Taktik Perang Hibrida dan Berbagai Potensinya
Pada prinsipnya sejak krisis Ukraina dimulai, para komandan Pakta Pertahanan Atlantik Utara NATO menyadari masalah ini bahwa dalam krisis tersebut, Rusia menggunakan strategi perang hibrida atau perang perpaduan. Masalah ini membuat mereka merasa terancam dan terkuak pula kelemahan NATO dalam menghadapi ancaman perang jenis ini. NATO merasakan ancaman dahsyat dari perang hibrida yang digulirkan Rusia di Ukraina serta menekankan pentingnya perencanaan untuk menghadapi taktik perang baru tersebut.
Untuk mengenal posisi perang hibrida ini, terlebih dahulu harus mengenal berbagai jenis perang yang terbagi dalam tiga kategori. Pertama adalah perang konvensional atau perang klasik yang salah satu contohnya adalah perang yang dipaksakan Irak terhadap Iran. Dalam perang ini, pasukan dari tiga angkatan laut, darat dan udara membentuk formasi rapi untuk melancarkan serangan dan menguasai lebih banyak wilayah. Parameter kekalahan atau kemenangan dalam perang ini adalah kemampuan menjaga perbatasan dan luas wilayah perbatasan.
Kategori kedua adalah perang gerilya yang marak digunakan pasca Perang Dunia Kedua, bersamaan dengan munculnya berbagai kelompok dan gerakan kebebasan nasional. Dalam kasus terbaru khususnya pasca peristiwa 11 September 2001, muncul kelompok-kelompok teroris yang menggunakan taktik perang gerilya. Dalam perang gerilya ini, kelompok-kelompok tersebut tidak mengikuti standar militer. Dari sisi struktural, kelompok-kelompok itu juga tidak menganut sistem militer dan lebih banyak mengacu pada keanggotaan.
Metode perang yang digunakan dalam perang gerilya lebih mengacu pada inovasi para komandan, kombatan atau teroris anggota kelompok tersebut. Senjata yang digunakan juga terbatas pada senjata ringan, semi-otomatis dan roket. Perang gerilya tidak membidik perluasan wilayah. Dalam perang seperti ini, tujuan utama adalah menimbulkan kerugian nyawa dan finansial kepada pihak lawan. Kemampuan bertahan hidup adalah masalah paling esensial pada jenis perang gerilya.
Pasca krisis Ukraina, kita menyaksikan perang baru yang di antaranya adalah perang hibrida atau perang perpaduan. Dalam perang yang biasanya digulirkan oleh pemerintah ini, kita menyaksikan penggunaan perpaduan kapasitas sebuah negara mulai dari kapasitas militer konvensional, pasukan, taktik dan mekanisme mencakup diplomasi dan intelijen, dukungan terhadap pemberontak lokal, pengerahan pasukan gerilya, penerjunan pasukan militer khusus, perang ekonomi dan serangan cyber.
Itu adalah definisi dari perang hibrida yang dikemukakan pada Konferensi Keamanan Munich. Dengan demikian, dalam perang hibrida, sebuah pemerintah menggunakan berbagai macam cara dan sarana yang dimilikinya untuk menggapai tujuannya di negara target. Pada hakikatnya, perang hibrida tetap kembali ke satu markas komando yang mengelola dan mengkoordinasi seluruh sarana, kapasitas, kemampuan dan kekuatannya.
Kemunculan dan transformasi terkait krisis Ukraina pada 2014, membuat NATO menyadari penggunaan taktik perang hibrida oleh Rusia. Masalah ini membuat para komandan NATO merasa terancam dan bahwa seluruh titik kelemahan pakta ini terkuak. Dengan segera NATO menekankan pentingnya pengambilan langkah-langkah antisipasi segera untuk menghadapinya.
Kendala utama yang dihadapi NATO dalam perang hibrida adalah bahwa orang-orang Rusia juga menggunakan taktik yang sama di berbagai titik lain termasuk di negara-negara republik Balkan. Dalam hal ini Jenderal Denis Mercier pada Juli 2016 memperingatkan bahwa NATO harus siap menghadapi ancaman perang hibrida serta memiliki program mengantisipasinya.
