Tekanan Asing dan Pengunduran Diri Presiden Bolivia
Presiden Bolivia Evo Morales mengundurkan diri dari jabatannya demi memulihkan keamanan dan ketenangan di negaranya. Morales dalam sebuah pidato pada Minggu malam, 10 November 2019, mengumumkan pengunduran dirinya dan mengkritik keras kubu oposisi yang menyeret Bolivia dalam kekacauan. Wakil Presiden Bolivia, Alvaro Garcia Linera juga memilih mengundurkan diri.
Morales berhasil mengalahkan rivalnya, Carlos Mesa dalam pemilu presiden yang digelar pada Oktober 2019. Namun, oposisi menolak hasil pemilu dengan klaim terjadi kecurangan dan mengerahkan massa untuk turun ke jalan-jalan. Ketua Partai Gerakan Sosialis, Evo Morales telah berkuasa di Bolivia sejak tahun 2006.
Politisi pro-Barat, Carlos Mesa dan sekutunya menuding Morales melakukan kecurangan dalam pemilu. Dalam beberapa hari terakhir, Amerika Serikat dan sekutunya juga meningkatkan intervensi dalam urusan internal Bolivia di tengah memanasnya aksi protes di negara itu.
Kebijakan anti-imperialisme dan anti-Amerika yang diadopsi Morales, membuatnya berada di bawah tekanan Washington sama seperti yang dihadapi oleh beberapa pemimpin kiri lainnya di kawasan.
Pada jam-jam pertama setelah pengumuman hasil pemilu, Carlos Mesa mengumumkan bahwa mereka tidak akan menerima hasil yang diumumkan dan mendesak para pendukungnya untuk turun ke jalan. Mereka menuduh pemerintah mencurangi pemilu dan memanipulasi suara serta menuntut Morales untuk mundur dan diselenggarakan pemilu presiden kembali.
Sementara itu, Morales menyebut kerusuhan jalanan sebagai kudeta oleh mereka yang gagal dalam pemilu presiden negara ini. Dia memperingatkan tentang kudeta di Bolivia dan meminta oposisi agar menerima suara rakyat.
Morales mengatakan bahwa rival politiknya sedang mempersiapkan kudeta dan kubu sayap kanan telah mempersiapkan kudeta dengan dukungan internasional. Saya mengecam kudeta yang sedang berlangsung, dan kudeta tengah dipersiapkan dengan dukungan internasional dan itu akan dilakukan.
Sebaliknya, oposisi meningkatkan tekanan pada pemerintah. Mereka menutup jalan-jalan dan menghancurkan properti umum serta sejak hari Miinggu, 10 November 2019. Mereka juga menduduki gedung-gedung pemerintah termasuk radio dan televisi Bolivia.
Oposisi yang didukung Amerika Serikat ini awalnya menuntut pemilu ulang, yang disetujui Morales, tetapi beberapa jam kemudian, dengan intervensi dan tekanan dari militer serta kekerasan yang terus berlanjut dilakukan para demonstran, Morales dipaksa untuk mengundurkan diri dan akhirnya kudeta yang ditargetkan oposisi yang didukung AS di Bolivia ini benar-benar berhasil.
Dalam mengumumkan pengunduran dirinya, Morales meminta semua orang di Bolivia dan di seluruh dunia untuk mengetahui bagaimana kelompok-kelompok yang berafiliasi berkonspirasi menentang demokrasi. Dia menuturkan, perjuangan tidak berakhir di sini dan kami bersama dengan orang-orang yang rendah hati, orang miskin, sektor sosial dan patriot, akan melanjutkan perjuangan ini untuk kesetaraan dan perdamaian di negara kami.
Kudeta yang didukung AS di Bolivia memicu kemarahan sekutu Bolivia seperti Venezuela dan Kuba. Presiden Argentina yang baru terpilih juga menulis dalam akun Twitternya bahwa kudeta di Bolivia terjadi dengan aksi bersama warga sipil yang kejam, personel polisi dan sikap pasif militer yang menuntut proses pemilihan baru.
Bahkan di Amerika Serikat, kudeta itu dikecam sebagai alat melawan demokrasi dan untuk kediktatoran dan dominasi. Anggota Kongres AS Ilhan Omar, sebagai reaksi atas kudeta terhadap Morales, yang memenangkan pemilu presiden baru-baru ini, pada hari Senin, 11 November 2019, menulis, "Untuk melengserkan presiden satu negara lewat angkatan bersenjata hanya ada satu kata dan itu adalah "kudeta". Kita harus secara eksplisit menentang kekerasan politik di Bolivia."
Banyak negara Amerika Latin, termasuk Bolivia dan Venezuela, telah lama berada di bawah tekanan langsung dan tidak langsung Amerika Serikat, seperti yang dialami Venezuela selama berbulan-bulan berada di bawah tekanan sanksi, karena mereka belum menyerah pada kebijakan AS dan mengejar cita-cita anti kolonialisme dan keadilan. Meskipun bantuan AS untuk oposisi Maduro terhadap kudeta di Venezuela gagal, Washington terus menekan negara-negara di kawasan ini dan sekutu Maduro, sebagaimana Morales sekarang terpaksa mengundurkan diri.
Namun pengunduran diri Morales tidak berarti akhir dari krisis di Bolivia dan banyak yang mengkhawatirkan masa depan, demokrasi dan perdamaian di Bolivia. Karena AS terus melanjutkan kebijakannya untuk menggulingkan pemerintahan yang mengejar cita-cita kemandirian, anti-kolonialisme dan menuntut keadilan serta tidak menyerah pada kebijakan dominasi asing, maka negara-negara di Amerika Latin, termasuk Bolivia, menghadapi tantangan serius untuk mempertahankan cita-cita mereka. (RA)