Pengaruh Daesh di Asia Tenggara (2)
Pasca kekalahan Daesh di Irak dan Suriah, Asia Tenggara menjadi target kelompok teroris ini. Dijadikannya kawasan tersebut sebagai target lanjutan Daesh tidak bisa dilepaskan dari persoalan struktural yang dialami negara-negara di Asia Tenggara. Salah satu problem struktural yang menjadi potensi bagi munculnya radikalisme, dan mudahnya sebagian masyarakat menerima kelompok teroris semacam Daesh adalah masalah kemiskinan.
Untuk kasus di Indonesia, pihak BNPT memandang masalah kemiskinan sebagai salah satu pintu potensi bagi sebagian orang menjadi radikal. Direktur Perlindungan BNPT Brigjen Pol. Herwan Chaidir mengatakan, alasan ekonomi menjadi lahan paling cepat untuk radikalisme.
Problem kemiskinan ini diperparah dengan tingginya tingkat kesenjangan pendapatan di Indonesia. Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto (1/2/2017) menilai tingkat ketimpangan di Indonesia bisa mengakibatkan timbulnya radikalisme. Sebab, salah satu pemicu munculnya radikalisme adalah tingginya jumlah penduduk miskin di suatu negara. Menurutnya, ketimpangan tersebut, menyebabkan penduduk miskin di Indonesia merasa tersisihkan dari negara. Akibatnya, mereka akan dengan mudah dipengaruhi oleh pihak tertentu yang menginginkan adanya perpecahan di Tanah Air, termasuk suburnya radikalisme.
Ketimpangan kekayaan antara orang kaya dan miskin di Indonesia termasuk paling buruk di dunia. Berdasarkan survei lembaga keuangan Swiss, Credit Suisse, sebanyak satu persen orang terkaya di Indonesia menguasai 49,3 persen kekayaan nasional. Kondisi ini hanya lebih baik dibanding Rusia, India, dan Thailand.
Oxfam melaporkan, meskipun pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia mencapai rata-rata sebesar 5 persen per tahun antara tahun 2000 dan 2016 yang menyebabkan RI masuk dalam daftar negara-negara berkembang yang tumbuh cepat, tapi pengurangan kemiskinan justru melambat bahkan nyaris berhenti.
Dengan menggunakan patokan garis kemiskinan moderat Bank Dunia yang sebesar US$3,10, sebanyak 93 juta orang Indonesia masih hidup dalam kemiskinan. Beberapa kali Presiden Joko Widodo mengakui bahwa kesenjangan pendapatan di Indonesia masih tinggi. Ia mengatakan akan memfokuskan perhatian pada upaya mengurangi kemiskinan pada tahun 2017 ini.
Direktur Institute for Policy Analysis of Conflict (IPAC) Sidney Jones memandang kemiskinan bukan menjadi faktor keterlibatan orang bergabung dengan Daesh. Jones meyakini faktor propaganda ideologi radikalisme sebagai pemicu besarnya. Pandangan senada disampaikan pakar psikologi politik Universitas Indonesia Prof Hamdi Muluk yang menilai WNI yang pergi ke Timur Tengah untuk bergabung dengan kelompok teroris Daesh ibarat orang keracunan, yakni keracunan ideologi radikalisme.
Di Indonesia, penyebaran paham terorisme sebagaimana yang dianut Daesh cukup masif karena beberapa tokoh radikal yang berpengaruh telah menyatakan diri bergabung ke gerakan ini seperti Santoso. Di samping itu beberapa kelompok radikal lama juga banyak mendeklarasikan diri mendukung gerakan ISIS seperti Mujahidin Indonesia Timur, Jamaah Ansharut Tauhid, Jama’ah Islamiyah, dan lain-lain.
Selain menggunakan penyebaran langsung, Daesh memanfaatkan media internet sebagai media propaganda. Untuk konteks di Indonesia hingga Maret 2015 kicauan tentang ISIS atau Daesh dari Indonesia berkontribusi 20% dari total tweet dunia (112.075 /dunia 21.722 /Indonesia). Video pertama muncul pada 31 Juli 2014 di Youtube mengajak warga Indonesia bergabung dengan ISIS. Propaganda dilanjutkan dengan video lain yang berisi ancaman ISIS terhadap pejabat tinggi seperti TNI Jend Muldoko, Kapolri, Banser dan seluruh bangsa Indonesia.
