Genosida Muslim Rohingya di Myanmar (10)
Etnis Muslim Rohingya selama beberapa tahun terakhir menghadapi gelombang kekerasan, pembunuhan, pemerkosaan dan pengusiran dari tanah leluhur mereka, yakni Arakan.
Berdasarkan butir ketujuh Anggaran Dasar Mahkamah Pidana Internasional (ICC), serangan besar-besaran atau sistematis terhadap sebuah komunitas sipil, pembunuhan, represi, perbudakan, pengusiran paksa atau berbagai bentuk lain perilaku kekerasan terhadap komunitas di sebuah negara, ditetapkan sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Seluruh kasus ini diterapkan militer dan aparat keamanan Myanmar dalam bentuk luas dan paling sadis kepada Muslim Rohingya. Human Right Watch (HRW) di bulan Oktober dan November 2012 melakukan penyidikan dan menyatakan, "Kekerasan mematikan meletus antara komunitas Budha Arakan dan Muslim Rohingya di Negara Bagian Arakan, Myanmar pada awal Juni 2021. Ini sebuah langkah sistematis untuk merelokasi atau mengusir Muslim wilayah ini oleh anasir lokal partai Arakan dan provokasi pendeta Budha. Di sejumlah kasus, langkah ini secara langsung didukung oleh aparat keamanan dan pemerintah. Pria, wanita dan anak-anak Rohingya dibantai, sejumlah dari mereka dikubur secara massal dan desa serta tempat tinggal mereka dihancurkan."
HRW menambahkan, akibat kekerasan otoritas pemerintah, sedikitnya 125.000 warga Rohingya dipindahkan ke kamp-kamp pengungsi. Mayoritas etnis ini hidup di kamp-kamp padat dan mereka tidak memiliki makanan, tempat tinggal, air, kesehatan dan pelayanan kesehatan yang cukup. Aparat keamanan di sejumlah daerah, menjaga Muslim pengungsi ini, namun biasanya mereka diperlakukan layaknya tahanan.
Lebih lanjut HRW menyatakan, kebijakan pemusnahan Muslim Rohingya yang diterapkan oleh pemerintah, militer, aparat keamanan, milisi Budha dan pendeta dalam bentuk yang keras adalah sebuah kejahatan terhadap kemanusiaan. Tujuan utama pemusnahan etnis ini memiliki akar di bidang politik, di mana mayoritas etnis Budha dan pemerintah yang dibentuk darinya, baik itu junta militer maupun partai, terus menindaklanjuti tujuan tersebut. Tujuan dari kebijakan ini adalah penyatuan paksa masyarakat multi-etnis dan multi-agama di Myanmar, sedangkan pemusnahan paksa dianggap sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan.
Di bagian lain laporannya, HRW menyebutkan, kekerasan sektarian dimulai pada 28 Mei 2012, dengan pemerkosaan dan pembunuhan seorang wanita Arakan berusia 28 tahun oleh tiga pria di kota Ramree. Pada tanggal 3 Juni, sekelompok besar penduduk desa Arakani di kota Toungup, tenggara Ramree, menghentikan sebuah bus dan memukuli serta membunuh sepuluh Muslim di dalamnya. Kekerasan meningkat antara penganut Buddha Arakan dan Rohingya, dengan massa Buddha membunuh dan membakar. Ribuan orang meninggalkan rumah mereka. Sementara itu, aparat keamanan pemerintah tidak mengambil tindakan untuk menghentikan kekerasan, tapi malah bergabung dengan preman untuk menyerang dan membakar lingkungan dan desa Muslim.
HRW menambahkan, salah satu peristiwa paling menyakitkan yang terkait dengan minoritas Muslim Rohingya adalah peristiwa mengerikan seperti pemerkosaan dan penodaan wanita dan gadis Muslim Rohingya oleh milisi Myanmar dan militer serta pasukan keamanan Myanmar selama penyerangan di desa-desa Muslim. Ada laporan yang terdokumentasi tentang wanita dan gadis yang diperkosa beramai-ramai dan bahkan biksu Buddha.
