Menyongsong Pemilu Parlemen di Iran; Propaganda Media Asing (9)
Seiring dengan kian dekatnya pemilu presiden di Republik Islam Iran yang bakal digelar Jumat 28 Khordad 1400 Hs (18 Juni 2021), pembahasan pilpres ini di berbagai media asing semakin memanas.
Arus ini mengindikasikan bahwa pemilu senantiasa menjadi isu menarik di berbagai media untuk perang syaraf dan agitasi propaganda anti-Iran.
Media-media ini seraya menyadari urgensitas partisipasi dan peran efektif rakyat di kancah politik, berusaha membuat hari rakyat dingin terhadap pemerintah Republik Islam Iran.
Dengan tujuan ini, setiap pemilu termasuk pemilu presiden dan parlemen digelar di Iran, berbagai media asing mulai meluncurkan alat propagandanya. Televisi seperti BBC Persia, dan Suara Amerika (VOA) melalui kerja sama dengan anasir anti-revolusi selama beberapa tahun terakhir banyak melakukan upaya untuk memisahkan rakyat dengan pemerintah. Media asing ini aktif menyusup di antara masyarakat Iran, menjalin kontak dengan kubu anti-pemerintah dan menyebar berita palsu dengan tujuan membuat gelisah opini publik.
Arus ini menunjukkan peran destruktifnya secara luas di pemilu presiden Iran ke-10, tahun 1388 Hs (2009). Berbagai bukti dan dokumen serta pengakuan anasir dan arsitek kerusuhan di pilpres 88 menguak keterlibatan sejumlah kedubes asing di Tehran khususnya Kedutaan Besar Inggris untuk mengelola aksi kerusuhan di Iran.
Sejumlah anasir kedubes Inggris termasuk Thomas Burn, orang kedua di kedubes Inggris secara praktis menjalin hubungan dengan berbagai tokoh di Iran. Penyebaran isu kecurangan di pilpres ke-10 Iran merupakan strategi pergerakan Inggris dan Amerika serta anasir anti-revolusi untuk mempengaruhi pemilu ini demi membuat hati rakyat Iran dingin terhadap pemerintah.
Sekaitan dengan ini, devisi penyiaran BBC Persia dan VOA beberapa pekan sebelum pemilu ini digelar melancarkan propaganda besar-besaran untuk mempengaruhi opini publik berpartisipasi politik dan membuat partisipasi tersebut seminimal mungkin.
Di sisi lain, justru media-media ini berusaha keras menutupi skandal pemilu presiden Amerika Serikat tahun 2020 dari opini publik, skandal itu mengungkapkan banyak fakta tersembunyi.
Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah al-Udzma Sayid Ali Khamenei terkait hal ini di pidatonya di peringatan Maulid Nabi Saw dan Imam Ja’far as seraya mengisyaratkan perilaku tak bermoral dan skandal pemili di Amerika Serikat menilai kondisi ini contoh dari wajah Liberal Demokrasi dan mengatakan, terlepas bahwa siapa yang berkuasa di Amerika, kondisi saat ini menunjukkan kemunduran cepat peradaban, politik dan moral di AS serta ini sebuah masalah yang diakui oleh pakar dan cendikiawan di negara ini.
Pendudukan beberapa jam Capitol Hill oleh demonstran yang memprotes hasil pemilu serta pendukung Trump, sebuah peristiwa yang belum pernah terjadi di transformasi Amerika. Langkah ini yang dimaksudkan untuk menentang Kepresidenan Joe Biden mengindikasikan sebuah skandal besar bagi demokrasi AS, di mana pakar Barat dan bahkan tokoh-tokoh di tubuh kubu Republik memprotes keras peristiwa ini dan menunjukkan sikap keras atas pendudukan gedung DPR selama beberapa jam.
Televisi Fox News seraya menguak sebuah berita skandal pemilihan terbesar di negara ini menyatakan bahwa krisis pemilu di AS baru saja mulai.
Fox News mengutip Michael Flynn, mantan penasihat keamanan nasional Trump, yang melaporkan pengungkapan kecurangan pemilu yang belum pernah terjadi sebelumnya yang menguntungkan Biden dan menyatakan, “Sistem Dominion dirancang untuk mengubah hasil pemilu di Venezuela, kemudian dijual di pasar internasional untuk manipulasi pemilu. Itu dibiayai dengan uang dari Venezuela dan Kuba, dan Cina juga memainkan peran. Jadi, jika kita ingin berbicara tentang campur tangan asing dalam pemilu, ini sudah terjadi sekarang.
Pada tahun 2000, ketika kandidat Demokrat Al Gore dan kandidat Partai Republik George W. Bush berselisih tentang nasib akhir pemilihan, bukan suara rakyat tetapi Mahkamah Agung yang menentukan, komentator berita menggambarkan peristiwa itu sebagai peristiwa luar biasa dalam sejarah demokrasi yang mulia di Amerika bahwa pengulangannya seperti meteorit yang tidak mungkin menabrak bumi!
Dua puluh tahun kemudian, kekacauan dan skandal seputar pemilihan umum AS mengubah kota-kota Amerika seperti New York, Denver dan Philadelphia menjadi medan perang.
Peristiwa ini mengekspos demokrasi Amerika Serikat yang kosong membuat dunia dan opini publik bertanya-tanya apakah ini adalah demokrasi Amerika yang sama yang ingin mereka sebarkan ke negara lain.
Sekjen Hizbullah Lebanon, Sayid Hasan Nasrullah terkait hal ini mengatakan, “Apa yang terjadi di pemilu Amerika Serikat sebuah skandal demokrasi dan masalah ini tidak terbatas pada Trump, tapi Partai Republik.”
“Untuk mempelajari kebenaran tentang apa yang disebut-sebut sebagai model, seseorang harus belajar dari pemilihan AS,” ungkapnya.
Sementara justru negara-negara ini dengan klaim demokrasi dan membela Hak Asasi Manusia (HAM), menyebut pemilu di Iran tidak sehat dan mempertanyakannya.
Sayid Mohammad Marandi, pakar isu-isu internasional seraya mengisyaratkan statemen sejumlah petinggi AS terkait pemilu di Iran mengatakan, “Seiring dengan terungkapnya skandal pemilu di negara ini, Amerika bukan pada posisi untuk berbicaya mengenai pemilu Iran.”
Seraya mengisyaratkan pidato Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif yang menyebut partisipasi rakyat di pemilu mengindikasikan kekalahan kebijakan represi maksimum, menandaskan, “Wajar jika semakin marak pemilu digelar di Iran, dan rakyat aktif berpartisipasi, bagi Amerika ini menjadi poin negatif dan masalah ini akan menjadi pertimbangan di prediksi mereka terkait Iran.”