Di samping itu, kerentanan masa transisi krisis identitas kalangan pemuda mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2005) sebagai cognitive opening (pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti itulah yang menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan dan terorisme.
Kelompok teroris menyadari problem psikologis generasi muda. Kelompok teroris memang mengincar mereka yang selalu merasa tidak puas, mudah marah dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, solusi dan strategi meraih perubahan, dan rasa kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan lingkungan, fasilitas dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan keperkasaan dan melancarkan agenda kekerasannya.
Faktor ideologi menjadi pemantik yang lebih besar bagi orang-orang di Malaysia bergabung dengan kelompok teroris Daesh. Data dari Asisten Direktur Kepala Divisi penanggulangan terorisme Malaysia, menyatakan setidaknya ada 100 warga negara Malaysia telah berangkat ke Suriah untuk bergabung bersama kelompok teroris Daesh. Tidak hanya itu, kepala divisi juga telah menangkap sekitar 12 orang atas tuduhan terlibat aksi teror.
Kemudian ditemukan adanya sekitar 10 aksi bom bunuh diri yang akan dilakukan di Kuala lumpur dan delapan lainnya di wilayah lain. Dokumen tersebut juga menyebutkan bahwa perwakilan Daesh di Malaysia juga melakukan kerjasama dengan gerakan radikal di kawasan Asia Tenggara seperti Front Pembebasan Nasional Moro dan Abu Sayyaf kerjasama ini dilakukan untuk melancarkan aksi dan penempatan anggota di Kuala Lumpur dan Sabah. (Widodo, dan Indriawan, 2015)
Warga negara Malaysia yang telah bergabung dengan kelompok Daesh tidak hanya sebatas berangkat ke Suriah dan ikut berperang. Tapi mereka juga berkontribusi dalam sistem pendanaan kelompok teroris itu. New Straits Times melaporkan, setidaknya lima pendukung kelompok teroris Daesh telah menjual barang-barang mereka dan mengajukan pinjaman senilai 30 ribu dolar pada bank. Mereka pun dilarang keluar dari Malaysia oleh pihak berwenang.
Divisi Penanggulangan Terorisme Malaysia cabang Khusus mengatakan, akan menginstruksikan bank untuk menghambat pinjaman jika itu diyakini berkaitan dengan Daesh. Sumber-sumber keamanan Malaysia mengatakan, lima orang ditangkap karena diduga mengikuti jejak sesama anggota Daesh di Suriah dan Irak. Mereka mengajukan pinjaman ke bank untuk membiayai aksinya.
Asisten Direktur kelompok Kontra-Terorisme Malaysia Datuk Ayob Khan Mydin Pitchay mengatakan, polisi menemukan adanya metode penggalangan dana dengan cepat di kalangan para pendukung Daesh di Malaysia. Para pelaku termasuk militan muda terutama berusia awal 20-an. Mereka memiliki peringkat kredit yang rendah. Para militan kemudian mengunakan uang tersebut untuk mempersenjatai diri.
Kepolisian Malaysia pada Senin (13/3/2017) menyatakan mereka menangkap tujuh orang, termasuk lima warga Filipina, yang diduga punya kaitan dengan Daesh. Inspektur Jenderal Polisi Khalid Abu Bakar mengatakan dalam pernyataan bahwa sebagian besar penangkapan itu dilakukan selama operasi di Sabah, negara bagian di pulau Kalimantan di bulan lalu.
Seorang tersangka asal Filipina dengan izin tinggal tetap di Malaysia ditahan dengan dugaan melakukan penggalangan dana dan menyalurkannya ke Mahmud Ahmad dan Mohamad Joraimee Awang Raimee, dua warga Malaysia tergabung dengan Daesh di Filipina selatan. Seorang pria Filipina berencana melakukan perjalanan ke Suriah dan bergabung dengan Daesh, sementara yang lain ditemukan memiliki janji setia kepada pimpinan kelompok Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon.