Perang Minyak Saudi vs Rusia dan Dampaknya terhadap AS
(last modified Tue, 07 Apr 2020 10:37:16 GMT )
Apr 07, 2020 17:37 Asia/Jakarta
  • tren penurunan harga minyak global
    tren penurunan harga minyak global

Perang harga minyak antara Rusia dan Arab Saudi yang terjadi setelah OPEC dan produsen lain yang dipimpin Rusia gagal memperpanjang kesepakatan pembatasan produksi memicu anjloknya harga minyak ke titik terendah dalam 18 tahun terakhir.

Kegagalan perjanjian tiga tahun antara OPEC dan produsen utama minyak non-OPEC, termasuk Rusia untuk memangkas produksi memicu babak baru perang minyak antara Arab Saudi dan Rusia. Harga minyak dunia turun sekitar dua pertiga pada tahun 2020 karena turunnya permintaan akibat penyebaran virus corona serta perang harga peningkatan produksi minyak antara Arab Saudi dan Rusia.

Moskow berulangkali menyalahkan Riyadh atas perubahan harga minyak di pasar global saat ini, dan menyerukan perubahan dalam pendekatan Saudi terhadap minyak dan harganya.

Pada Jumat lalu, Presiden Rusia, Vladimir Putin dalam pertemuan melalui video conference dengan para pejabat pemerintah dan produsen minyak utama Rusia, mengatakan penyebab utama anjloknya harga minyak adalah dampak wabah COVID-19 terhadap permintaan. "Penyebab kedua karena keluarnya Arab Saudi dari kesepakatan pemangkasan produksi OPEC+, yang disertai dengan peningkatan produksi mereka dan penawaran diskon harga minyak," ujarnya.

Sebaliknya, Riyadh segera membantah klaim Putin dan menuding Moskow sebagai pemicu kekacauan di pasar minyak global. Menteri Energi Saudi, Pangeran Abdulaziz bin Salman mengatakan, menteri energi Rusia adalah orang pertama yang berbicara kepada media bahwa semua negara yang tergabung dalam kesepakatan pembatasan produksi OPEC+, akan dibebaskan dari komitmen mereka mulai dari 1 April. Hal ini mendorong negara-negara produsen minyak untuk meningkatkan produksinya.

 

 

Terlepas dari pihak mana yang bersalah sebagai pemicu anjloknya harga minyak di pasar global, OPEC Plus sedang bernegosiasi untuk mengurangi produksi minyak sebesar 10 persen dari permintaan global, atau 10 juta barel per hari yang belum pernah terjadi sebelumnya. Negara-negara anggota OPEC berharap langkah ini akan melibatkan produsen non-OPEC seperti Amerika Serikat. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov menekankan bahwa Moskow sedang meretas jalan untuk mencapai pembicaraan konstruktif dalam kerangka OPEC Plus mengenai stabilitas harga di pasar minyak dunia.

Sejumlah anggota OPEC Plus telah mengumumkan kesiapan mereka dalam hal ini. Norwegia, produsen minyak dan gas terbesar di Eropa mengatakan akan mempertimbangkan untuk mengurangi produksi minyaknya jika produsen utama minyak dunia sepakat untuk melakukan pembatasan produksinya. Menteri Perminyakan dan Energi Norwegia Tina Bru hari Minggu (5/42020l) mengatakan, "Jika sekelompok besar produsen setuju untuk memangkas produksinya secara signifikan, Norwegia akan mempertimbangkan pemangkasan sepihak jika langkah itu mendukung manajemen sumber daya dan ekonomi kami."

Rusia dan Arab Saudi sebagai dua pemain minyak utama memiliki logika sendiri dalam melanjutkan perang harga minyak. Dari sudut pandang Rusia, perang minyak ini akan menyebabkan penurunan harga minyak yang belum pernah terjadi sebelumnya dan akhirnya akan menciptakan kebangkrutan perusahaan minyak serpih di Amerika Serikat. 

Sementara itu, Arab Saudi memandang peningkatan produksi minyak, meskipun mengalami penurunan harga, akan meningkatkan pendapatan Arab Saudi dan mencegah defisit anggaran negara yang terus membengkak. Namun, jika tujuan Riyadh meningkatkan pasokan minyaknya untuk menekan Rusia supaya mengikuti tuntutan Arab Saudi, maka masa;ah ini akan menimbulkan ancaman serius terhadap produksi minyak serpih AS. Minyak serpih AS tidak dapat bersaing di pasar dunia karena tingginya biaya produksi. 

 

Presiden AS, Donald Trump

 

Pemerintahan Trump melihat tren saat ini merugikan sektor perminyakan AS, yang sekarang menempati peringkat pertama di dunia dalam hal produksi minyak dan ingin menjadi salah satu pengekspor minyak utama di masa depan. Amerika Serikat telah menjadi produsen minyak terbesar di dunia sejak 2018. Pada Maret 2020, Amerika Serikat memproduksi 13 juta barel minyak mentah, meskipun harga minyak turun. Jumlah tersebut mengalami kenaikan 150 persen lebih banyak dari tahun 2011.

Presiden AS memiliki sikap ambigu dalam perang harga minyak. Di satu sisi, Trump mendukung penurunan harga minyak untuk konsumen AS sehingga mereka akan mendukungnya dalam pemilihan presiden November 2020. tapi di sisi lain, berlanjutnya penurunan harga minyak akan menyebabkan perusahaan minyak serpih menderita kebangkrutan. Oleh karena itu, Trump melakukan mediasi antara Moskow dan Riyadh, karena Amerika Serikat bisa menjadi korban utama perang minyak saat ini.

