Transformasi Turki di Tahun 1396 HS
(last modified Tue, 27 Mar 2018 07:03:58 GMT )
Mar 27, 2018 14:03 Asia/Jakarta

Referendum perubahan konstitusi Turki mungkin dapat dianggap sebagai salah satu perkembangan internal terpenting negara itu pada tahun 1396 Hijriah Syamsiah. Rakyat Turki pada 16 April 2017 mendatangi kotak suara untuk mengikuti referendum perubahan konstitusi. Kubu pro dan kontra amandemen konstitusi masih melakukan kampanye menjelang pemungutan suara untuk menggalang dukungan publik.

Dalam referendum ini, kekhawatiran penguasa dan oposisi Turki di samping keraguan publik untuk menyetujui atau menolak amandemen konstitusi, merupakan cerminan dari pasang-surut perkembangan politik dan sosial di masyarakat Turki. Oleh sebab itu, sebagian kalangan politik menganggap 16 April sebagai hari pemenuhan janji Erdogan untuk menggelar referendum dan menjamin keamanan Turki. Di sisi lain, beberapa kritikus pemerintah menilai 16 April sebagai hari untuk memperkuat kekuasaan Erdogan.

Referendum perubahan konstitusi Turki

Dengan demikian, kemenangan Erdogan dalam referendum dipandang sebagai interpretasi dari dualitas kekuasaan dan keamanan di Turki. Ini berarti bahwa Erdogan melihat kemenangan dalam referendum konstitusi dan dukungan rakyat untuk mengubah sistem pemerintahan dari parlementer ke presidensial, sebagai sebuah terobosan menuju pemulihan keamanan, pembangunan, perkembangan masyarakat, dan juga jalan untuk meninggalkan tradisi.

Sebaliknya, lawan-lawan Erdogan memandang kemenangannya dalam referendum sebagai langkah untuk memperkuat kekuasaan Erdogan di Turki, menciptakan kondisi menuju sistem unipolar, dan membungkam semua suara oposisi, serta mengakhiri kegiatan-kegiatan kepartaian dan demokratik di Turki.

Akhirnya, setelah berbulan-bulan kampanye kubu pendukung dan penentang, sedikit lebih dari separuh peserta menyetujui amandemen pasal 18 konstitusi Turki, sehingga referendum ini menjadi titik balik dalam sejarah perkembangan politik dan sosial Turki. Namun, hasil tersebut tidak mampu menghapus keraguan beberapa oposisi besar, termasuk Partai Republik Rakyat (CHP), sebagai partai terbesar kedua dan populer di Turki.

Presiden Recep Tayyip Erdogan menang tipis pada tahap-tahap terakhir penghitungan suara. Akibatnya, kemenangan tipis ini menimbulkan kekhawatiran di kalangan pemerintah Turki, terutama sekutu Erdogan, bahwa pelaksanaan reformasi ini tidak akan memperoleh dukungan yang merata di berbagai daerah di Turki, terutama di wilayah timur dan tenggara. Dengan partisipasi yang rendah dan besarnya penolakan, masyarakat di daerah tersebut telah mengirim sebuah pesan penting kepada Erdogan.

Referendum ini juga mengundang beragam reaksi, di mana orang-orang Istanbul turun ke jalan untuk memprotes hasil referendum konstitusi Turki. Reaksi serupa juga datang dari pemimpin Partai Republik Rakyat (CHP). Kamal Kilicrdaroglu meminta pembatalan hasil referendum mengenai perubahan konstitusi. Dia mengancam akan mengadukan ke Mahkamah Konstitusi dan Dewan HAM Eropa jika pemerintah Turki tidak membatalkan atau menghitung ulang hasil referendum.

Selain referendum konstitusi, dukungan Erdogan untuk mengembalikan hukuman mati ke sistem peradilan Turki, merupakan transformasi lain di masyarakat Turki pada tahun 1396 Hijriah Syamsiah. Presiden Erdogan mengumumkan kesepakatan untuk mengembalikan eksekusi mati ke sistem peradilan Turki.

Rencana Erdogan ini dikatakan untuk menghukum para pelaku kudeta gagal di Turki. Namun, para penguasa di Ankara tampaknya telah memanfaatkan semua kapasitas sosial, agama, moral, dan peradilan demi memajukan tujuan politik Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) dan kubu penguasa di Turki.

Turki dan Uni Eropa

Di bidang hubungan luar negeri, perkembangan terpenting Turki selama tahun lalu berhubungan dengan perseteruan negara itu dengan negara-negara Eropa. Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu, mengkritik pernyataan Kanselir Jerman Angela Merkel dengan mengatakan, Eropa telah kembali ke nilai-nilai sebelum Perang Dunia II seperti brutalisme dan fasisme. Merkel sebelumnya mengatakan bahwa ia akan berusaha untuk mengakhiri pembicaraan mengenai keanggotaan Turki di Uni Eropa.

