Wiladah Sang Imam Pemurah
Buah hati Imam Ali bin Musa Al Ridha as yaitu Imam Muhammad Taqi Al Jawad as, terlahir ke dunia pada tanggal 10 Rajab 195 HQ di kota suci Madinah. Ayah Imam Muhammad Taqi Al Jawad adalah Imam Ridha as, dan ibunda beliau, seorang perempuan suci dan mulia bernama Sabika yang sering dipanggil oleh Imam Ridha, Khayzuran.
Imam Ridha selalu menyebutnya sebagai perempuan suci, mulia dan penuh keutamaan. Kelahiran Imam Jawad bagi para pengikut Ahlul Bait as membawa banyak keberkahan. Imam Ridha selalu menyebut putranya itu sebagai putra yang penuh kebaikan dan keberkahan, dan masalah ini dikenal luas di tengah Muslim Syiah.

Saudari Imam Ridha, Hakimah Khatoun mengatakan, suatu hari saudaraku Imam Ridha memintaku dan berkata, Wahai Hakimah, malam ini putra suci Khayzuran akan lahir dan engkau harus menghadirinya. Sayapun mematuhinya. Malam itu, setelah kelahiran Imam Jawad, Imam Ridha memasuki ruangan dan kami menyerahkan bayi bercahaya yang masih diselimuti kain suci kepada Imam. Beliau sangat gembira dan memeluk bayi itu. Saat itu, Imam Ridha kembali menyerahkan bayi tersebut kepada saya dan meminta saya agar tidak meninggalkan ranjang bayi, tetap bersama bayi tersebut dan menjaganya.
Kelahiran Imam Jawad terjadi di saat propaganda anti-keimamahan Imam Ridha as begitu santer dilakukan. Di sisi lain, Imam Ridha masih belum juga dikaruniai keturunan hingga usia beliau menginjak 47 tahun. Di tengah Muslim Syiah muncul keyakinan bahwa para imam setelah Nabi Muhammad Saw berjumlah 12 orang, sembilan di antaranya keturunan Imam Hussein as, dan karena Imam Ridha belum juga memiliki keturunan saat itu, maka keimamahan beliau sempat diragukan oleh sebagian masyarakat sehingga membuka peluang musuh untuk menyerang.
Kelahiran Imam Jawad sontak mematahkan propaganda dan rencana jahat musuh, dan menjadi penghapus dahaga bagi Muslim Syiah yang tengah kehausan serta menyelamatkan mereka dari keraguan dan kekhawatiran. Oleh karena itu para pengikut Ahlul Bait selalu menyebut Imam Jawad sebagai putra suci penuh kebaikan dan keberkahan.
Di dalam Al Quran dan hadis, infak diartikan sebagai perbuatan memberikan harta atau selainnya untuk ridha Tuhan, kepada fakir miskin, orang-orang yang membutuhkan atau untuk keperluan lain. Urgensitas infak sedemikian besar sehingga Al Quran selalu menyandingkannya dengan shalat dan menyebut infak sebagai tanda orang beriman.
Infak dalam ayat Al Quran selalu berdampingan dengan amal baik dan ibadah sehingga menunjukkan urgensinya di dalam Islam dan Al Quran. Imam Muhammad Taqi Al Jawad sebagai manifestasi nyata akhlak Quran, memiliki seluruh kemuliaan kitab suci tersebut. Salah satu julukan Imam Muhammad Taqi adalah Jawad karena beliau sangat dermawan dan pemurah.
Tidak diragukan, dalam masalah infak dan membantu kaum mustadhafin, beliau adalah teladan terbaik bagi masyarakat. Imam Jawad tidak pernah sedetikpun melupakan masyarakat miskin dan selama diberi kemampuan, beliau selalu membantu orang lemah dan masyarakat terpinggirkan. Oleh karena itulah beliau dijuluki Jawad yang berarti seseorang yang pemurah dan dermawan. Salah seorang sejarawan terkait hal ini menulis, Imam Jawad membagikan ribuan dirham kepada penduduk Madinah, karena itu mereka menjuluki beliau, Jawad.

