Okt 26, 2020 16:09 Asia/Jakarta

Menjelang pemilu presiden Amerika Serikat yang akan diselenggarakan pada tanggal 3 November 2020, Washington menerapkan sanksi baru menargetkan sektor keuangan Republik Islam Iran.

Namun kini, kekuatan-kekuatan dunia mulai mempertanyakan efektivitas langkah-langkah tersebut, dan pada akhirnya perhatian beralih ke arah keterkucilan AS yang semakin meningkat disebabkan kebijakannya yang merendahkan hukum internasional.

Baru-baru ini, AS sedang bersiap untuk menjatuhkan sanksi baru terhadap industri keuangan Republik Islam Iran sebagai upaya Washington untuk meningkatkan citranya menjelang pemilu presiden.

Sanksi baru secara efektif akan menutup Republik Islam Iran dari sektor keuangan global, dan langkah ini diambil setelah AS gagal memulihkan sanksi terhadap Iran melalui mekanisme  "snap back" yang ditolak oleh anggota Dewan Keamanan PBB termasuk sekutunya, Eropa.  

Terlepas dari semua upaya AS, efektivitas sanksi terhadap Republik Islam Iran sering dipertanyakan. Bulan lalu, Presiden Prancis Emmanuel Macron berpidato di PBB dan mengakui kegagalan upaya AS untuk menundukkan Iran.

Setelah AS menarik diri dari perjanjian nuklir JCPOA, negara-negara Eropa yang terlibat dalam perjanjian internasinal ini berusaha untuk mempertahankannya. Sementara itu, unilateralisme AS telah membuat mereka semakin terisolasi.

Banyak pakar meyakini bahwa Uni Eropa sebenarnya mendukung kemenangan Partai Demokrat sehingga pemerintahan Presiden Donald Trump akan berakhir.

Benar bahwa sanksi telah merugikan ekonomi Republik Islam Iran, tetapi setelah lebih dari empat dekade, negara ini telah beradaptasi dan meningkatkan kemandiriannya di berbagai bidang.

Kemampuan pertahanan militer dan Korps Garda Revolusi Islam (IRGC) Iran adalah buktinya. Negara-negara yang memusuhi Iran telah melakukan semua upayanya, namun para analis percaya kekuatan dan pengaruh negara ini di kawasan akan terus meningkat. (RA)