Mengenal Para Ulama Besar Syiah (31)
Syeikh Mohammed bin Hussein bin Abdul Samad Haritsi yang dikenal dengan Bahauddin dan Syeikh Bahai, adalah salah seorang ulama dan cendekiawan besar Syiah dan Islam. Ia dilahirkan pada tahun 953 Hijriyah (kemungkinan 17 Dzulhijjah) di kota Baalbek, Lebanon.
Ayahnya, Izzuddin al-Amili adalah seorang ulama terkenal di Lebanon dan murid dari Syahid Thani. Garis keturunannya berujung pada Harits Hamdani, salah seorang sahabat besar Imam Ali as. Harits Hamdani adalah salah satu penolong setia Imam Ali as dalam Perang Shiffin dan Jamal.
Syeikh Bahai menghabiskan masa kecilnya di lingkungan Syiah Jabal Amil dan kemudian hijrah ke Iran bersama keluarganya pada usia 13 tahun. Pada masa itu, Dinasti Seljuk (Turki Seljuk) sedang berkuasa di Lebanon dan menekan para pecinta Ahlul Bait. Sebaliknya, di Iran yang dikuasai oleh Dinasti Safawi yang berhaluan Syiah, kondisi untuk menyebarkan mazhab Syiah terbuka lebar.
Saat itu, Iran telah menjadi pusat perkumpulan para ulama Syiah. Ayah Syeikh Bahai diangkat oleh Raja Mohammad Khodabandeh sebagai “Syeikh Islam Herat” karena keluasan ilmu dan keutamaannya. Posisi ini kemudian diteruskan ke Syeikh Bahai.
Selain ilmu-ilmu agama, Syeikh Bahai juga menguasai berbagai disiplin ilmu yang berkembang pada masa itu, termasuk matematika, arsitektur, geografi, dan astronomi. Karya arsitekturnya yang luar biasa masih dikagumi oleh para pakar di bidang ini setelah berabad-abad.
Beberapa karya arsitektur Syeikh Bahai terkenal di dunia, seperti Menara Jonban di kota Isfahan. Uniknya, jika salah satu menara diguncang, menara lainnya akan ikut bergoyang. Kubah Masjid Imam di Isfahan yang bisa memantulkan suara sampai tujuh kali, desain halaman dan aula di Kompleks Makam Imam Ali Ridha as di kota Mashad, dan desain dinding di Kompleks Makam Imam Ali as di kota Najaf, Irak yang bisa menjadi petunjuk waktu shalat zuhur di sepanjang tahun.
Berkat kecerdasan Syeikh Bahai, banyak masjid, bangunan, jembatan, jalan raya dan taman dibangun di Isfahan, ibu kota Shah Abbas. Era keemasan arsitektur Dinasti Safawi dimulai dari sini dan warisan Syeikh Bahai menjadi salah satu seni yang paling ikonik di Iran.
Arsitektur era Safawi punya pengaruh yang luar biasa pada periode selanjutnya dan mampu memengaruhi gaya arsitektur di India, Irak, Kaukasus, Uzbekistan, Dinasti Ottoman, Lahore, dan Florence, Italia. Untuk itu, hari kelahiran Syeikh Bahai ditetapkan sebagai Hari Arsitektur di Iran.
Meskipun Syeikh Bahai unggul di bidang sains pada zamannya, namun posisi ilmuwan besar ini di dunia Syiah melampaui keahliannya di bidang arsitektur, astronomi, dan matematika.
Dalam hal ini, ia berkata, “Di antara hal terpenting yang menuntut kerja keras dan waktu siang-malam sangat pantas dihabiskan untuk itu adalah (mencari) ilmu-ilmu agama yang menjadi landasan Islam dan banyak makrifat yang diserukan oleh para nabi, terutama ilmu hadis… dan menyingkap rahasia dan mutiara di dalamnya, karena ilmu hadis – setelah ilmu tafsir (al-Quran) – merupakan sumber ilmu agama dan landasan hukum utama dan sekunder.”
Syeikh Bahai adalah ulama besar yang menguasai ilmu-ilmu Islam, termasuk yurisprudensi, ilmu al-Quran dan tafsir, ushuluddin, doa dan munajat, hikmah dan filsafat, dan menjadi salah satu ulama yang paling produktif di Dunia Islam dalam hal karya tulis.
Jumlah kitab, risalah, dan catatan pinggir (anotasi) yang dibuat oleh Syeikh Bahai berjumlah 123 judul. Kitab Jami' Abbasi adalah buku fikih yang paling terkenal yang ditulis oleh ulama besar ini. Kitab yang ditulis dalam bahasa Persia ini merupakan sebuah inisiatif baru dalam penulisan buku-buku fikih untuk masyarakat umum. Sebagian ulama menganggapnya sebagai buku fikih pertama dalam bahasa Persia dalam bentuk fikih praktis.
