Genosida Muslim Rohingya di Myanmar (13)
Realita pahit terkait kebijakan genosida dan pemusnahan etnis minoritas Rohingya di Myanmar adalah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai rujukan tertinggi di dunia yang mampu mencegah pembantaian, pelanggaran HAM dan pemusnahan etnis Rohingya, atau paling tidak membatasi domainnya, sampai saat ini belum menunjukkan langkah pencegahan serius.
Dari sikap dan pendekatan PBB tehadap genosida Rohingya oleh pemerintah dan militer Myanmar dapat disimpulkan bahwa organisasi ini hanya puas dengan merilis statemen dan merilis resolusi rekomendasi yang tidak berpengaruh pada pemusnahan etnis Rohingya.
Sikap pasif PBB terhadap genosida Rohingya berasal dari sifat kebijakan negara-negara besar, yang masing-masing telah menentukan kepentingannya sendiri di Myanmar. Namun, di bawah prinsip tanggung jawab internasional, PBB dapat dan memiliki hak hukum untuk mencegah genosida dan pemusnahan terorganisir terhadap Rohingya dengan kedok intervensi kemanusiaan. Fakta bahwa Dewan Keamanan PBB tidak menerapkan prinsip ini di Myanmar menjadi faktor penting dalam mendorong militer Myanmar untuk melakukan kebijakan genosida terhadap Rohingya.
Tentu saja, ada alasan lain mengapa Dewan Keamanan PBB tidak memanfaatkan prinsip intervensi kemanusiaan di Myanmar dan mengejar kebijakan pencegah yang kuat terhadap genosida di Myanmar terhadap Rohingya. Alasan-alasan ini disebabkan oleh kelemahan struktural PBB serta posisi ganda Dewan Keamanan. Jika kita bandingkan posisi DK PBB di Darfur di Sudan atau Timor Leste di Indonesia dengan posisi pasifnya di Myanmar, kebijakan gandanya akan menjadi cukup jelas.
Sikap pasif PBB terkait genosida Muslim Rohingya dapat dipahami secara jelas melalui statemen Sekjen PBB, Antonio Guterres 13 September 2017 di sebuah konferensi pers saat menjawab pertanyaan wartawan. Guterres di konferensi pers tersebut mengatakan, "Saya meminta pejabat Myanmar menangguhkan operasi militer di Arakan, mengakhiri kekerasan dan melindungi supremasi hukum dan mengakui hak kembali mereka yang terpaksa melarikan diri ke luar negeri."
Jelas bahwa sikap pasif Sekretaris Jenderal PBB, yang dapat membawa masalah genosida Rohingya ke bawah tanggung jawab internasional dan menyerukan intervensi kemanusiaan oleh Dewan Keamanan, tidak dapat memberikan efek jera terhadap tindakan pemerintah Myanmar dan militer.
Dalam konteks inilah meskipun pembunuhan Muslim Rohingya oleh pemerintah dan tentara Myanmar, organisasi dan lembaga yang berafiliasi dengan PBB, seperti Dewan Hak Asasi Manusia, telah mengambil sikap pasif. Mereka tidak lebih dari melaporkan kejahatan yang dilakukan oleh pemerintah dan tentara Myanmar dan parahnya kekejaman yang dilakukan terhadap Rohingya. Misalnya, dalam laporan setebal 56 halaman yang diterbitkan, Human Rights Watch secara eksplisit mengakui bahwa militer Myanmar telah melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan terhadap Rohingya dan terlibat langsung dalam pembunuhan perempuan dan anak-anak.
Yang lebih menarik dari sikap pasif komunitas internasional terhadap genosida Rohingya adalah mereka hanya menyatakan posisi mereka bahwa tidak ada jaminan eksekutif. Majelis Umum PBB, sebagai salah satu organ tertinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa, telah mengadopsi resolusi tentang pelanggaran hak asasi manusia di Myanmar dan pembunuhan Rohingya pada tahun 2018, di mana hanya pelaku pembunuhan ini yang dinyatakan bersalah tanpa melakukan tindakan lain.
Jelas bahwa ketika sikap PBB sekedar memberi rekomendasi kepada pemerintah Myanmar, di mana justru pemerintah ini terlibat dalam pembantaian muslim Rohinya bersama militer, aparat keamanan dan ekstrimis Budha, maka rekomendasi seperti ini bukan saja diabaikan oleh pemerintah Myanmar, bahkan memberi peluang kepada pemerintah ini untuk menolak pertanggungjawaban kepada komunitas internasional soal kejahatan terhadap Muslim Rohingya. Proses ini semakin rumit khususnya setelah kudeta militer terhadap pemerintah Aung San Suu Kyi awal Februari 2021. Hal ini karena ada ketakutan para pengkudeta akan melancarkan pembantaian lebih besar terhadap Muslim Rohingya.
Komisaris Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) termasuk lembaga di bawah PBB yang secara langsung terlibat di urusan pengungsi Rohingya khususnya yang berada di Bangladesh. Lembaga ini karena kontak langsungnya dengan pengungsi dan membiayai sebagian kebutuhan pengungsi, memiliki informasi dan data detail terkait kondisi mengenaskan pengungsi Rohingya. Lembaga ini juga menyiapkan dokumen dan menghirimnya ke PBB. Di antara laporan tersebut adalah laporan bulan September 2017, Zeid Raad Al Hussein, salah satu petinggi UNHCR yang sepintas menjelaskan kekerasan terhadap Muslim Rohingya serta menilainya aksi sistematis dan genosida.
Di laporan ini yang diajukan di sidang ke-36 Dewan HAM PBB, disebutkan bahwa aparat pemerintah Myanmar membantai bayi, anak-anak, perempuan dan manusia serta memperkosa wanita secara sistematis dan menembaki mereka yang melarikan diri. Tak hanya itu, militer juga sengaja membakar desa-desa warga Rohingya. Kesimpulan dari laporan ini ditekankan bahwa pemerintah dan militer Myanmar bertanggung jawab atas kejahatan sistematis dan kejahatan terhadap etnis Rohingya ini dapat ditindaklanjuti di pengadilan intrnasional.