fiqih.
Akhirnya Salah Al-Din Al-Ayubi menerima permohonan mereka dan memerintahkan Malek Zahir membunuh Suhrawardi. Dengan berat hati, Malek Zahir mematuhi perintah ayahnya. Pada tahun 587 Hq, Suhrawardi dijebloskan ke penjara. Menurut Ibnu Syadad, pada hari Jumat akhir Dzulhijah 587 Hq, setelah shalat, tubuh Sheikh Suhrawardi yang tidak bernafas dikeluarkan dari penjara.
Sheikh Shahab Al-Din Suhrawardi menjadi bintang yang bersinar di angkasa hikmah dan filsafat Iran maupun dunia Islam dengan karyanya. Meskipun tidak berumur panjang, tapi Suhrawardi menghasilkan tidak kurang dari 50 karya.
Berbagai karya Suhrawardi yang sebagian masih bisa kita nikmati hingga kini menjadi perhatian para sarjana, terutama sistem simbolisme dalam karyanya. Pemahaman terhadap metafor dan terma simbolis yang dipergunakan Suhrawardi dalam karyanya diperlukan untuk mencapai sebuah gambaran utuh mengenai sistem pemikirannya.
Pada acara sebelumnya, kita sudah membahas tiga karya penting Suhrawardi berbahasa Farsi yang bercorak simbolik, yaitu: Avaz-e Par Jibrail dan Lughat-i Muran, Fi Haqiqah al-Esgh dan Safir-e Simorgh. Kali ini, kita akan menelisik karya lainnya yang berbahasa Farsi yaitu Aghl-e Sorkh.
Para peneliti memandang kitab Aghl-e Sorkh merupakan risalah alegoris karya Sheikh Isyraq yang paling terkemuka, sekaligus salah satu karyanya yang paling simbolis. Kitab Aghl-e Sorkh termasuk salah satu dari karya yang menjelaskan pandangan Sheikh Isyraq.
Buku tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Farsi oleh orientalis Prancis, Henry Corbin. Seorang penulis skenario film Prancis setelah membaca terjemahan kitab Aghl-e Sorkh melayangkan surat kepada Henry Corbin.
Ia menulis, ”Saya terkesima membaca Aghl-Sorkh. Anda mengenalkan salah satu teks kehidupan spiritual yang paling besar dan mengagumkan bagi (masyarakat) Barat. Tidak diragukan lagi, Anda juga menghidupkan teks memori orang-orang Iran,”.
Menurutnya, teksnya sulit, dan tidak bisa dibaca setiap waktu. “Perlu menanti momentum yang tepat ketika hati hidup.Tapi ketika kehilangan jalan, catatan dan saran Anda kembali membimbingku menuju jalan yang lurus. Sejatinya, hingga akhir kehidupanku barangkali aku tidak akan membutuhkan kitab lain. Kitab ini akan kembali kubaca, hingga berulangkali,” tulisnya.
Profesor Ebrahim Dinani dalam karyanya mengenai tafsir kitab Aghl-e Sorkh menulis, “Orang-orang dahulu meyakini warna merah sebagai gabungan dari putih dan hitam. Ketika membahas mengenai akal merah, maksud Suhrawardi adalah akal dalam diri manusia. Akal dari dimensi dzatnya adalah putih dan bercahaya. Tapi, badannya bersifat gelap. Oleh karena itu, akal putih dan transparan yang dzatnya bercahaya, ketika bertemu dengan badan yang gelap berubah menjadi merah. Dengan demikian, akal merah adalah akal manusia.”
Menurut filsuf Iran ini, Suhrawardi dipengaruhi oleh Ferdows dan pemikirannya. Dinani menuturkan, “Suhawardi sangat dipengaruhi oleh Shahnameh. Bahkan bisa dikatakan, ia berulangkali membacanya. Tapi ketika Suhrawardi menjelaskan tentang masalah isyraqi dengan bahasa simbolik, ia tidak menyebutkan nama orang atau sumber tertentu. Tentu saja, masalah ini dilakukan dengan sengaja. Bahkan nama Ferdows sendiri tidak disebutkan. Masalah ini dilakukan dengan mempertimbangkan faktor politik dan sosial ketika itu,”.
Kitab Aghl-e Sorkh sangat dipengaruhi oleh budaya Iran kuno. Abol Ghassem Esmail Pour, peneliti mitologi kontemporer Universitas Beheshti Tehran mengatakan, Dari 13 risalah singkat berbahasa Farsi, Suhrawardi secara langsung menggunakan muatan mitologi Iran kuno dalam lima risalah Alwah Emadi, Aghl-e Sorkh, Safir-e Semorgh, Avaz Par Jebrail dan risalah Al-Thair.
Esmail Pour dan para peneliti karya Suharwardi lainnya berkeyakinan bahwa Sheikh Isyraq menggunakan muatan mitologi Persia kuno dalam bentuk cerita simbolik yang diambil dari Avista, dan tokoh-tokoh dalam mitologi Avista serta Shahnameh. Di sini, Suhrawardi menggunakan tokoh-tokoh tersebut untuk menjelaskan pembahasan filsafat dan irfan dalam bentuk cerita simbolik.
Misalnya, Suhrawardi dalam kitab Alwah Emadi menjelaskan tentang masalah kebangkitan yang mengambil inspirasi dari cerita Fereydoun dan Zahak dari kitab Shahnameh Ferdows yang juga terdapat dalam Avista.
Suhrawardi menjelaskan tentang cahaya dan kegelapan dalam bentuk cerita mitologis dan simbolik. Fereydoun sebagai simbol dari cahaya, sedangkan Zahak adalah simbol dari kegelapan. Tapi dalam penyajian cerita tersebut, Suhrawardi menampilkan kreasi orsinil yang menunjukkan keahliannya dalam bidang sastra.
Menurut Esmail Pour, mitologi yang dipergunakan dalam risalah Aghl-e Sorkh merupakan produk dari kreativitas pemikiran Suhrawardi. Aghl-e Sorkh adalah simbol dari Aghl Kul dan hakikat absolut. Dalil kehadirannya dalam bentuk seorang kakek tua berambut merah pirang yang dimunculkan oleh Suhrawardi dalam narasi cerita besutannya.
Di kitab Aghl-e Sorkh, Sheikh Isyraq menjelaskan tentang Simorgh, pohon Tuba, dan muatan isi lainnya. Ia menjelaskan tentang isi melalui pengungkapan yang elegan dan menawan. Bahkan ia menjelaskan cerita Zal dari Shahnameh dalam risalah Aghl-e Sorkh dengan memukau.
Zal dalam bahasa Avista bermakna waktu. Ia bisa diibaratkan seperti rambut putih yang merupakan simbol dari cahaya dan waktu. Ia juga bisa rontok, sebagaimana nasib Zal yang ditinggalkan di gurun sahara oleh ayahnya Tard, kemudian Simorgh menyelamatkan Zal.
Sebagian peneliti menempatkan karya Suhrawardi seperti Aghl-e Sorkh sebagai karya Surealis. Bahkan, beberapa peneliti menempatkan karya Suhrawardi ini sebagai mata air cerita Surealis dan postmodern. Dengan membaca karya Suhrawardi tersebut, kita bisa menikmati kedalaman dan keluasan sastra Persia, terutama kekayaan imajinasinya yang tampil dalam bentuk cerita simbolik yang menawan.(PH)