Tantangan ASEAN 2019
-
Bendera negara-negara anggota ASEAN
Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara (ASEAN) merupakan pemain ekonomi terbesar keenam dunia di tahun 2018 saat ini memiliki populasi sekitar 660 juta orang. Memasuki bulan pertama di tahun 2019, negara-negara anggota ASEAN menghadapi berbagai tantangan besar.
Tulisan ini berupaya menelisik sejumlah tantangan besar dan penting yang dihadapi ASEAN di antaranya mengenai persaingan antara Cina dan AS yang berdampak terhadap negara-negara ASEAN, pemilu, krisis Rohingya di Myanmar, serta bencana alam yang menimpa sejumlah negara kawasan tersebut.
Sengketa dagang antara Cina dan AS menjadi tantangan penting dari negara-negara anggota ASEAN di tahun 2019. Dengan mempertimbangkan sekitar 89 persen dari produksi dan perdagangan di negara-negara anggota ASEAN merupakan perusahaan skala kecil dan menengah, maka mereka rentan terhadap krisis regional dan global, termasuk sengketa dagang yang terus berlanjut antara AS dan Cina.
Kesepakatan parsial yang dicapai antara Cina dan AS pada Desember lalu untuk sementara waktu bisa meredam memanasnya persengketaan kedua pihak. Tapi akar masalahnya belum tuntas, sehingga sewaktu-waktu bisa kembali meledak.

Pakar keamanan maritim di Nanyang Technological University, Collin Koh, mengungkapkan bahwa ketegangan di antara kedua negara memang sementara waktu cukup mereda, terutama soal perang dagang. Tapi, UU Asia Reassurance Initiative Act yang belum lama ini disahkan bisa berpotensi memberikan dampak negatif terhadap hubungan kedua negara.
Dengan undang-undang tersebut, AS berambisi akan mengukuhkan komitmen keamanan dengan para sekutunya dan akan mengalokasikan dana sebesar 1,5 miliar dolar AS per tahunnya untuk meningkatkan pengaruhnya di kawasan Asia dalam 5 tahun ke depan. Selain itu, mereka juga akan membangun kerja sama keamanan dengan sejumlah negara di Asia Tenggara.
Moe Thuzar, Peneliti senior ASEAN Studies Center di ISEAS, mengatakan ASEAN bersikap sangat berhati-hati tidak hanya terhadap inisiatif sabuk dan jalan Cina, tapi juga terhadap dua kekuatan besar yang tengah berseteru di tingkat global tersebut.
“Saya tidak berpikir masyarakat Asia Tenggara - atau ASEAN- ingin berpihak, tetapi mereka sadar bahwa kepentingan AS dan Cina di wilayah ini lebih pada tabrakan daripada persaingan,” ujar Moe, dilansir South Cina Morning Post (SCMP).
Bagaimanapun masalah ini masih menjadi tantangan besar bagi ASEAN di tahun 2019. Selain itu, isu ini menambahkan masalah yang menumpuk sebelumnya, terutama friksi wilayah antara negara-negara anggota ASEAN dengan Cina.
Mengenai masalah ini, Ishtiaq Pasha Mahmood, profesor NUS Business School, Singapura kepada kantor berita Reuters mengatakan, klaim Cina mengenai kepemilikan wilayah bersinggungan dengan klaim Brunei, Malaysia, Filipina dan Vietnam.

