Jul 21, 2020 17:37 Asia/Jakarta
  • Ilustrasi warga Muslim Rohingya.
    Ilustrasi warga Muslim Rohingya.

Edisi kali ini membahas peringatan Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres tentang kampanye Islamophobia di Myanmar, kegiatan warga Muslim di Brazil untuk menghapus tuduhan miring terhadap Islam, dan undang-undang larangan jilbab untuk anak sekolah di bawah usia 10 tahun di Austria.

Diskriminasi, rasisme, dan genosida warga Muslim Rohingya di Myanmar memaksa Sekjen PBB Antonio Guterres menyerukan diakhirinya kampanye kebencian terhadap Muslim. Dia memperingatkan tentang kampanye kebencian dan rasisme terhadap Islam (Islamophobia) yang terus meningkat serta menyatakan penyesalan atas penderitaan pengungsi Rohingya.

Berbicara pada upacara peringatan 70 tahun pengesahan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida di Markas PBB di New York, Guterres menyatakan keprihatinan mendalam atas kondisi Muslim Rohingya di Myanmar di mana dibunuh dan disiksa secara sistematis.

“Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida adalah perjanjian hak asasi manusia pertama yang diratifikasi PBB pada 9 Desember 1948,” ujarnya.

Dia menyatakan bahwa kelompok-kelompok teroris dan ekstremis seperti Daesh di Irak menargetkan orang-orang Yazidi dengan membantai dan menjadikan mereka budak seks.

“Berbagai bentuk tindakan kebencian terhadap orang asing dan wanita serta sentimen anti-Islam dan permusuhan dengan Islam terus meningkat. Komunitas internasional memiliki tanggung jawab dan kewajiban untuk melawan genosida dan menghukum para pelakunya,” imbuh Sekjen PBB.

Guterres menekankan bahwa kita semua harus berdiri secara individu dan kolektif untuk melawan upaya yang menargetkan orang atas dasar kebangsaan, ras, dan agama mereka. Dia menyatakan penyesalannya yang mendalam atas penderitaan berkelanjutan yang dialami warga Muslim Rohingya di Myanmar.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres (baju putih) berbincang dengan pengungsi Rohingya di tempat penampungan di Bangladesh.

“Mereka secara sistematis menjadi target pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pembakaran. Tindakan ini dapat disebut sebagai pembersihan etnis (genosida),” tandasnya.

Kaum Muslim mengalami diskriminasi, rasisme, penyiksaan, dan pembunuhan lebih buruk dari semua pengikut agama lain. Kaum Muslim menjadi korban utama terorisme. Meski faktanya demikian, pemerintah-pemerintah Barat tetap menganggap ajaran Islam sebagai ekstremisme dan menuduh Muslim sebagai ekstremis dan teroris.

Barat menyebarkan pandangan yang tidak realistis tentang ajaran Islam ini ke berbagai belahan dunia. Para penganut Buddha Myanmar yang termakan kampanye bias Barat tentang Islam, telah membantai warga Muslim Rohingya dan mengusir mereka dari tanah leluhurnya, Rakhine melalui penyiksaan dan pembantaian.

Anehnya lagi, negara-negara Barat – yang mengaku sebagai pembela HAM – memilih diam atas kekejaman pemerintah Myanmar terhadap warga Muslim. Benar bahwa para pemimpin Barat mengkritik pemerintah Myanmar karena perlakuannya yang tidak manusiawi terhadap Muslim Rohingya, tetapi kritik-kritik ini hanyalah sebuah pencitraan.

Mereka tidak mengambil tindakan praktis untuk menekan pemerintah Myanmar agar menghentikan genosida Muslim dan memungkinkan para pengungsi kembali ke rumah-rumah mereka dan tanah leluhurnya di Rakhine.

