Feb 08, 2020 15:08 Asia/Jakarta
  • 41 Tahun Permusuhan dan Konspirasi AS terhadap Iran

Konspirasi, permusuhan, dan intervensi Amerika Serikat telah mewarnai sejarah politik Iran. Permusuhan ini sudah berusia lebih dari setengah abad. Intervensi AS di Iran ditandai dengan kudeta 28 Mordad 1332 Hijriyah Syamsiah (Agustus 1953) dan penggulingan sebuah pemerintahan demokratis.

Dokumen kudeta yang sudah dirilis ke publik oleh Dinas Intelijen Pusat AS (CIA) menunjukkan bahwa Amerika-Inggris secara langsung terlibat dalam aksi makar itu.

Kudeta 28 Mordad dilakukan oleh CIA dengan dukungan langsung Dinas Intelijen Inggris (MI6). Kudeta ini bertujuan untuk menggulingkan Perdana Menteri Iran Mohammad Mosaddegh dan mengembalikan posisi Mohammad Reza Pahlavi sebagai Raja Iran serta memanfaatkan posisi geopolitik Iran di wilayah Asia Barat.

Surat kabar The Christian Science Monitor dalam satu analisanya tentang tujuan AS menggulingkan pemerintahan sah Iran menulis, "Jika pemerintah Mossadegh tidak digulingkan, pemerintah Inggris akan tumbang dalam satu atau dua bulan ke depan, dan pemerintahan berikutnya terpaksa harus bersikap lunak di hadapan Mossadegh demi menyelesaikan masalah minyak Iran dengan cara manusiawi dan diterima oleh dunia sehingga Inggris dapat keluar dari kebuntuan yang terjadi."

Berdasarkan dokumen yang dirilis oleh CIA dan Departemen Luar Negeri AS pada Juni 2000, perwakilan dinas keamanan Inggris mengusulkan penggulingan pemerintah Mossadegh kepada CIA dan mereka menerima jawaban positif dari Washington pada Maret 1952.

Kermit Roosevelt Jr, salah satu agen senior CIA di Timur Tengah menuturkan, "Itu adalah kudeta pertama yang sukses oleh CIA terhadap sebuah pemerintahan asing di bulan-bulan terakhir pemerintahan Truman."

AS telah kehilangan pengaruh dan hegemoninya di Iran sejak kemenangan Revolusi Islam. Revolusi telah mengubah perimbangan politik dan ekonomi AS di kawasan. Oleh karena itu, Washington mencari langkah-langkah baru untuk melawan Tehran pasca revolusi.

Satu hari setelah kemenangan Revolusi Islam, AS mulai memberikan dukungan kepada kelompok anti-revolusi dan separatis. Berbagai dokumen mencatat bahwa pemerintah AS tidak mengesampingkan dukungan kepada kelompok separatis sebagai salah satu opsi untuk memperlemah sistem Republik Islam.

Salah satu dokumen yang diperoleh dari Kedutaan Besar AS di Tehran, disebutkan bahwa AS tertarik memanfaatkan kapasitas kelompok etnis untuk menggulingkan Republik Islam. Dokumen ini telah menelanjangi wajah asli Amerika.

Permusuhan AS terhadap Iran tidak pernah berhenti, dan pengalaman perjanjian nuklir JCPOA menunjukkan bahwa AS tidak pernah bisa dipercaya. Pemerintah AS tidak pernah menerima bahwa Iran – sebagai negara independen – akan menghalangi kebijakan hegemoni AS di kawasan.

Aksi-aksi seperti intervensi militer di Gurun Tabas dan kudeta Nojeh yang gagal, menunjukkan bahwa AS mempertahankan kebijakan subversif sebagai strategi utama untuk menancapkan hegemoni di kawasan. Peristiwa Tabas merupakan sebuah langkah awal untuk aksi militer AS terhadap Iran. Operasi ini disusun pada tahun-tahun pertama kemenangan Revolusi Islam, tetapi gagal sejak awal.

Mantan Presiden AS Barack Obama – selama kunjungannya ke Mesir dan Arab Saudi pada Juni 2009) mengakui bahwa pelaku kudeta 28 Mordad adalah AS dan ini telah menjadi sumber ketegangan antara Washington-Tehran.

Dalam sebuah wawancara dengan The New York Times pada 14 Juli 2015, Obama menuturkan, "Jika Anda melihat sejarah Iran, faktanya adalah bahwa kami sedikit banyak terlibat dalam penggulingan pemerintahan yang dipilih secara demokratis di Iran. Di masa lalu, kami mendukung Saddam Hussein ketika kami tahu ia menggunakan senjata kimia dalam perang dengan Iran."

Operasi Tabas adalah sebuah agresi lain yang dilakukan AS terhadap Iran. Perilaku pemerintah AS setelah gagal di Tabas, menunjukkan bahwa negara itu tidak belajar dari masa lalu. Jadi, permusuhan Washington terhadap Tehran memang tidak pernah berhenti.

