Ancaman Pemindahan Daesh ke Asia Tenggara
Baru-baru ini Komite Kontra Terorisme, Dewan Keamanan PBB (CTC) mengkaji kemungkinan pemindahan milisi kelompok teroris Daesh ke Asia Tenggara. Komite Kontra Terorisme DK PBB dalam laporan terbarunya memperingatkan kemungkinan migrasi milisi teroris Daesh dari Irak dan Suriah ke kawasan Asia Tenggara.
Ketua Komite Kontra Terorisme DK PBB, Kairat Umarov menegaskan, para teroris asing di Irak dan Suriah berusaha keluar dari dua negara itu dengan menyamar sebagai pengungsi dan imigran.
Umarov menganggap masalah tersebut sebagai sebuah ancaman serius bagi masyarakat dunia. Ia juga memperingatkan soal pemindahan aliran dana kelompok-kelompok teroris terutama Daesh dari Suriah dan Irak ke wilayah lain.
Menurutnya, langkah teroris itu dilakukan untuk mempersiapkan aksi balasan atas kekalahan perang mereka di Irak dan Suriah, dan sebagai bentuk kelanjutan aktivitas Daesh di wilayah-wilayah dunia lain. Sekitar setahun lalu, sejak kekalahannya di Irak dan Suriah, kedua kelompok teroris itu mulai memindahkan anasir-anasirnya ke sejumlah wilayah dunia yang lain.
Tiga lokasi yang menjadi tujuan utama kelompok teroris Daesh adalah Libya di Afrika Utara, Afghanistan di Asia Barat, serta Filipina, Malaysia dan Indonesia di Asia Tenggara. Tujuan pemindahan anggota Daesh ke wilayah-wilayah itu diduga untuk mendirikan Khilafah Khorasan di Afghanistan dan Khilafah Timur di Asia Tenggara.
Rohan Gunaratna, analis masalah keamanan asal Singapura yang juga Ketua Pusat Internasional untuk Riset Kekerasan Politik dan Terorisme, ICPVTR mengatakan, Filipina dianggap memiliki kondisi dan posisi yang tepat bagi Daesh untuk meraih tujuannya. Pendudukan kota Marawi adalah aksi pertama dan paling serius Daesh untuk mendeklarasikan Khilafah Islamiyah Timur di negara itu.
Maka dari itu, sejak setahun lalu seluruh pemangku kepentingan di negara-negara Asia Tenggara sudah memperingatkan tentang bahaya ini dan mengambil sejumlah langkah untuk mencegah terlaksananya rencana Daesh. Namun demikian, mereka meyakini, untuk melawan kelompok teroris Daesh diperlukan kerja sama internasional.
Pasalnya, terorisme adalah ancaman transregional yang mengancam secara serius keamanan dunia. Oleh karena itu, bersamaan dengan dilancarkannya program militer untuk memberantas teroris, mengawasi aliran dana bank dan mencegah aktivitas bisnis mereka di berbagai sektor seperti minyak, narkotika dan barang tambang, juga sangat urgen.
Laporan-laporan resmi menunjukkan, pemerintah negara-negara Barat yang mengklaim memerangi terorisme, terbukti sebagai pendukung asli kelompok-kelompok teroris dan menjadikan mereka alat untuk meraih ambisinya terutama di bidang keamanan dan militer.
Kunjungan kenegaraan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo ke Asia Selatan yaitu Sri Lanka, Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan, dan ke India, untuk menghadiri KTT-ASEAN-India, serta idenya membentuk komisi para ulama dari Indonesia, Pakistan dan Afghanistan, menunjukkan adanya kekhawatiran akan meluasnya terorisme dan dampak-dampaknya.
Direktur Pencegahan Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) Brigjen Hamidin mengatakan, rekrutmen anggota ISIS (Daesh) marak dilakukan melalui media sosial.
Untuk menjadi anggota ISIS, katanya, hanya perlu berkomunikasi melalui website atau via media sosial lainnya. Jadi sekarang cukup dengan statement via sosmed. Mengapa? Karena sosmed tidak ada batasan negara dan sulit menentukan yurisdiksi hukum.
Ia menambahkan, cara ini memiliki dampak yang lebih besar. Teroris pun bisa melakukan banyak hal tanpa perlu bertatap muka. Melalui internet, teroris bisa juga melakukan propaganda, rekrutmen, pelatihan modul, perencanaan, pelaksanaan, dan rencana pelaksanaan termasuk mencari donasi.