Meskipun pemerintah Barat dan beberapa pemerintah anti-Islam di Eropa, Afrika dan Asia seperti Myanmar, mengadopsi perlakuan diskriminatif dan rasis terhadap Muslim, namun kaum Muslim di berbagai negara memilih melakukan kegiatan untuk menghapus tudingan miring terhadap ajaran Islam yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Kaum Muslim biasanya memanfaatkan momen maulid Nabi Muhammad Saw sebagai peluang untuk memperkenalkan ajaran Islam dan sosok mulia Rasulullah kepada dunia.

Persatuan Lembaga-lembaga Islam di Brazil mengadakan kampanye dengan mengangkat tema “Muhammad, Utusan Kemanusiaan." Kegiatan itu diisi dengan berbagai seminar, konferensi, dan dialog agama di berbagai kota di Brazil dengan mengundang para tokoh agama dan pemimpin badan-badan amal Islam di negara tersebut.

Ketua Persatuan Lembaga-lembaga Islam di Brazil, Doktor Mohamed Hussein El Zoghbi mengatakan, “Semua pendakwah dan komunitas Muslim yang terkait dengan organisasi diundang untuk berpartisipasi dalam kampanye "Muhammad, Utusan Kemanusiaan" dan mengadakan seminar, konferensi, dan diskusi untuk memperkenalkan sirah Nabi Saw kepada umat Islam dan non-Muslim serta meluruskan kesalahpahaman tentang Islam dan Nabi Saw. Kami juga meningkatkan kegiatan membesuk orang sakit dan lanjut usia sesuai dengan ajaran dan perilaku Rasulullah Saw.”

“Rasulullah Saw telah mengajarkan arti kemanusiaan kepada seluruh dunia dan mengajak semua kepada Islam. Ini adalah pesan kemanusiaan untuk menyebarkan perilaku mulia di dunia, sebagaimana sabda Rasulullah, 'Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia,’” jelasnya.

El Zoghbi menerangkan bahwa Islam adalah agama perdamaian, keamanan, dan perbaikan. Karena itu, kita harus melanjutkan jalan perbaikan dan restorasi ini dengan sekuat tenaga, sebab agama kita adalah agama yang memperbaiki, bukan agama yang korup dan destruktif.

Setiap hukum dan ibadah dalam Islam menyimpan sebuah filosofi. Jilbab merupakan salah satu dari perintah Islam. Dengan memperhatikan peran penting perempuan dalam masyarakat, Islam selain menekankan hak-hak perempuan dalam keluarga dan masyarakat, juga memerintahkan mereka menutup aurat demi melindungi diri dari kerusakan dan mencegah eksploitasi perempuan sebagai komoditas untuk memuaskan hasrat seksual.

Kaum Muslim – berdasarkan perintah agama – berusaha menutup auratnya dengan pakaian lengkap. Keluarga Muslim berusaha mengajarkan anak-anaknya untuk memakai jilbab dan kerudung sejak usia dini. Seperti halnya para pengikut agama lain, mereka mengamalkan ajaran agamanya dan tidak mentolerir pelecehan oleh pihak lain.

Bentuk kippah, model dandanan dan rambut, dan jenis pakaian pemeluk agama Yahudi atau keturunan Sikh benar-benar unik, tetapi tidak ada yang menganggap mereka ekstremis dan kolot. Namun, pemerintah Barat menerapkan pembatasan terhadap warga Muslim berdasarkan asumsi keliru mereka tentang Islam.

Pemerintah Austria juga memutuskan melarang jilbab siswi Muslim di Sekolah Dasar. Pemerintah sayap kanan Austria mengajukan draft undang-undang ke parlemen tentang larangan jilbab untuk anak di bawah 10 tahun di Sekolah Dasar. Langkah itu diambil dengan alasan melindungi "serangan terhadap budaya asli negara Austria.” Orang tua yang melanggar aturan ini akan didenda sebesar 440 euro atau menghadapi hukuman penjara selama dua minggu.

Jumlah warga Muslim di Austria sekitar 700.000 orang, di mana 300.000 dari mereka adalah keturunan Turki. Banyak dari warga Muslim Austria saat ini adalah keturunan Turki generasi kedua dan ketiga yang berimigrasi ke negara itu sejak 1960. (RM)

Tags