Akar Krisis Korea dan Pengkhianatan AS (Bag.2 Habis)
(last modified Sat, 07 Oct 2017 04:00:40 GMT )
Okt 07, 2017 11:00 Asia/Jakarta

Pada bagian terakhir acara ini akan diulas tentang kehadiran militer Amerika Serikat di Asia Timur sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya peningkatan krisis di wilayah itu, dan masa depan kawasan.

Tidak diragukan, faktor terpenting berlanjutnya krisis di Asia Timur dan Semenanjung Korea adalah kehadiran militer Amerika di kawasan dengan berbagai bentuk dan motifnya.

Kehadiran sekitar 90 ribu pasukan Amerika di Korea Selatan dan Jepang, manuver militer gabungan tahunan Amerika dengan Korea Selatan juga Jepang, pengerahan armada maritim dan kapal selam Amerika ke perairan sekitar Cina dan Korea Utara, penempatan rudal THAAD dan persenjataan taktis Amerika di Korea Selatan, di antara faktor tersebut. 

Program militer Amerika di kawasan Asia Timur dan sekitar Semenanjung Korea membawa banyak dampak berbahaya, yang terpenting adalah menciptakan gangguan keamanan di kawasan tersebut.

Secara umum, dapat dikatakan bahwa setiap negara yang terlibat dalam perseteruan ini yaitu Amerika, Korea Selatan dan Jepang di satu sisi, dan Cina, Rusia dan Korea Utara di sisi lain, masing-masing mengejar tujuannya.

Korea Utara, di tengah kubangan krisis ini berusaha menunjukkan diri sebagai kekuatan rudal dan nuklir, dan diduga, syarat terpenting Pyongyang untuk berunding dengan Washington adalah diterimanya masalah ini oleh Amerika.

Washington juga memanfaatkan krisis Semenanjung Korea untuk memperkuat kehadiran militernya di Asia Timur dan perairan di sekitar Cina untuk mengepung negara tersebut. Oleh karena itu, Amerika tidak menunjukkan keinginan untuk menyelesaikan krisis Korea Utara.

Pemerintahan ultra-nasionalis Jepang yang dikuasai Partai Liberal Demokrat, LDP berusaha memanfaatkan krisis Semenanjung Korea untuk meningkatkan program militerismenya dan mengamandemen undang-undang dasar negara itu serta menghapus Pasal 9 UUD.

Pasal tersebut melarang Jepang untuk melancarkan perang, melakukan ancaman dan tindakan kekerasan dalam menyelesaikan permasalahan internasional, serta tidak mempertahankan Angkatan Bersenjata.

Terkait sikap Cina soal krisis rudal Korea Utara, terdapat sejumlah pandangan berbeda, termasuk pertanyaan mengapa Beijing menyetujui resolusi 2371 Dewan Keamanan PBB.

Mengingat bahwa Cina dan Korea Utara adalah sekutu strategis, protes Cina atas Korea Utara terkait berlanjutnya uji coba rudal, begitu juga peringatan Pyongyang atas Beijing dalam masalah ini, dianggap sebagai sebuah bentuk "perang palsu" untuk mengurangi tekanan Amerika.

Washington baru-baru ini memunculkan teori "Tanggung jawab Cina" atas Korea Utara dan berusaha agar kedua negara saling berhadapan. Pemerintah Beijing berulangkali memprotes teori tersebut dan meminta Amerika untuk menghentikannya. Pada saat yang sama, Beijing memprotes program rudal Korea Utara.

Suara setuju Cina atas resolusi terbaru anti-Korea Utara prakarsa Amerika di Dewan Keamanan PBB, disebut-sebut membuat Donald Trump, Presiden Amerika gembira. Pasalnya, perkembangan terbaru menunjukkan bahwa Trump tidak mampu menyelesaikan krisis Korea Utara dan ancaman perang hanya meningkatkan ketegangan.

Bruce Klingner peneliti senior di The Heritage Foundation, untuk kajian Korea dan Jepang mengatakan, keinginan Amerika melancarkan serangan preemptive atas Korea Utara, telah meningkatkan banyak kekhawatiran, dan serangan tersebut akan menimbulkan bencana.

Persetujuan Cina atas resolusi anti-Korea Utara, DK PBB bukan berarti persetujuan atas realisasi resolusi tersebut. Terutama karena didalamnya tidak dicantumkan hukuman bagi negara-negara yang mengabaikan resolusi itu.