Para pengamat politik Asia Tenggara percaya, produksi dan penyelundupan narkotika di Afghanistan yang sepenuhnya berada di bawah kontrol Amerika Serikat dan NATO, tidak mungkin dilakukan tanpa keterlibatan dua pihak itu. Begitu juga penyelundupan dan penjualan minyak Irak dan Suriah oleh teroris Daesh, tidak mungkin terjadi tanpa kerja sama pemerintah negara-negara Barat.
Karena sentimen pasar internasional berada di bawah kendali institusi dan lembaga-lembaga internasional, maka jika mau, mereka bisa dengan mudah menghambat ekspor minyak Timur Tengah lewat tangan kelompok-kelompok teroris.
Dengan demikian, pemindahan anasir-anasir teroris Daesh ke Afghanistan dan Asia Tenggara sebenarnya adalah manuver terukur yang dilakukan para pendukung kelompok teroris itu, terutama Amerika.
Hal itu dilakukan untuk menyebarluaskan ekstremisme dan kekerasan di seluruh penjuru dunia dengan satu tujuan untuk memuluskan penjualan senjata dan meningkatkan kehadiran militer di berbagai wilayah Asia Tenggara. Di sisi lain, pemerintah negara-negara Asia Tenggara mengaku memiliki kapasitas yang diperlukan untuk menumpas teroris.
Taufik Andrie, Direktur Eksekutif Yayasan Prasasti Indonesia mengatakan, apakah kemudian mereka harus mendirikan negara bagian khalifah di Indonesia? Itu proses yang rumit dan energi yang mereka punya saya kira tidak cukup untuk dilakukan secara instan.
Dapat disimpulkan, kekhawatiran Ketua Komite Kontra Terorisme, Dewan Keamanan PBB terkait pemindahan anggota kelompok teroris Daesh ke Asia Tenggara yang tampak dalam laporannya, perlu mendapat perhatian serius, dilihat dari beberapa sudut pandang.
Pertama, publikasi laporan semacam ini meningkatkan kekhawatiran di wilayah Asia Tenggara sendiri dan membuka peluang peningkatan kerja sama keamanan Amerika dengan negara-negara kawasan itu.
Kedua, pemerintah negara-negara Barat sedang membesar-besarkan ancaman dan bahaya Daesh di Asia Tenggara, karena pasca kekalahan kelompok teroris itu di Irak dan Suriah, secara praktis operasi teror Daesh di tempat lain, kemungkinannya lebih kecil.
Selain itu, di tempat lain negara-negara kawasan harus melakukan koordinasi lebih besar untuk mencegah reorganisasi Daesh di wilayah-wilayah dimana Barat tidak punya dominasi atas pasar keuangan dan bisnis.
Ketiga, negara-negara Barat sedang berusaha menjadikan kawasan teraman di dunia yaitu Asia Tenggara sebagai target teroris, sehingga membuka jalan bagi Amerika untuk mengerahkan pasukannya ke Asia Timur khususnya Asia Tenggara.
Larisa Efimova, pakar sejarah di Institut Hubungan Internasional Moskow, Rusia menuturkan, pemerintah Barat mengklaim bahwa kawasan Asia Tenggara dengan posisi geografisnya yang memiliki minimal 6.000 pulau kecil tak berpenghuni, adalah kawasan yang sangat strategis bagi kelompok teroris.
Padahal, pulau-pulau tersebut dinilai tidak bisa ditinggali oleh manusia dan kemungkinannya kecil untuk dijadikan pangkalan para teroris, karena medannya yang sulit dilalui.
Bagaimanapun juga, peringatan Ketua Komite Kontra Terorisme, DK PBB terkait pemindahan teroris Daesh ke Asia Tenggara dapat menjadi genderang bahaya bagi pejabat bidang keamanan dan militer negara-negara kawasan itu.
Di sisi lain, masyarakat internasional berharap DK PBB memainkan peran yang lebih konstruktif dan nyata untuk mencegah transit teroris dan pemindahan mereka ke seluruh wilayah dunia.
Hal ini jelas bertentangan dengan tujuan negara-negara Barat yang ingin memanfaatkan instabilitas dan ketidakamanan di seluruh penjuru dunia untuk kepentingannya. Salah satu buktinya adalah kinerja Amerika dalam melawan ekstremisme dan terorisme di Afghanistan yang justru kontraproduktif.