Des 27, 2020 20:21 Asia/Jakarta

Para pemeluk agama Kristen di seluruh dunia merayakan Natal dengan penuh kebahagiaan, namun hal ini berbeda dengan umat Kristen di Palestina, terutama di Jalur Gaza. Mereka hidup sengsara dan menghadapi beragam persoalan akibat penjajahan dan blokade rezim Zionis Israel.

Tak berbeda dengan umat Muslim Palestina, umat Kristen di negara ini juga mengalami perlakuan buruk dari rezim Zionis. Mereka menghadapi tekanan pendudukan Israel, kebijakan diskriminatif, penangkapan sewenang-wenang, penyitaan tanah dan perlakuan buruk lainnya dari rezim penjajah.

Kondisi yang terjadi telah membuat warga Kristen Palestina dalam "situasi putus asa" di mana mereka tidak lagi dapat melihat masa depan yang baik untuk generasi mereka selanjutnya, atau bahkan untuk diri mereka sendiri.

Pendudukan Israel atas Palestina dan kurangnya solusi politik untuk masalah ini menjadi penyebab utama berkurangnya jumlah umat Kristen Palestina. Di al-Quds dan Betlehem, tempat kelahiran tradisional agama Kristen, warga Kristen Palestina dengan cepat menghilang di bawah kondisi politik dan ekonomi saat ini.

Mayoritas umat Muslim dan Kristen Palestina mengatakan konflik politik dengan Israel membuat mereka merasa tidak aman, dan migrasi umat Kristen bukan disebabkan oleh penganiayaan agama, tetapi karena tekanan politik dan pendudukan.

Migrasi Kristen keluar dari Palestina dimulai pada periode Ottoman dan terutama tentang mencari peluang ekonomi di Amerika Utara dan Latin. Tetapi migrasi baru-baru ini terkait dengan ketidakstabilan regional dan konflik dengan Israel.

Antara 1860 dan 1914, warga Kristen Palestina adalah sekitar 11 persen dari populasi Palestina yang berjumlah 350.000 orang. Menjelang Perang Dunia I, penduduk Palestina mencapai 616.000, dan 69.000 di antaranya adalah orang Kristen.

Saat ini, umat Kristen Palestina di seluruh Palestina yang meliputi wilayah penduddukan (Israel), Tepi Barat, dan Gaza hanya berjumlah 1,7 persen dari enam juta penduduk Palestina.

Iskandar El Hinn, seorang Kristen Palestina yang keluarganya melarikan diri dari Jaffa ke Ramallah ketika Israel didirikan pada tahun 1948, mengatakan kepada Al Jazeera bahwa dia tidak pernah berpikir untuk meninggalkan Palestina. Sebaliknya, dia mengatakan bahwa dia mendorong anak-anak dan cucunya untuk tetap teguh dan mempertahankan tanah mereka.

"Sebagai seorang Palestina, saya tinggal di tempat saya berasal, kemanapun saya pergi di sini adalah Palestina bagi saya dan Jerusalem adalah ibu kotanya. Kami telah tinggal di sini selama ribuan tahun; tidak ada yang bisa membawa kita pergi dari sini," tegasnya. (RA)