Dengan demikian, persetujuan Cina atas resolusi anti-Pyongyang sebenarnya adalah upaya Beijing untuk menekan pemerintah Amerika agar melakukan tindakan-tindakan yang lebih rasional terkait krisis Korea Utara.

Hal itu karena Amerika menunjukkan kemarahan atas berlanjutnya uji coba rudal balistik Korea Utara dan mungkin saja Washington akan melakukan langkah tidak rasional demi memuaskan tuntutan dalam negeri. Persetujuan Cina atas resolusi DK PBB lebih merupakan sebuah taktik Cina untuk mengontrol dan mengelola krisis di Semenanjung Korea.

Sehubungan dengan hal ini, situs stasiun televisi Amerika, CNN menulis, Cina berusaha mencegah pecahnya perang di perbatasan selatan negara itu karena bisa memicu gelombang jutaan pengungsi. Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan, perang juga akan membuka peluang kehadiran pasukan Amerika di perbatasan Cina.

Rusia sama sekali tidak menginginkan terjadinya krisis di kawasan, sekalipun itu muncul dari Korea Utara. Dalam pandangan Moskow, faktor ancaman keamanan nasional negara itu bukanlah Korea Utara, tapi kelompok teroris Daesh yang didukung Amerika dan saat ini sedang berusaha mengganggu keamanan wilayah di sekitar Rusia dan Asia Tengah.

Moskow menganggap kegaduhan soal krisis rudal Korea Utara dapat menutupi upaya terselubung merusak keamanan negaranya. Oleh karena itu, Rusia menilai krisis Semenanjung Korea sebagai dalih yang tepat bagi Amerika untuk mengerahkan pasukannya ke kawasan dan mengontrol total keamanan Asia Timur.

Menurut Korea Utara sendiri, program nuklir dan rudal negara itu sudah mencapai level kemajuan yang tidak mungkin untuk kembali dengan alasan apapun, dan Pyongyang tidak akan pernah membiarkan keberhasilan ini menjadi korban transaksi rahasia dan terbuka Cina dengan Amerika.

Ju Yong Choi, Duta Besar Urusan Perlucutan Senjata Korea Utara mengatakan, uji coba rudal Korea Utara adalah langkah yang sah untuk membela diri, berdasarkan hukum internasional, dan protes Amerika atas langkah Pyongyang ini menunjukkan pelanggaran kedaulatan dan harga diri Korea Utara.

Oleh karena itu, terkait masa depan Semenanjung Korea, harus dikatakan bahwa Korea Utara akan melanjutkan kebijakan pencegahannya dalam menghadapi Amerika.

Sementara Cina, dengan kebijakan mengontrol krisis Korea Utara, berusaha mencegah eskalasi ketegangan dan kemungkinan pecahnya perang antara Amerika dan Korea Utara. Artinya, krisis nuklir di Semenanjung Korea diperkirakan akan terus berlanjut hingga waktu yang tak terduga dan sekarang harapan berakhirnya krisis ini masih terlampau kecil.

Meski demikian, sebagian analis politik meyakini bahwa Cina melalui tangan Korea Utara sedang berusaha meruntuhkan kedigdayaan dan kekuatan Amerika. Menurut para analis itu, Beijing dan Pyongyang mencoba mengolok-olok Donald Trump. Cina ingin menunjukkan kepada Amerika bahwa negara itu sudah tidak punya kekuatan lagi untuk berbuat sekehendak hati di Asia Timur.

Marc Almond, analis politik Amerika mengatakan, Trump memahami bahwa keputusan untuk berperang dengan Korea Utara sama saja dengan bunuh diri, dan jika ia memilih opsi perang, maka ia akan mengubah kawasan menjadi lautan darah dan gelombang pengkhianatan besar-besaran yang tidak mudah untuk dilalui.

Dalam situasi seperti ini, Korea Selatan akan menjadi pihak yang paling dirugikan oleh krisis Semenanjung Korea. Karena penempatan peralatan perang dan rudal Amerika termasuk THAAD di Korea Selatan bukan hanya memicu protes masyarakat negara itu, bahkan mengubah Seoul menjadi target rudal-rudal Korea Utara. Di sisi lain, Cina sebelumnya sudah memprotes penempatan rudal Amerika, THAAD di Korea Selatan dan menjatuhkan sanksi perdagangan dan pariwisata atas negara itu.