May 17, 2020 20:59 Asia/Jakarta
  • Ilustrasi berbagi di bulan puasa walau hanya memberi sebutir kurma.
    Ilustrasi berbagi di bulan puasa walau hanya memberi sebutir kurma.

Salah satu pertanyaan penting di benak sebagian orang adalah jika orang kaya mengeluarkan hartanya untuk pengentasan kemiskinan di masyarakat, maka mereka akan kehabisan dana untuk dipakai di sektor industri, pertanian, pendidikan, dan ekonomi?

Pandangan seperti ini tentu saja tidak punya tempat dalam sistem ekonomi Islam. Tujuan utama Islam adalah mencegah penumpukan harta, diskriminasi yang kejam, perbudakan, ketidakadilan, dan munculnya ketimpangan sosial yang tajam.

Untuk merealisasikan tujuan utama itu serta menggalakkan produksi dan etos kerja di semua sektor, menciptakan keadilan sosial, mengembangkan potensi ekonomi, mewujudkan motivasi yang sehat, dan mencapai kemandirian ekonomi, maka orang-orang yang mengelola urusan ekonomi di setiap negara harus memiliki keterampilan di berbagai bidang termasuk agama dan berkomitmen.

Ia juga harus memiliki perencanaan yang matang dan visioner untuk menyusun tujuan dan kebijakan makro ekonomi. Dengan demikian, Allah Swt berfirman, "Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan…" (QS. An-Nisa, ayat 5)

Imam Muhammad al-Baqir as – sosok yang menghidupkan kembali budaya pendidikan di masyarakat Islam – berkata, "Di antara penyebab tegaknya Islam dan kemuliaan kaum Muslim adalah menyerahkan manajemen keuangan dan sumber kekayaan publik kepada orang-orang yang amanah, berpegang pada kebenaran, dan terampil, di mana mampu menggunakan seluruh peluang dan kapasitas materi dan sumber daya manusia secara optimal.

Dan di antara faktor kesengsaraan kaum Muslim adalah menyerahkan tanggung jawab (atas kekayaan publik dan sumber ekonomi) kepada orang-orang yang tidak berkomitmen, tidak terampil, dan tidak memanfaatkan kapasitas yang ada. Dengan tata kelola yang buruk, ia menghancurkan semua peluang (sehingga menyebabkan sistem ekonomi Islam runtuh)."

Ilustrasi buka puasa bersama di Haram Sayidah Maksumah Qum pada Ramadhan 2019.

Tidak diragukan lagi bahwa jika manajemen ekonomi dalam sistem Islam dipegang oleh orang-orang yang berkompeten, terampil, beriman, dan berkomitmen, maka kita tidak lagi menyaksikan praktik riba, suap, korupsi, pengkhianatan, dan berbagai perbuatan tercela yang merusak sendi-sendi ekonomi.

Dengan begitu, seluruh potensi akan berkembang di berbagai sektor ekonomi masyarakat dan menghapus kemiskinan, pengangguran, diskriminasi, ketidakadilan, praktik korupsi, dan pelanggaran norma-norma perilaku di tengah masyarakat.

Salah satu faktor kemunduran ekonomi adalah budaya konsumtif, berlebih-lebihan, dan mengejar kemewahan khususnya dalam hal makanan dan barang konsumtif, yang merusak struktur dan sendi-sendi ekonomi. Islam memberantas semua perilaku semacam ini.

Semua penyimpangan ini bersumber dari pemerintahan otoriter yang menganggap dirinya pemilik mutlak kekayaan dan mengira dapat menggunakan kekayaan bangsa sesuka hati mereka. Mereka berbuat sesuka hati dan mengejar ambisi-ambisi jahatnya.

Untuk melawan praktik menyimpang ini, Islam menawarkan solusi yang tepat berdasarkan pandangan dunia tauhid. Semua orang khususnya para kapitalis perlu tahu bahwa pemilik hakiki alam semesta adalah Tuhan dan apa yang diberikannya kepada manusia merupakan sebuah amanah. Jadi, kekayaan ini hanya sebuah titipan dan tidak berhak digunakan suka-suka. Semua harus menjaga prinsip keadilan dan proporsional.

Imam Jakfar Shadiq as berkata, "Kekayaan adalah milik Tuhan dan ia merupakan titipan di tangan manusia. Dia berpesan kepada manusia, manfaatkanlah kekayaan ini secara proporsional, makanlah, minumlah, dan kenakanlah pakaian. Menikahlah dan sediakanlah sarana transportasi untuk dirimu dan jika ada kelebihan rezeki, berilah ia kepada orang-orang fakir yang beriman.

Barang siapa yang tidak mengambil jalan tengah dan bersikap berlebih-lebihan dalam hal makanan, pakaian, minuman, pernikahan, dan sarana transportasi, maka ia telah berbuat sesuatu yang haram dan tidak pantas." (Mustadrak al-Wasail, jilid 10, hal 423)

Jadi, orang yang beriman harus merasa bertanggung jawab dalam membelanjakan hartanya dan perlu mengingat bahwa semua yang dilakukan di alam fana ini, akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat.

Imam Ali as berkata, "Di dalam harta yang diperoleh dengan cara yang halal, maka ada hisab Ilahi di dalamnya, dan di dalam harta yang didapatkan dengan cara haram, maka ada azab Ilahi di dalamnya." (Nahjul Balaghah, khutbah 82).

Namun, ini tidak boleh membuat orang takut untuk mengumpulkan harta secara sah dan mengeluarkan hartanya di jalan yang benar, karena Allah Swt berfirman, "… Apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan)." (QS. Al-Anfal, ayat 60) (RM)

Tags