Sebuah laporan setebal 43 halaman oleh Dewan Hak Asasi Manusia PBB berdasarkan wawancara dengan ratusan perempuan dan gadis Rohingya yang telah diperkosa merinci pemerkosaan terhadap perempuan muda dan anak perempuan, serta pembunuhan suami dan anak-anak mereka di depan mata perempuan tak berdaya ini. Human Rights Watch meyakini bahwa pemerkosaan semacam itu tidak terjadi tanpa disengaja, tetapi merupakan bagian dari serangan sistematis dan terencana terhadap Muslim Rohingya, dan dalam pengertian ini berarti kejahatan internasional dan kejahatan terhadap kemanusiaan, yang terus berlanjut sejak 2012.
Selain mendapat perlakuan kasar dan kekerasan oleh militer dan aparat keamanan pemerintah, etnis Rohingya juga menghadapi fenomena mengerikanlainnya yakni pengusiran paksa dari rumah dan desa-desa mereka. Cox's Bazar di Bangladesh menjadi lokasi kamp-kamp pengungsi Rohingya yang dibangun dengan dana dan dukungan UNHCR. Ada sekitar satu juta pengungsi Rohingya yang ditempatkan di Bangladesh sebagai korban dari pengusiran paksa, korban pelecehan atau terpaksa meninggalkan rumah mereka mengungsi ke negara tetangga ini. Sementara itu, pemerintah Myanmar menolak menerima kembali mereka atau pemulangan pengungsi muslim ini.
Tidak ada keraguan bahwa keputusan pemerintah Myanmar untuk secara paksa merelokasi dan mendirikan kawasan bebas Muslim adalah kejahatan terhadap kemanusiaan berdasarkan Pasal 7 Statuta ICC, yang pelakunya harus dibawa ke Pengadilan Kriminal Internasional atau pengadilan lain yang berwenanguntuk diadili dan dihukum.
Bab yang paling menyakitkan kehidupan pegungsi Rohingya di berbagai kamp pengungsi Bangladesh adalah perempuan dan anak gadis jatuh ke tangan maia pedagangan manusia. Para mafia ini dengan mengumbar iming-iming membawa pengungsi ke Malaysia, Indonesia dan Australia serta menyelamatkan mereka dari kondisi kehidupan saat ini, kemudian membawa mereka ke tengah hutan dan diperjualbelikan sebagai budak.
Apa yang dilakukan pemerintah, militer dan aparat keamanan Myanmar terhadap Muslim Rohingya adalah bukti nyata dari rasisme dan apartheid. Apartheid di sejumlah dokumen internasional dinyatakan sebagai "kejahatan terhadap kemanusiaan". Di antaranya adalah konvensi internasional pelarangan kejahatan apartheid yang menetapkan apartheid sebuah kejahatan anti kemanusiaan.
Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia menyebut pengesahan undang-undang yang mencabut partisipasi kelompok dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi dan budaya dan menyebabkan pemisahan etnis dan agama sebagai contoh apartheid.
Selain semua masalah dan kesulitan yang dihadapi Muslim Rohingya di kamp pengungsian di luar Myanmar, situasi pengungsi di dalam Myanmar dan mereka yang terpaksa meninggalkan pertanian dan desa mereka ke hutan dan pegunungan di Arakan utara juga lebih buruk dari mereka yang mengungsi di luar negeri.
Populasi pengungsi di Myanmar ini dipaksa menjadi budak dan ditahan di kamp-kamp yang hampir tidak memiliki fasilitas hidup, dan menghadapi kekurangan makanan dan kekurangan gizi yang parah. Mereka tidak memiliki akses ke perawatan kesehatan, dan kesehatan mereka secara serius, sistematis, dan sengaja terancam punah, dan mereka menghadapi diskriminasi ras yang nyata.
Oleh karena itu, Dewan HAM PBB, HRW, dan berbagai lembaga internasional menyebut tindakan kekerasan militer dan pemerintah Myanmar terhadap komunitas Muslim Rohingya di Negara Bagian Arakan sebagai bukti nyata kejahatan anti kemanusiaan.