Setahun Pasca AS Keluar dari JCPOA
(last modified Mon, 06 May 2019 09:09:32 GMT )
May 06, 2019 16:09 Asia/Jakarta
  • JCPOA dan Donald Trump
    JCPOA dan Donald Trump

Keputusan Presiden Amerika Serikat Donald mengumumkan penarikan negaranya dari JCPOA memasuki usia setahun pada 8 Mei 2019.

Setahun lalu, Trump dalam pidatonya yang berlangsung 11 menit menyatakan negaranya akan keluar dari kesepakatan nuklir nuklir JCPOA yang disepakati tahun 2015, dan akan menjatuhkan kembali  sanksi nuklir terhadap Iran.

 

 

Keluar dari JCPOA, Amerika Serikat Mencari Apa ?

JCPOA merupakan hasil dari interaksi intensif yang berbuah kesepakatan bersama antara Iran dengan enam negara besar dunia yaitu, lima anggota tetap Dewan Keamanan PBB ditambah Jerman.

Donald Trump menggambarkan Iran sebagai pendukung terorisme internasional dan pengganggu kestabilan kawasan. Ia menilai JCPOA tidak bisa mendukung Amerika Serikat untuk menghentikan ambisi Iran mengejar senjata nuklir.

 

Tetapi, siapa sebenarnya yang berambisi dengan senjata nuklir?

Presiden Amerika Serikat, Donald Trump adalah orang yang mengumumkan keluarnya AS dari traktat non-proliferasi nuklir.

Bulletin of the Atomic Scientists dalam laporan terbarunya menulis bahwa Amerika Serikat memiliki sekitar 3.800 hulu ledak nuklir, sekitar setengahnya dipasang pada rudal balistik dan pembom strategis. Menurut para peneliti, 1.300 hulu ledak tersebut dipasang di rudal balistik antarbenua, 300 dipasang di pembom strategis yang ditempatkan di pangkalan militer AS dan 150 bom nuklir lainnya ditempatkan di pangkalan militer negara-negara Eropa.

 Dengan sepak terjang seperti itu, siapa yang mengamini langkah AS keluar dari JCPOA ?

 Satu-satunya pendukung keputusan itu adalah rezim Zionis Israel dan Arab Saudi.

Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, Federica Mogherini mengatakan bahwa JPOA adalah hasil dari upaya diplomasi selama 12 tahun dan perjanjian  ini  menjadi milik seluruh dunia. Pejabat tinggi Uni Eropa ini menyerukan supaya Republik Islam Iran menolak siapa pun yang berupaya untuk merusak perjanjian tersebut.

 

Pengumuman AS keluar dari JCPOA sebagai perang psikologis untuk tekanan ekonomi Iran, ataukah pemicu awal dari perang?

 
Amerika Serikat menuding Iran tidak mematuhi resolusi PBB mengenai rudal balistik. Masalah ini dijadikan dalih oleh Trump untuk mengumumkan negaranya keluar dari JCPOA dan kembali menjatuhkan sanksi baru terhadap Iran.
 
Pakar politik AS James Walsh mengatakan: 
 
"... masalahnya sederhana, program nuklir Iran menjadi bahan tudingan komunitas intelijen Amerika selama bertahun-tahun. Tetapi mereka tidak pernah memberikan bukti satupun yang menunjukkan bahwa Iran memiliki program senjata rahasia. Tetapi ketika kesepakatan (JCPOA) tercapai, media tidak pernah memperhatikan aspek klaim ini dengan mengungkapkan bahwa semua klaim tersebut palsu belaka,".

Setelah 12 tahun berbohong dan menuding Iran, Mike Pompeo, mantan direktur CIA yang kini menjabat sebagai menteri luar negeri AS dalam sidang uji kelayakannya sebagai menteri mengakui bahwa klaim mengenai senjata nuklir Iran keliru, dan mengatakan, "Sebelum perjanjian nuklir, tidak ada indikasi Iran membuat senjata nuklir, dan tidak ada bukti di tangan bahwa tanpa penandatanganan JCPOA, Iran meraih kekuatan seperti itu. " Oleh karena itu, klaim AS selama ini mengenai senjata nuklir Iran dan pelanggaran Washington terhadap JCPOA hanyalah alasan untuk memeras Iran.

Mempertimbangkan berbagai skenario yang diambil AS terhadap Iran setelah keluar dari JCPOA, muncul pertanyaan besar, apakah Washington sebenarnya ?. Jawabannya sangat jelas. Tujuan utama Amerika Serikat untuk  mendominasi kembali Iran yang dahulu berada dalam cengkeramannya.

Kini, Trump menghubungkan semuanya dengan kata "harus", padahal era dominasi intimidatif AS telah lama berakhir.

Trump sekarang tahu benar bahwa negaranya di arena global tidak memiliki dukungan internasional untuk mengambil tindakan melampaui hukum di JCPOA. Oleh karena itu, sejak setahun lalu ia melanjutkan permainan rumitnya dengan memasuki rawa yang akan menenggelamkan dirinya sendiri bersama sekutunya. Dalam situasi demikian, para sekutu AS tahu benar kebijakan Trump sebagai tindakan bodoh, karena tidak memiliki masa depan yang terang dan merugikannya.