Sebagai ulama besar Syiah, Syeikh Bahai menaruh perhatian serius pada dua sumber utama fikih yaitu, kitab suci al-Quran dan Sunnah Nabi Saw. Metodenya dalam menjelaskan hukum fikih adalah bahwa pertama-tama ia merujuk pada ayat-ayat al-Quran dan tafsir yang terkait dengan topik yang sedang dibahas, kemudian ia memanfaatkan riwayat dan hadis untuk mempelajari aspek-aspek masalah.
Sambil mengkritik dan mengkaji pendapat para fakih lain dalam topik yang sama, Syeikh Bahai kemudian mengumumkan pendapatnya. Metode ini dapat ditemukan dalam buku Mashriq al-Shamsin.
Dalam fikih Syeikh Bahai, ilmu hadis menjadi salah satu rujukan utama. Oleh karena itu, ia memberikan perhatian khusus untuk memastikan hadis yang sahih dan hadis palsu. Ilmu yang mempelajari tentang hakikat periwayatan dan segala seluk-beluk sebuah hadis disebut Ilmu Dirayah.
Syeikh Bahai menaruh perhatian besar pada Ilmu Dirayah dan menuliskan catatan tentang dirayah hadis pada dua buku pentingnya yaitu, Mashriq al-Shamsin dan Habl al-Matin. Fikih yang berbasis metode riwayat dapat ditemukan dalam buku-buku fikih yang ditulis oleh Syeikh Bahai.
Dalam buku Habl al-Matin, misalnya, setiap tema kajian akan diawali dengan menyebutkan riwayat-riwayat yang berhubungan dengan itu dan sanadnya. Kemudian diikuti dengan penjelasan teks riwayat dan selanjutnya Syeikh Bahai akan mengeluarkan pendapatnya yang disertai dengan dalil-dalil yang kuat.
Di samping fikih, Syeikh Bahai juga punya ketertarikan khusus pada irfan dan bahkan Allamah Majlisi menganggap ia sebagai orang yang zuhud dan suka berkhalwat. Oleh sebab itu, sebagian orang memandang Syeikh Bahai sebagai ahli tasawuf, tetapi referensi yang ada menunjukkan bahwa ia mengkritik keras sebagian metode dan keyakinan para sufi serta mencelanya karena telah menyimpang dari pokok ajaran agama.
Aspek penting lain dari kepribadian Syeikh Bahai adalah peran politik dan sosialnya di Iran saat itu. Para ulama Syiah biasanya tidak memiliki hubungan dekat dengan istana raja, karena mereka menganggapnya berdosa membantu para penindas dan penguasa lalim.
Namun, dalam beberapa periode termasuk periode Safawi di Iran, beberapa ulama Syiah memiliki hubungan dekat dengan istana raja, hubungan ini tidak pernah untuk mencari kekuasaan dan keduniawian, tetapi sebaliknya, kubu ulama dengan pemahaman yang tepat akan kondisi saat itu, memilih berkomunikasi dengan istana dengan tujuan menyebarluaskan agama dan memperbaiki kondisi masyarakat Muslim.
Syeikh Bahai hidup di salah satu periode terpenting dalam sejarah Iran yaitu, era Safawi. Ia hidup sezaman dengan empat raja Dinasti Safawi, tetapi kegiatan politik dan sosialnya lebih sering dilakukan pada masa pemerintahan Shah Abbas Safawi.
Pada tahun 996 H, Syeikh Bahai diangkat oleh Shah Abbas Kabir menjadi Syeikh al-Islam Isfahan (ibukota baru Shah Abbas) dan memegang posisi ini sampai akhir hayatnya. Ia menjadi otoritas tertinggi agama yang bertugas untuk memerangi kezaliman terhadap kaum lemah, menegakkan amar makruf dan nahi munkar, menjelaskan persoalan fikih kepada masyarakat, dan menerapkan hukum agama di tengah masyarakat.
Hubungan Syeikh Bahai dengan istana bertujuan untuk memberikan pengarahan dan membimbing masyarakat. Ia menggunakan pengaruh para raja untuk memperkuat agama dan melindungi orang-orang yang tertindas.
Syeikh Bahai Amili wafat pada tahun 1031 H setelah menghabiskan 78 tahun dari usianya untuk menyebarluaskan mazhab Ahlul Bait. Dikisahkan bahwa beberapa hari sebelum wafat, ia dan sekelompok pengikut dan muridnya pergi berziarah ke makam salah satu orang arif. Di tengah ziarah, ia mendengar sebuah suara yang mengajaknya bersiap untuk menyambut kematian.
Sekembali dari tempat itu, Syeikh Bahai memilih berkhalwat dan meninggal dunia setelah sakit selama tujuh hari. Sesuai dengan wasiatnya, jenazahnya dibawa ke Mashad dan dikebumikan di madrasahnya yang berada di pelataran Kompleks Makam Imam Ridha as. Ia telah pergi untuk selamanya, tetapi cahaya ilmu yang bersumber dari Ahlul Bait, tetap menerangi jalan umat manusia. (RM)