Perebutan wilayah strategis ini tidak bisa dilepaskan dari besarnya sumber daya alam, terutama minyak dan gas yang berada di wilayah tersebut. Sebuah sumber media melaporkan kawasan Cina Laut Cina Selatan menyimpan 213 miliar barel minyak dan 190 triliun meter kubik gas.
Tahun 2019 akan menjadi momentum penting bagi finalisasi kesepakatan kerja sama antara ASEAN dengan enam negara besar dunia yaitu Cina, India, Jepang, Australia, Selandia Baru dan Korea Selatan. Analis The ASEAN Post mengungkapkan, pada anggota ASEAN di tahun 2018 telah bertemu untuk membahas masalah peran aktif kerja sama ekonomi regional dengan enam mitra, tapi tidak berhasil menyelesaikan finalisasi kesepakatan bersama itu. Tahun ini masalah tersebut akan menjadi isu penting ASEAN. Kesepakatan ini beruapaya dicapai di saat kecaman terhadap perdagangan bebas di dunia semakin tinggi frekuensinya.
Jika kesepakatan ini bisa dicapai, maka akan menjadi kesepakatan terpenting tidak hanya bagi kawasan Asia Tenggara tapi juga dunia.
Isu lain yang juga menjadi tantangan ASEAN mengenai ancaman terorisme, terutama Daesh yang memiliki sejarah kelam di wilayah selatan Filipina. Isu tersebut membutuhkan kesiagaan para pemerintah dan masyarakat di kawasan Asia Tenggara, terutama di negara dengan mayoritas penduduknya Muslim seperti Indonesia dan Malaysia.
Selain itu, beberapa negara ASEAN di tahun 2019 akan menggelar pemilu yang akan menentukan masa depan politik di negara-negara tersebut.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) Thailand mengumumkan akan menggelar pemilu pada 24 Februari 2019. Bersamaan dengan itu, junta militer telah mencabut larangan aktivitas politik yang diterapkan pasca kudeta 2014.
Sebelum ini, junta militer Thailand menyatakan larangan ini diberlakukan demi menjaga ketertiban dan keamanan serta mewujudkan reformasi. Kini partai-partai politik Thailand dapat melakukan aktivitas kembali untuk mempersiapkan kehadiran rakyat dalam pesta demokrasi.
Jenderal Prayuth percaya bahwa program reformasi ekonomi Thailand sudah berjalan dengan baik selama empat tahun terakhir. Oleh karena itu tahun ini iklim politik Thailand sudah dipandang kondusif untuk menggelar pemilu Namun, junta militer dengan mengubah undang-undang tertentu sudah beberapa kali menunda pelaksanaan pemilu di negara Asia Tenggara itu.

Dari Indonesia, salah satu negara terpenting di ASEAN ini akan menggelar pesta demokrasi di tahun 2019. Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 akan digelar serentak pada 17 April 2019. Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah melakukan rekapitulasi nasional Daftar Pemilih Sementara (DPS) untuk dalam dan luar negeri. Hasilnya, sebanyak 186 juta orang lebih tercatat sebagai pemilih sementara untuk pemilu 2019.
Peserta pemilu akan memilih calon anggota parlemen dan juga capres RI. KPU menyatakan pihaknya dari tingkat KPU pusat hingga provinsi dan kabupaten/kota sudah siap menyelenggarakan pemilu 2019. Pemungutan suara akan dilakukan di 34 provinsi dan 514 kabupaten/kota di Indonesia. Sementara pemungutan suara di luar negeri untuk WNI dilakukan dalam rentang waktu 8-14 April 2019.
Banyak analis menilai kemenangan petahanan Joko Widodo yang berpasangan dengan KH Maruf Amin berpeluang lebih besar dibandingkan rivalnya, Prabowo dan Sandi dalam meraih kemenangan di polpres tahun ini. Sejak jauh hari sebelum penyelenggaraan pemilu, momentum penting demokrasi ini dibayangi dengan menguatnya politik identitas dan friksi SARA yang terus mengkristal.

Isu krisis Rohingya juga masih menjadi masalah penting bagi ASEAN di tahun 2019. Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyampaikan kekhawatirannya menyikapi babak baru aksi penumpasan militer Myanmar terhadap Muslim Rohingya. Seperti dilaporkan CNN, PBB menyatakan, babak baru penumpasan oleh militer di Myanmar dikhawatirkan akan berujung terulangnya peristiwa berdarah tahun 2017 dan pengungsian lebih dari 700 ribu warga Muslim Rohingya.
Pemerintah Myanmar tahun 2017 menjadikan serangan ke pos polisi sebagai alasan untuk menarget Muslim Rohingya. PBB menyebut aksi militer Myanmar beserta ekstremis Budha tersebut sebagai genosida. Publik dunia berharap ASEAN bisa memainkan peran signifikan dalam penyelesaian masalah krisis Rohingya dengan menekan pemerintahan Myanmar supaya memulihkan kondisi buruk yang menimpa minoritas Muslim Rohingya di negara itu.(PH)