Pernyataan serupa juga dilontarkan oleh Ketua Kebijakan Politik Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini, bahwa Uni Eropa dan NATO harus meningkatkan kerjasama untuk menghadapi tantangan baru perang hibrida di Eropa Timur yang digulirkan Rusia. Khususnya ancaman gabungan, keamanan cyber dan isu pertahanan. Pada hakikatnya, faktor di balik perhatian Barat terhadap perang hibrida adalah penggunaan efektif Rusia atas strategi perang hibrida.
Melihat pada delapan elemen dalam perang hibrida, Rusia pada awalnya berusaha untuk menekan Ukraina dari sisi ekonomi. Pada prosesnya, kita menyaksikan bagaimana Moskow memanfaatkan kekuatan ekonomi dan senjata energinya untuk menekan Ukraina yang kemudian berujung pada boikot terhadap Kiev pada Januari 2016.
Di sektor politik atau diplomatik, Rusia berusaha untuk menjalin interaksi diplomatik dengan negara-negara Barat, khususnya Uni Eropa terkait krisis Ukraina yang salah satu contohnya adalah pembentukan kelompok Normandy serta pembentukan kelompok kontak. Pada saat yang sama, Rusia dengan kekuatan cybernya menggelindingkan perang media melalui berbagai jaringan media dan jejaring sosial terkait Ukraina.
Dimensi lain dari perang hibrida oleh Rusia di timur Ukraina adalah dukungan penuh terhadap kelompok-kelompok oposisi di timur Ukraina dari sisi bantuan militer, logistik, finansial dan bahkan SDM. Hasilnya adalah deklarasi pemisahan diri secara sepihak dua provinsi di timur Ukraina yaitu Luhansk dan Donetsk, meski tidak ada negara yang mengakuinya. Pada saat yang sama pihak Rusia berulangkali mengerahkan pasukan khusus militernya untuk menghadapi tentara pemerintah Ukraina.
Di sisi lain, Rusia mengerahkan pasukan konvensionalnya untuk menggelar berbagai manuver di dekat wilayah perbatasan barat Rusia yang tersambung dengan Ukraina dan banyak negara di Eropa Timur. Hal itu dimaksudkan menyammpaikan peringatan kepada para pejabat Ukraina dan Barat, serta yang terpenting meningkatkan kemampuan cyber Rusia. Dalam perang hibrida yang sangat rumit ini, digunakan berbagai elemen seperti kekuatan lunak dan keras sehingga mantan sekjen NATO, Rasmussen dalam hal ini secara tegas mengatakan, "Vladimir Putin, adalah Presiden Rusia yang ahli dalam perang hibrida."
Mengingat penggunaan sukses perang hibrida ini oleh Rusia di Ukraina serta peringatan NATO dan para pejabat Barat soal penggunaan perang ini di masa depan oleh pemerintah atau negara agresor Barat ke berbagai wilayah dunia, tampaknya pada tahap awal harus ditunggu apakah negara-negara Barat dalam koridor NATO akan melaksanakan sidang dan pertemuan untuk merancang taktik-taktik baru menghadapi perang hibrida ini.
Pada tahap kedua Barat khususnya negara-negara seperti Amerika Serikat yang doyan mengintervensi berbagai negara dunia, juga akan menggunakan taktik perang hibrida ini untuk menarget sebuah negara.
Namun secara keseluruhan dapat diprediksi bahwa dengan kinerja rapi dan bagus perang hibrida ini, di masa mendatang, akan banyak negara yang memiliki kekuatan militer, ekonomi, cyber dan politik yang lebih besar seperti Cina dan India akan mengggunakan taktik ini demi menjatuhkan negara rival mereka.
Di samping itu, selain Rusia, Amerika Serikat dan banyak negara Barat dan bahkan kekuatan regional akan menggunakan taktik perang hibrida mengingat efektifitasnya dalam mencapai tujuan.