Imam Kesembilan Muslim Syiah ini juga adalah mata air ilmu pengetahuan dan kemuliaan. Beliau menerima tugas kepemimpinan umat Islam dan khilafah Ilahi saat usia beliau tidak lebih dari sembilan tahun, namun sepertinya seluruh ilmu pengetahuan yang terkandung dalam semua kitab telah diberikan kepada beliau.
Di masa kanak-kanak itu, Imam Jawad menjawab ratusan pertanyaan pelik dan sulit, dan aktif menyampaikan pelajaran kepada masyarakat. Dari Imam Jawad hanya 250 hadis yang sampai ke tangan kita sampai saat ini. Muslim Syiah tidak mudah untuk bertemu dengan Imam Jawad dan mendapatkan limpahan pengetahuan dari beliau, hal ini biasanya dilakukan oleh wakil-wakil yang ditunjuk para Imam Maksum, itupun dilakukan secara rahasia.
Perdebatan ilmiah antara Imam Jawad dengan Yahya bin Aktham, adalah setetes ilmu dari lautan pengetahuan Imam Jawad. Yahya bin Aktham adalah salah satu cendikiawan dan ahli fikih di masa Khalifah Abbasi yang sempat menjabat sebagai Hakim kota Basrah. Ia cukup terpandang di mata Khalifah Makmun dan khalifah memintanya untuk berdebat dengan Imam Jawad.
Dalam majelis debat yang digelar tahun 211 HQ itu, Yahya meminta izin kepada Imam Jawad untuk menanyakan sebuah permasalah fikih terkait haji. Imam Jawad yang saat itu berusia 16 tahun menjelaskan sejumlah kemungkinan berbeda terkait masalah tersebut dan meminta Yahya menjelaskan maksudnya secara tegas dengan memperhatikan kemungkinan-kemungkinan yang telah disampaikan.
Saat itu pula tanda-tanda ketidakmampuan dan kecemasan tampak di raut muka Yahya, ia tidak mampu menjawab dan hanya membisu. Bersamaan dengan itu, tampaklah keluasan Imam Jawad bagi seluruh orang yang hadir dan setelah semuanya meninggalkan majelis, Makmun meminta Imam Jawad menjelaskan jawaban pertanyaan itu dan Imampun menjelaskannya.
Selama hidupnya yang terhitung pendek namun penuh keberkahan, Imam Jawad membersihkan debu dari wajah Islam hakiki dan mengajarkan Islam kepada masyarakat di tengah atmosfir penuh tekanan di masa pemerintahan Khalifah Makmun Abbasi.
Ayatullah Sayid Ali Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, terkait keutamaan Imam Jawad mengatakan, Imam Jawad sebagaimana imam-imam maksum yang lain adalah teladan, pemimpin dan contoh bagi kita. Kehidupan beliau yang pendek, digunakan untuk berjuang melawan kekufuran dan penyimpangan.
Di masa remaja, Imam Jawad diperintahkan Allah Swt untuk memimpin umat Islam dan dalam waktu beberapa tahun, beliau melakukan jihad melawan musuh Tuhan. Dalam usia 25 tahun, keberadaan Imam Jawad membuat musuh tertekan dan terpaksa membunuh beliau dengan racun.
Sebagaimana juga Imam Maksum lain yang masing-masing mengukir sejarah emas Islam dengan perjuangannya, Imam Jawad pun melaksanakan tugas penting perjuangan total Islam dan mengajarkan kehidupan kepada kita. Pelajaran besar itu adalah, ketika kita dihadapkan dengan kekuatan munafik dan congkak, kita harus bertekad membangkitkan kesadaran masyarakat untuk melawan kekuatan-kekuatan tersebut.
Jika musuh, menunjukkan secara transparan permusuhan mereka, dan jika mereka tidak menuduh dan sombong, maka tugas Imam Jawad lebih mudah. Tapi jika musuh seperti Makmun Abbasi yang menampilkan wajah seolah suci dan mendukung Islam, maka masyarakat sulit untuk mengenali identitas aslinya.
Di masa kita saat ini dan di setiap penggalan sejarah, kubu adidaya selalu berusaha menggunakan cara-cara munafik dan penipuan ketika menyadari gagal berhadapan langsung dengan masyarakat. Imam Jawad sejak awal bertekad menyingkap topeng kemunafikan dari Makmun dan berhasil.
Imam Maksum yang menjadi Hujjah Allah Swt sepeninggal Rasulullah Saw dan pengganti beliau, adalah tokoh-tokoh yang paling layak menterjemahkan dan menafsirkan wahyu Tuhan. Imam Ali bin Abi Thalib as berkata, Al Quran ini adalah tulisan-tulisan yang tersembunyi di balik jilid, ia tidak berbicara dengan mulut sehingga membutuhkan seorang penafsir dan penerjemah.

Kemudian Amirul Mukminin melanjutkan, kami (Ahlul Bait) adalah yang paling layak untuk menafsirkan dan menterjemahkan Al Quran bagi masyarakat. Imam Jawad, sebagai pilar penjaga wahyu Tuhan, mencegah penafsiran tidak tepat dan tidak rasional atas ayat-ayat Al Quran serta membimbing ulama dan cendikiawan ke arah pemahaman yang benar tentang ayat Al Quran.
Suatu hari di majelis yang digelar Mu'tasim, beberapa cendikiawan dengan bersandar kepada sebuah ayat Quran, mengeluarkan hukum fikih. Imam Jawad yang saat itu hadir mengungkap kesalahan mereka dan menjelaskan tafsir ayat Quran yang benar kepada hadirin.
Imam Syafii salah satu imam mazhab Ahlu Sunnah terkait Imam Jawad menyampaikan ungkapan yang indah dan bernilai. Ia mengatakan, Imam Jawad memiliki derajat dan kedudukan tinggi, dan namanya selalu diucapkan banyak orang. Kesabaran, pengetahuan yang luas dan bahasanya yang memikat, membuat semua orang tertarik kepadanya.
Kata-kata yang disampaikan Imam Jawad sungguh bernilai tinggi dan setiap orang yang mendatangi beliau, tanpa sadar membungkuk menghormatinya, beliau adalah mata air tempat akal semua orang mereguk ilmu dan makrifat.
Imam Jawad berkata, nikmat Allah Swt tidak akan bertambah bagi seseorang, kecuali masyarakat semakin membutuhkan orang itu. Maka dari itu, orang yang tidak bisa menanggung nikmat ini yaitu membantu orang, sebenarnya ia sedang menghapus nikmat tersebut.