Mar 13, 2020 21:06 Asia/Jakarta

Institut Penelitian Perdamaian Internasional Stockholm (SIPRI) dalam laporan terbarunya menempatkan Arab Saudi sebagai importir senjata dan alutsista terbesar kedua di dunia setelah India dengan tingkat pertumbuhan dari 2015 hingga 2019 sebesar 130 persen.

Laporan tersebut memunculkan pertanyaan, mengapa rezim Al Saud menghabiskan begitu banyak sumber daya keuangannya untuk mengimpor senjata dan alutsista daripada memusatkan sumber daya ekonominya untuk memperbaiki  kondisi dalam negerinya?

Naiknya Salman bin Abdul Aziz di pucuk kekuasaan Arab Saudi mengubah arah kebijakan luar negeri negara Arab ini dari konservatisme menuju kebijakan agresif. Indikasinya terlihat dari perang lima tahun yang dilancarkan terhadap Yaman serta pemutusan hubungan diplomatik dengan Republik Islam Iran dan Qatar. Oleh karena itu, kebijakan agresif ini menjadi salah satu alasan utama peningkatan impor senjata 130 persen Arab Saudi selama lima tahun terakhir.

Selain itu, Raja Salman dan putranya, Mohammed bin Salman yang memegang kendali kekuasaan Arab Saudi sejak Januari 2015 masih percaya bahwa gudang senjata adalah sumber kekuatan yang paling penting.

Poin lainnya menyangkut negara-negara yang mengekspor senjata ke Arab Saudi. Menurut laporan SPIRI, Amerika Serikat memasok 73 persen dan Inggris 13 persen dari senjata yang dibutuhkan Arab Saudi selama lima tahun terakhir. Data ini menunjukkan bahwa Amerika Serikat sebagai pendorong utama kebijakan luar negeri agresif Arab Saudi.

Faktanya, kepentingan pemerintah AS berlindung di balik kebijakan luar negeri yang agresif. Bahkan, Presiden AS Donald Trump secara eksplisit menyebut Arab Saudi sebagai "sapi perahannya". Tidak heran jika Gedung Putih mengabaikan pembunuhan mengerikan terhadap mantan jurnalis AS Jamal Khashoggi yang melibatkan putera mahkota Mohammed bin Salman. Dengan demikian, Washington menjual senjata dan alutsista ke Riyadh dengan kompensasi Raja Salman dan  putranya mendapatkan perlindungan politik dari AS demi melanggengkan kekuasaannya.

Titik penting dari masalah ini mengenai tindakan apa saja akan dilakukan Raja Salman dan puteranya demi mendapatkan dukungan dari Gedung Putih, meskipun harus mengorbankan kepentingan nasionalnya sendiri. Siapapun yang dianggap tidak sejalan dengan kebijakannya akan disingkirkan.

Raja Saudi hari Kamis, 5 Maret 2020, mengeluarkan dekrit yang memberhentikan Mohammed al-Tuwaijri, dari jabatan menteri perencanaan dan ekonomi negara itu. Raja Salman mengklaim keputusan ini diambil sejalan dengan reformasi ekonomi.

Tetapi para ahli justru menilai Arab Saudi sedang mengalami krisis keuangan serius karena mahalnya biaya perang di Yaman dan besarnya impor senjata yang dilakukan Riyadh. Tindakan Salman bin Abdul Aziz ini menunjukkan bahwa dalam struktur kekuasaan Saudi siapapun bisa dikorbankan demi melestarikan ambisi sang raja dan putera mahkotanya.(RA)

Tags