May 17, 2020 08:14 Asia/Jakarta
  • Zakat
    Zakat

Dalam banyak ayat al-Quran, di mana pun ada pembicaraan tentang shalat, segera disusul dengan zakat dan pembayarannya oleh orang beriman. Kenyataan ini menjelaskan bahwa dalam budaya Islam ada hubungan yang sangat dekat antara khalik dan makhluk. Allah yang Maha Esa kepada para hamba yang beribadah kepada-Nya berfirman, "Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan ruku'lah beserta orang-orang yang ruku'." (QS. Al-Baqarah: 43)

Shalat dan zakat juga ada dalam agama-agama samawi. Allah Swt menyebut salah satu risalah para nabi adalah melaksanakan dan menghidupkan kembali dua kewajiban mendasar dan penting ini dan berfirman, "Kami telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami dan telah Kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan hanya kepada Kamilah mereka selalu menyembah." (QS. Al-Anbiya: 73)

Dengan demikian, melaksanakan shalat dan membayarkan zakat termasuk perintah Allah Swt dan dari sisi lain cara dan jalan para nabi yang menunjukkan ini adalah pesan mendasar bahwa mereka yang melaksanakan shalat dengan benar dan komitmen pada shalat dan munajat kepada Allah, tidak pernah melupakan orang miskin dan mereka yang membutuhkan dengan memberikan zakat kepada mereka. Al-Quran menjelaskan mereka demikian, "laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang." (QS. Al-Nur: 37)

Shalat

Karena itu, selain percaya kepada Allah, prinsip kebangkitan harus dimasukkan, sehingga manusia dapat menjadi pendukung kuat kedua pilar akidah ini, hati akan mencuci dari semua ketergantungan finansial dan ekonomi, dan dengan motivasi ilahi, tanpa riya, pamrih dan gangguan dan pelecehan terhadap yang membutuhkan, martabat mereka akan dipertahankan dan mata pencaharian mereka akan disediakan. Tidak diragukan lagi, jika hak-hak yang Tuhan tempatkan pada harta orang kaya terpenuhi, tidak akan ada tanda-tanda kemiskinan dan kekurangan dalam masyarakat Islam. Imam Shadiq as berkata, "Zakat dijadikan ujian bagi yang mampu untuk membantu orang miskin. Bila orang kaya memberikan zakat hartanya, tidak ada lagi orang muslim yang membutuhkan dan dengan sebab itu, apa yang Allah wajibkan kepadanya, manusia tidak membutuhkan. Sesungguhnya manusia tidak akan lagi miskin, miskin dan telanjang, kecuali tanggung jawab dan dosanya ditanggung orang kaya."

Oleh karena itu, bagian dari filosofi zakat, ketaatan kepada Tuhan, mengikuti metode para nabi dan orang-orang pilihan Tuhan, menguji orang kaya, pengentasan kemiskinan dan menghilangkan perampasan dan akar diskriminasi dan kesenjangan ekonomi yang luas dan penyebaran penyimpangan dan korupsi yang disebabkan oleh kemiskinan dalam masyarakat harus dicari di harta orang kaya yang tidak punya nilai kemanusiaan dan agama.

Filosofi zakat lainnya adalah untuk memerangi penumpukan kekayaan yang disebutkan dalam berbagai surat dan ayat-ayat al-Quran sehingga tidak ada kelompok yang tenggelam dalam kemakmuran dan massa besar rakyat hidup dalam bencana. Allah yang Maha Pengasih telah mengancam para penyembah kekayaan dan berkata, "Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih, pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka: "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu." (QS/ Al-Taubah: 34-35)

Perlu diperhatikan bahwa hak-hak harta tidak terbatas pada khumus dan zakat, dan dalam budaya ekonomi dan ajarah Islam termasuk jihad dengan harta, infak, sedekah, hutang, bantuan tanpa bunga, bantuan kemanusiaan dan pengorbanan berarti mendahulukan kebutuhan orang miskin dari kebutuhan diri sendiri dan hal-hal ini sangat ditekankan.

Abu Dzar al-Ghifari, sahabat besar Nabi Saw selalu memrotes upaya penumpukan kekayaan yang dilakukan Bani Umayah. Suatu hari Mu'awiyah bertanya kepadanya, apakah selain khumus dan zakat, adakah hak harta lain yang berada dalam tanggungan umat Islam? Ka'ab al-Ahbar seorang Yahudi menjawab, "Tidak hak yang lain." Abu Dzar berdiri dan berkata, "Engkau tidak perlu memberi pendapat dalam hal ini." Setelah itu menghadapi Mu'awiyah dan berkata, "Hak harta tidak terbatas pada khumus dan zakat, tetapi hak-hak yang lain yang menjadi tanggung jawab umat Islam." Mu'awiyah berkata, "Apa dalilmu?"

Abu Dzar kemudian membacakan ayat 177 dari surat al-Baqarah yang menyebutkan, "Bukanlah menghadapkan wajahmu ke arah timur dan barat itu suatu kebajikan, akan tetapi sesungguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah, hari kemudian, malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi dan memberikan harta yang dicintainya kepada kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin, musafir (yang memerlukan pertolongan) dan orang-orang yang meminta-minta; dan (memerdekakan) hamba sahaya, mendirikan shalat, dan menunaikan zakat; dan orang-orang yang menepati janjinya apabila ia berjanji, dan orang-orang yang sabar dalam kesempitan, penderitaan dan dalam peperangan. Mereka itulah orang-orang yang benar (imannya); dan mereka itulah orang-orang yang bertakwa." (Manabi' al-Fiqh)

Zakat fitrah

Menurut pedoman langit ini, konsentrasi kekayaan dapat dicegah dengan distribusi kekayaan, sehingga kebutuhan banyak orang yang membutuhkan di masyarakat akan terpenuhi, dan ini bisa menjadi filosofi lain untuk membayar zakat dan hak keuangan. Tentu saja, penerapan kebijakan semacam itu tidak menyenangkan bagi orang-orang kaya yang tidak memiliki banyak kepercayaan pada Tuhan dan Hari Penghakiman, sehingga mereka mencoba mengosongkan diri dari kewajiban agama dan manusia di bawah dalih mereka sendiri atau pembenaran palsu. Mengenai mereka, al-Quran mengatakan, "Dan apabila dikatakakan kepada mereka: "Nafkahkanlah sebahagian dari reski yang diberikan Allah kepadamu", maka orang-orang yang kafir itu berkata kepada orang-orang yang beriman: "Apakah kami akan memberi makan kepada orang-orang yang jika Allah menghendaki tentulah Dia akan memberinya makan, tiadalah kamu melainkan dalam kesesatan yang nyata". (QS. Yasin: 47)