Demonstrasi Tanpa Henti Selama 100 Hari di Portland
di kota Portland Amerika Serikat telah memasuki 100 hari pada 5 September 2020. Unjuk rasa ini awalnya dipicu oleh kematian George Floyd di Minneapolis pada Mei 2020
Unjuk rasa kemudian menyebar ke berbagai kota lain, termasuk Portland di negara bagian Oregon. Khusus di Portland, kota yang berpenduduk 650.000 jiwa dan lebih dari 70 persen warganya berkulit putih, para aktivis tetap berada di jalan hampir setiap malam, menuntut keadilan rasial dan akuntabilitas polisi.
Seorang demonstran mengatakan, jika kita ingin mengubah sistem dan menolak rasisme sistematis ini, maka kita harus terus menyuarakannya di jalanan setidaknya sampai pemilu.
Pengunjuk rasa yang berbicara secara anonim itu menuduh Presiden AS Donald Trump mengobarkan ketegangan rasial. Sementara itu, Trump menyebut kota Portland dikepung oleh "preman" yang terlibat dalam "terorisme domestik".
Pernyataan Trump itu diungkap meski sebagian besar aksi unjuk rasa berlangsung secara damai. Trump juga memperingatkan jika rivalnya dari Partai Demokrat, Joe Biden, memenangkan pemilu pada November, kota-kota seperti Portland akan kacau di seantero AS.
Tetapi sejumlah aktivis di Portland mengaku bahwa mereka tidak menyampikan aspirasi dengan anarkis. Pemimpin gerakan Black Lives Matter setempat Reese Monson, 30 tahun, mengatakan, kami tidak berniat membakar barang-barang.
Monson menambahkan bahwa dia sudah ikut demo sejak hari pertama dan mengakui beberapa demonstran memboncengi aksi Black Lives Matter untuk membuat kerusuhan. Tapi menurutnya, unjuk rasa itu secara keseluruhan berlangsung damai.
"Kami punya hak untuk protes, kami berhak mengekspresikan diri dan bersuara. Kami akan terus berdiri. Kami tidak akan lari atau pergi begitu saja saat polisi menyuruh lari atau pergi," ujarnya.
Para aktivis khawatir gerakan mereka ditunggangi kelompok-kelompok sayap kanan seperti Patriot Prayer, yang turun ke jalan di Portland akhir pekan lalu dan memicu konfrontasi dengan demonstran kontra-BLM. Kerusuhan itu mengakibatkan satu pengikut kelompok sayap kanan, Aaron Danielson, mati ditembak.
Pihak berwenang belum mengidentifikasi siapa penembaknya. Insiden mematikan itu meningkatkan kekhawatiran akan lebih banyak kerusuhan lagi. Dampaknya, para aktivis Portland meningkatkan upaya pengamanan yang mencakup komunikasi di layanan pesan terenkripsi dan tak mau direkam video. (RA)