Nov 07, 2020 19:41 Asia/Jakarta

Presiden Prancis Emmanuel Macron menuai kecaman dari umat muslim dunia karena mengaitkan Islam dengan terorisme. Pernyataan itu dilontarkan Macron terkait dengan insiden pemenggalan seorang guru bernama Samuel Paty oleh pemuda 18 tahun asal Chechnya setelah menunjukkan kartun Nabi Muhammad SAW kepada muridnya.

Para pejabat Republik Islam Iran termasuk Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran Ayatullah Udzma Sayid Ali Khamenei juga merespon pernyataan anti-Islam yang disampaikan Macron.

Ayatullah Khamenei menyampaikan pesan kepada para pemuda Prancis mengenai pertanyaan mengapa presiden mereka mendukung penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW oleh Majalah Satir Charlie Hebdo dan menganggapnya sebagai kebebasan berekspresi ?

Rahbar dalam pesannya pada Rabu (28/10/2020) malam meminta pemuda Prancis untuk bertanya kepada Presiden Emmanuel Macron mengapa dia mendukung penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw dan menganggapnya sebagai kebebasan berpendapat, sementara di sisi lain orang yang meragukan Holocaust dianggap telah melakukan kejahatan, bahkan jika ada yang menulis tentang hal ini akan dijebloskan ke penjara?

Ayatullah Khamenei menuturkan, "Apakah kebebasan berekspresi bermakna permusuhan dan penghinaan terhadap sosok yang mulia dan suci? Bukankah tindakan bodoh ini berarti menghina hati nurani bangsa yang telah memilihnya sebagai presiden?

Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran dalam pertanyaan lain yang ditujukan kepada para pemuda Prancis mengungkapkan mengapa keraguan terhadap Holocaust dipandang sebagai kejahatan? Dan jika ada yang menulis sesuatu tentang masalah ini akan dipenjara, tetapi menghina Nabi diperbolehkan?

Pernyataan Macron yang mendukung karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad SAW telah menyulut kemarahan umat Islam di seluruh dunia. Penghinaan terhadap Rasulullah SAW telah diulang berkali-kali di Prancis atas nama kebebasan berekspresi.

Beberapa negara Barat, termasuk Prancis, mengejar kebijakan dan kepentingan politik mereka dalam kerangka demokrasi dan kebebasan berekspresi, termasuk dengan menyebarkan Islamofobia. Padahal, Islam adalah agama welas asih, perdamaian dan persahabatan.

Nabi Muhammad SAW adalah titik persatuan umat Islam, bahkan dihormati oleh agama lainnya. Menghormati agama yang berbeda sebagai dasar dari cinta dan perdamaian serta membangun kepercayaan antarsesama manusia.

Ekstremisme dikutuk oleh setiap agama, tetapi gerakan seperti itu tidak boleh digunakan sebagai alat untuk memajukan kepentingan politik pihak manapun, termasuk otoritas Prancis. Dukungan Presiden Prancis kepada gerakan penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW dengan dalih kebebasan berekspresi dan berkeyakinan tidak dapat dipertahankan dan tidak berkontribusi terhadap perdamaian dan kehidupan harmonis antarpemeluk agama yang berbeda.

Sehubungan dengan hal ini, Kardinal Louis Raphaël I Sako, Kepala Gereja Katolik Khaldea Irak dalam sebuah pernyataan pada hari Rabu menekankan bahwa semua agama harus menjadi sumber cinta, perdamaian, kerja sama dan kepercayaan antarsesama manusia, serta tidak mempromosikan kebencian dan kekerasan.

Sepak terjang Presiden Prancis terhadap umat Islam tidak disetujui oleh agama apapun, bahkan menimbulkan kekhawatiran masyarakat dunia. Langkah Macron sebagai presiden Prancis tidak menghormati warga negara yang memilihnya, karena kebebasan berekspresi tidak berarti menghina agama lain.

Ironisnya, pembelaan presiden Prancis terhadap langkah tabloid Charlie Hebdo untuk menerbitkan karikatur penghinaan kepada Nabi Muhammad SAW berlangsung di saat aturan yang sama tidak berlaku untuk kasus Holocaust. Siapa saja warga Prancis yang meragukan beberapa masalah sejarah seperti Holocaust, maka harus berhadapan dengan pengadilan.

Dikotomi ini telah menjadi pendekatan dominan di Barat, terutama di Prancis. Melalui kebijakan ini, beberapa negara Barat telah menetapkan strategi mereka terhadap dunia Islam dengan penyebaran Islamofobia.(RA)