Masing-masing dari manuver ini merupakan bukti atas agresi dan sebuah noktah hitam dalam sejarah kebijakan luar negeri AS.

Petinggi Partai Demokrat, Bernie Sanders dalam debat internal partai dengan Hillary Clinton pada 11 Februari 2016, menyinggung intervensi AS dalam penggulingan pemerintah di negara lain.

"… intervensi ini kembali ke 50 atau 60 tahun lalu, ketika AS terlibat dalam penggulingan pemerintah. Salah satu dari kasus ini penggulingan pemerintahan Mosaddegh pada 1953. Tidak satu pun dari pejabat AS yang tahu Mosaddegh; dia adalah perdana menteri terpilih bangsa Iran. Ia digulingkan dari kekuasaan untuk kepentingan AS dan Inggris, dan sebagai hasilnya, kediktatoran shah di Iran. Anda kemudian menyaksikan revolusi rakyat Iran, dan akhirnya kita sampai di titik sekarang ini. Hasil yang tidak diinginkan dan tidak terduga...," ujarnya.

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Sayid Ali Khamenei dalam sebuah pidatonya, menyinggung kekalahan memalukan AS dalam Operasi Eagle Claw di Gurun Tabas pada 1980. Menurutnya, AS mungkin tidak memahami banyak hal, tetapi mereka mungkin sangat mengerti akan dampak dari invasi ke Iran.

Ayatullah Khamenei pada kesempatan lain menandaskan, "AS sedang mencari kesempatan untuk memaksakan kehendaknya atas bangsa Iran, dan esensi Amerika saat ini adalah sama dengan esensi Amerika era Reagan, dan sama sekali tidak ada perbedaan antara Demokrat dan Republik.”

AS memiliki banyak rapor buruk dalam sejarahnya seperti pemboman Hiroshima dan Nagasaki Jepang, penembakan jatuh pesawat penumpang Iran, dan pengiriman senjata kepada Arab Saudi untuk membantai perempuan dan anak-anak Yaman. AS juga tidak menyesal atas serangan kimia Saddam terhadap rakyat Iran dan Irak. Serangan kimia ini merupakan bagian dari kejahatan AS terhadap kemanusiaan.

Ratusan warga Iran dan Irak menjadi korban serangan kimia dan biologi yang dilakukan oleh Saddam dengan dukungan AS dan Eropa.

Perayaan ulang tahun kemenangan Revolusi Islam Iran.

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dalam laporannya mengungkap bantuan negara-negara Barat untuk mendukung program senjata pemusnah massal Saddam.

Menurut PBB, Irak memasok senjatanya dari 150 perusahaan Jerman, Amerika, dan Inggris. Rezim Saddam menerima peralatan senjata dari 80 perusahaan Jerman, 24 perusahaan Amerika, dan sekitar 12 perusahaan Inggris, serta beberapa perusahaan Swiss, Jepang, Italia, Prancis, Swedia, Brasil, dan Argentina sejak 1975.

Pada era Perang Dunia I, AS telah memproduksi lebih dari 5.000 ton bahan kimia yang bisa digunakan untuk senjata dan sebagian dari cadangan senjata kimiannya dipindahkan ke Eropa.

Pada perang Vietnam, AS menggunakan hingga 75 juta liter senjata kimia yang menewaskan ratusan ribu perempuan dan anak-anak serta merusak 500 ribu hektar hasil pertanian di Vietnam.

Soal perundingan dengan AS, Ayatullah Khamenei menegaskan, "Saya melarang melakukan perundingan dengan AS. AS tidak pernah setia pada janji-janjinya dalam perundingan, hanya memberikan kata-kata kosong dan tidak pernah mundur dari tujuan yang ingin dicapainya dalam perundingan."

"Dalam masalah negosiasi, mereka memainkan permainan yang buruk. Salah satunya mengatakan, negosiasi dengan prasyarat, yang lain berbicara tentang negosiasi tanpa prasyarat. Izinkan saya menyampaikan kepada masyarakat mengenai ini dalam beberapa kata, 'Tidak akan ada perang, juga tidak akan ada perundingan dengan AS.' Ini adalah inti dari kata yang harus diketahui semua masyarakat Iran. AS sekarang menawarkan perundingan, ini bukan hal baru, ini sudah ada sejak awal revolusi," pungkasnya.

Di bagian lain, Ayatullah Khamenei mengatakan sikap para pejabat AS semakin kurang ajar dan sangat lancang dalam beberapa bulan terakhir. Para pejabat AS sebelum ini juga tidak menjaga etika diplomatik dalam membuat pernyataan, namun rezim AS saat ini berbicara dengan dunia secara tidak sopan, kurang ajar, dan tidak beretika; seakan rasa malu benar-benar telah hilang dari mereka. (RM)

Tags