Amerika Serikat secara licik berusaha untuk terlihat tidak melanggar prinsip perjanjian multilateral ini, tetapi membatalkannya tanpa alasan rasional tidak dapat diterima. AS melakukan kesalahan kalkulasi, karena Iran tidak melakukan kesalahan apa pun dalam masalah nuklir. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) juga mendukung implementasi damai program nuklir Iran, dan berulangkali dalam berbagai laporannya menunjukkan komitmen penuh Iran tehadap JCPOA.

Abdul-Bari Atwan, seorang analis Arab menjelaskan:

"... Hasil keputusan Amerika untuk menarik diri dari perjanjian nuklir atau mematuhinya untuk Timur Tengah (Asia Barat), terutama Teluk Persia akan sangat penting ... Tampaknya AS tidak akan menang dalam perselisihan ini, karena konstelasi internasional saat ini telah berubah. Reputasi Amerika Serikat sebagai negara adidaya dan menghormati perjanjian yang telah ditandatanganinya telah menurun, sehingga masalah ini semakin memperdalam keterisolasian AS."

Pada tahun 1996, Amerika Serikat memberlakukan sanksi terhadap Iran yang dikenal dengan sebutan hukum D'Amato. Di bawah undang-undang itu, perusahaan minyak tidak diizinkan untuk berinvestasi lebih dari 40 juta dolar, dan kemudian, 20 juta di Iran. Tetapi setelah beberapa tahun, aturan ini diabaikan oleh pihak Eropa dan diplomasi Iran.

Sepak terjang AS terhadap Iran selama empat puluh tahun terakhir dengan melanjutkan intervensinya. Untuk mempertahankan kepentingan dominasinya di kawasan, Amerika Serikat menggunakan segala cara, seperti perang, kudeta, boikot, perusakan, pembunuhan, ancaman, dan tuduhan terhadap negara lain dalam mengejar tujuan jahatnya. Kini, mereka menggunakan metode yang sama dalam bentuk skenario baru terhadap Iran.

Ayatullah Khamenei, Pemimpin Tertinggi Revolusi dalam pertemuan dengan para komandan Korps Pengawal Revolusi Islam Iran menyinggung ketidakpercayaan penuh terhadap Amerika Serikat sebagai hasil dari pemikiran rasional  dan kedalaman berpikir serta pengalaman yang matang. Rahbar berkata, "Masalah permusuhan AS terhadap Iran kita saksikan selama bertahun-tahun pasca kemenangan revolusi dan negosiasi nuklir serta masalah lainnya, ".

AS kembali melakukan kesalahan masa lalunya. Gedung Putih mempermasalahkan kekuatan rudal sebagai komponen penting dalam pertahanan dan pencegahan Iran, serta memberlakukan intensifikasi sanksi yang ditujukan untuk menyerang perekonomian Iran. Amerika Serikat memfokuskan upayanya untuk mengganggu keamanan dan stabilitas Iran.Tujuan lain Amerika Serikat adalah melemahkan peran regional Iran serta merusak hubungan regional dan internasional Iran, tetapi selama ini senantiasa gagal.

Kini, sanksi nuklir AS kembali dijatuhkan terhadap Iran setelah tercapai kesepakatan bersama antara Iran dan kelompok 5+1. Amerika Serikat semakin agresif mengerahkan segenap dayanya untuk mengisolasi Iran di arena internasional. Bahkan, Amerika Serikat menutup jalan bagi pengiriman bantuan kemanusiaan untuk orang-orang Iran yang dilanda banjir, suatu tindakan yang masuk kategori "terorisme ekonomi ".

Pemerintah AS mengirim pesan ini ke dunia, yang akan meningkatkan tekanan sanksinya terhadap Tehran supaya Iran bertekuk lutut. Tapi, banyak analis memandang Iran sebagai negara yang kuat dengan perencanaan strategisnya yang matang. Iran dengan kemampuan militer, termasuk rudalnya, bisa mengendalikan situasi yang membuat dirinya tidak akan menyerah terhadap lawan.

Pusat Studi Internasional dan Strategis dalam sebuah laporan tentang kebijakan pemerintah AS tentang Iran menulis, "Pendekatan ini alih-alih memperkuat Amerika Serikat di Timur Tengah justru sebaliknya melemahkan posisinya di kawasan dan semakin menjauhkan dari  sekutunya. Iran selama beberapa tahun terakhir menggunakan kekuatannya yang tidak memungkinkan kekuatan lain bisa meraih tujuan mereka di kawasan,".

Abdel Bari Atwan, seorang analis politik mengungkapkan:

"... Trump menjalankan bagian utama dari sanksi (larangan ekspor minyak), dengan tujuan untuk merusak stabilitas Iran. Tetapi tindakan ini menyulut api yang akan  memprovokasi Israel. Namun masalah yang menarik justru Arab Saudi dan negara-negara lain yang lebih rentan terbakar".

Mayor Jenderal Mohammad Bagheri, Kepala Staf Umum Angkatan Bersenjata Iran menanggapi ancaman AS menutup rute ekspor minyak Iran, dengan mengatakan, "Jika Iran tidak diperbolehkan melintasi Selat Hormuz, maka negara-negara lain juga tidak akan bisa melintasi Selat Hormuz,".

Sekarang dunia sedang menunggu untuk melihat bagaimana langkah AS selanjutnya. Apa yang akan dilakukan Amerika Serikat setelah genap setahun pengumuman keluar dari JCPOA? (PH)