Kudeta gagal di Turki telah mendorong para pejabat Ankara melontarkan kritikan pedas atas sikap pasif Uni Eropa termasuk Jerman. Kemudian, blok Eropa dan Jerman mengkritik keras perilaku pemerintah Turki terhadap para pelaku kudeta. Uni Eropa juga telah menangguhkan perundingan untuk keanggotaan Turki pada tahun 2016. Keanggotaan setiap negara di Uni Eropa harus mendapat persetujuan dari parlemen negara-negara anggota.

Partai Sosial Demokrat dan Partai Uni Demokrat Kristen di Jerman mengancam akan mengeluarkan Turki dari Dewan Eropa jika negara itu kembali memberlakukan eksekusi mati. Uni Eropa juga menuding pemerintah Turki memanfaatkan peristiwa kudeta sebagai kesempatan untuk membungkam oposisi.

Para pengamat mengatakan, pemerintah Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) pimpinan Erdogan, telah melakukan sejumlah kesalahan fatal selama satu dekade terakhir. Kesalahan-kesalahan ini pada dasarnya dipandang sebagai bentuk daya tawar Erdogan dengan kepentingan nasional Turki, dan telah menggadaikan wibawa politik AKP dengan kepentingan beberapa pemerintah asing.

Menteri Pertahanan Turki, Fikri Isik mengatakan, perundingan Turki dengan Rusia terkait pembelian sistem pertahanan rudal S-400 telah mencapai tahap akhir, meskipun ini tidak berarti sebuah kesepakatan akan segera ditandatangani. Isik menuturkan, negara-negara anggota NATO belum memberikan penawaran yang efektif secara finansial untuk pembelian sistem pertahanan alternatif.

Turki sebagai anggota NATO membatalkan tender senilai 3,4 miliar dolar untuk pembelian sistem pertahanan rudal jarak jauh dari Cina pada 2015. Pemerintah Turki kemudian menyatakan akan mengembangkan sistem rudal secara lokal, namun sikap tersebut kemudian berubah. Fikri Isik menegaskan, pekerjaan terkait S-400 Rusia telah mencapai titik akhir, tapi ini tidak berarti sebuah kesepakatan akan segera ditandatangani.

Setelah AS dan Jerman menarik sistem rudal Patriotnya dari Turki, pemerintah Ankara mulai memprioritaskan pembelian sistem pertahanan udara S-400 dari Rusia. Keinginan Turki untuk membeli sistem S-400 bisa menjadi indikasi meningkatnya perselisihan Ankara dengan NATO, di mana ketegangan ini mencapai puncaknya selama satu tahun terakhir.

Pangkalan Incirlik

Krisis Suriah juga dapat dianggap sebagai bagian penting dari transformasi Turki selama tahun 1396 Hijriah Syamsiah. Terlepas dari semua konflik antara pemerintah Ankara dengan Partai Pekerja Kurdi (PKK), masalah kehadiran militer negara itu di Suriah, terutama dalam operasi Cabang Zaitun dan pendudukan kota Afrin, merupakan titik balik dalam manuver militer Turki di kawasan.

Operasi yang bertujuan menumpas milisi Kurdi itu rencananya akan berlangsung sangat singkat, namun pasukan Turki malah terlibat terlalu jauh dalam pertempuran di Suriah. Menurut media-media Suriah, 171 warga sipil Suriah terbunuh dan 458 terluka sejak dimulainya operasi militer Turki di Afrin pada 20 Januari 2018. Human Rights Watch (HRW) mengkritik Turki karena tidak memperhatikan keselamatan warga sipil di Afrin, wilayah utara Suriah. HRW menyatakan, taktik operasi militer Turki di kota Afrin tidak tepat, dan negara itu tidak mengambil langkah yang cukup untuk melindungi warga sipil.

Ketua Partai Tanah Air Turki, Dogu Princhak mengkritik kebijakan haus perang Presiden Recep Tayyip Erdogan. Dia mengatakan, Erdogan tidak mampu mengelola perang di Suriah. Banjir kritik terus-menerus dilancarkan para pemimpin partai politik dan kubu oposisi terhadap pemerintah Ankara dalam masalah domestik dan luar negeri, yang menunjukkan adanya masalah serius dalam kebijakan yang selama ini dijalankan Erdogan.

Seorang analis politik Kurdi Irak, Hoshyar Abdollah mengatakan, PBB harus menjegal intervensi militer Turki di wilayah Afrin. Sebab, Turki terus merusak keamanan Afrin, dan berupaya dengan aksi tersebut mengejar tujuannya di tengah sikap pasif publik internasional.

Pemerintah Damaskus senantiasa menentang kehadiran ilegal pasukan Turki di wilayah Suriah, dan menilainya sebagai bentuk agresi terhadap teritorial Suriah. Kementerian Luar Negeri Suriah, menyebut aksi Turki sebagai pelanggaran terhadap kedaulatan nasional Suriah.

Tags