Secara khusus, hilangnya kapasitas produksi minyak serpih di Amerika Serikat akan membuat Washington bergantung lagi pada minyak Asia Barat. Padahal Trump sebelumnya mengatakan bahwa negaranya, "tidak lagi membutuhkan minyak Asia Barat." Sementara tren sektor minyak saat ini menunjukkan  ancaman kebangkrutan perusahaan-perusahaan minyak serpih. Sementara membuka kran impor minyak akan menjadi berita buruk bagi Trump menjelang pemilihan presiden AS.

Rusia ingin bekerja sama dengan anggota OPEC lainnya demi mencapai kesepakatan mengenai produksi dan ekspor minyak global, sehingga keseimbangan pasar minyak dapat dibangun kembali dan harga minyak kembali naik. Sementara itu, Saudi bersikeras akan terus meningkatkan produksi minyak untuk mempertahankan pasar mereka. Arab Saudi berdalih, jika mengurangi produksi lagi untuk meningkatkan harga minyak, maka Rusia akan meningkatkan produksinya sebanyak yang mereka bisa alkukan untuk mendapatkan lebih banyak pangsa pasar. Sebab, Moskow berupaya meningkatkan produksinya untuk menggagalkan rencana AS merebut pasar minyak internasional Rusia.

Arab Saudi perlu menaikkan produksi minyak karena ketergantungan pendapatan nasionalnya terhadap minyak. Sementara Rusia berupaya menghentikan perusahaan minyak serpih AS yang menjadi pesaing utama di pasar internasional. Dengan demikian, tindakan Saudi pada akhirnya akan menguntungkan Rusia dan merugikan produsen minyak serpih di Amerika Serikat. Dalam hal cadangan devisa negara Rusia dan Saudi, yang merupakan dukungan penting menghadapi pengaruh anjloknya harga minyak global, cadangan devisa negara rusia untuk pertama kalinya dalam satu dekade terakhir melampaui Arab Saudi. Rusia dapat mencegah defisit anggarannya dengan harga minyak $40 perbarel, tapi  Arab Saudi hanya bisa menjaganya di level harga $80 perbarel.

 

 

Penyulingan minyak AS

 

Berlanjutnya perang minyak antara Rusia dan Arab Saudi yang bersamaan dengan penurunan harga minyak yang  di pasar internasional telah menimbulkan kekhawatiran dunia. Negara-negara berpengaruh telah menyerukan agar keluar dari situasi yang bergejolak saat ini. AS secara khusus sangat prihatin dengan situasi saat ini di pasar minyak dan ingin mengakhirinya. 

Donald Trump pada 1 April mengatakan bahwa dia baru-baru ini berbicara dengan para pemimpin Arab Saudi dan Rusia dan percaya bahwa kedua negara akan sepakat dalam beberapa hari ke depan untuk mengakhiri perang harga mereka dan memperkuat harga dengan mengurangi produksinya. Sebelumnya, pemerintahan Trump mengatakan pihaknya bermaksud mengirim utusan khusus ke Riyadh untuk membujuk agar negara ini mengurangi produksi minyaknya. Pada saat yang sama, Rusia ingin Amerika Serikat bekerja sama untuk meningkatkan harga minyak. Presiden Rusia Vladimir Putin dan Menteri Energi Rusia Alexander Novak pada 5 April menyerukan pengurangan 10 juta barel produksi minyak anggota dan non-anggota OPEC, termasuk Amerika Serikat demi menyeimbangkan harga minyak global.

Ketika ketegangan antara Rusia dan Arab Saudi meningkat mengenai siapa yang harus disalahkan atas penurunan harga minyak global yang belum pernah terjadi sebelumnya, OPEC dan Rusia menunda pertemuan darurat pada Senin (6/4/2020) untuk membahas pengurangan produksi minyak hingga 9 April mendatang. Amerika Serikat dan Kanada telah mengancam akan mengenakan tarif baru terhadap minyak Saudi dan Rusia. Pertemuan OPEC Plus ditunda karena Presiden AS Donald Trump menekan produsen OPEC dan non-OPEC, termasuk Rusia, untuk mengambil tindakan efektif demi menstabilkan harga minyak di pasar dunia.

"Jika Arab Saudi dan Rusia tidak mengurangi produksinya dengan cepat, maka tarif akan menjadi salah satu alat yang tersedia," kata Trump pada hari Sabtu, 4 April 2020. Masalah ini akan menimbulkan ketegangan baru antara Washington dengan sekutu utamanya di Asia Barat tersebut. Terlepas dari tekanan-tekanan ini, kesepakatan antara Arab Saudi dan Rusia sebagai eksportir minyak terbesar dunia untuk menyeimbangkan harga minyak pasar global sangat sulit karena kepentingan mereka yang saling bertentangan.

Tampaknya, jika Rusia dan Arab Saudi terus bertahan dan saling menyalahkan pihak lain atas situasi di pasar minyak saat ini, maka krisis penurunan harga minyak akan terus berlanjut. Hal ini akan membuat Washington marah dan akan memicu langkah tekanan Amerika Serikat terhadap Rusia dan Arab Saudi. Dengan demikian, prospek minyak dunia akan dipengaruhi oleh perbedaan yang tajam antarsesama produsen dan eksportir utama minyak dunia, fluktuasi harga minyak dan reaksi langsung terhadap masalah ini, serta masuknya faktor-faktor dan variabel baru di sektor minyak.(PH)