Nov 10, 2019 18:13 Asia/Jakarta

Penyebaran pasukan Amerika Serikat ke berbagai negara dunia bukan hal yang baru. Namun alasan penempatan militer Amerika di negara-negara lain itu selalu berbeda seiring dengan berjalannya waktu.

Amerika mengirim pasukan ke negara lain terkadang dengan dalih melindungi Hak Asasi Manusia, memberantas terorisme, mencegah penggunaan senjata pemusnah massal,  membela kebebasan dan melindungi keamanan global.

Setiap pemerintahan di AS menggunakan dalih-dalih seperti di atas untuk menjustifikasi kehadiran militer mereka di negara lain, namun sebenarnya banyak pihak yang meragukan alasan-alasan itu, sebab, AS selalu menutupi tujuan aslinya.

Hal ini sedikit berbeda dengan pemerintahan Donald Trump. Trump dengan terang-terangan mengaku bahwa kelanjutan penempatan militer Amerika di Suriah disebabkan oleh minyak di negara ini.

Anadolu Turki menyebutkan bahwa AS sedang membangun dua pangkalan baru di provinsi Deir al-Zour yang kaya minyak di Suriah. Sekitar 300 tentara AS telah dikerahkan di wilayah tersebut bersama dengan kendaraan lapis baja dan senjata berat untuk mendirikan pangkalan-pangkalan baru, satu di dekat pangkalan Brigade 113 Angkatan Udara Suriah dan satu lagi di al-Sur wilayah di provinsi tersebut.

Kepala Staf Gabungan Militer AS Jenderal Mark Milley pada Senin, 28 Oktober 2019 mengatakan bahwa pasukan AS akan tetap di Tanf di sepanjang perbatasan Irak-Suriah, dan lebih banyak lagi dikirim ke ladang minyak yang dioperasikan oleh perusahaan energi AS ConocoPhillips di sekitar Deir Ezzor di Suriah timur.

Rekaman video dari wilayah tersebut menunjukkan konvoi militer AS memasuki kembali Suriah, beberapa hari setelah Trump memerintahkan mereka keluar sebelum invasi Turki. Perubahan keputusan ini setelah pejabat Kementerian Pertahanan membujuk Trump bahwa penting untuk melindungi sumber daya minyak di Suriah timur.

"Amankan minyak, saya selalu mengatakan itu. Kami telah mengamankan minyak," kata Trump pada konferensi Senin, 28 Oktober 2019.

Dia menambahkan, tujuannya adalah untuk mengamankan bagian AS dari total produksi minyak Suriah.

"US$ 45 juta per bulan. Kami amankan minyaknya," lanjut Trump.

Namun, langkah AS untuk "mengamankan" ladang minyak Suriah berpotensi masuk dalam definisi kejahatan perang. Menurut hukum perang internasional yang diratifikasi menjadi hukum federal AS, sumber daya alam (termasuk minyak) di sebuah negara adalah milik pemerintah mereka. Merebutnya berarti menjarah.

Minyak di Suriah otomatis merupakan milik pemerintahan Presiden Suriah Bashar al-Assad yang saat ini menjabat dan mendapat dukungan dari Rusia. Menurut para ahli hukum, jika pasukan atau perusahaan AS mengambil minyak apa pun tanpa izin pemerintah Assad, itu akan dianggap menjarah, karena tanah dan sumber dayanya adalah milik pemerintah Assad yang tetap merupakan kepala negara de jure, meskipun diguncang konflik delapan tahun terakhir.

Penjarahan adalah ilegal di bawah hukum internasional, secara eksplisit dilarang oleh Konvensi Jenewa Keempat, yang diratifikasi AS sebagai perjanjian pada tahun 1955. Undang-Undang Kejahatan Perang AS tahun 1996 juga menyebut penjarahan sebagai "pelanggaran berat" dari salah satu Konvensi Jenewa "baik di dalam atau di luar AS. (RA)

Tags