Tekanan Maksimum AS dan Perlawanan Maksimum Iran (1)
Okt 14, 2020 18:30 Asia/Jakarta
Amerika Serikat pasca keluar dari kesepakatan nuklir Rencana Aksi Komprehensif Bersama, JCPOA pada Mei 2008, dalam kerangka strategi tekanan maksimum, menerapkan sanksi paling keras, dan luas terhadap Iran, dan dalam beberapa waktu menerapkan sanksi baru.
Pemerintah Presiden Donald Trump mengira akan berhasil memaksa Iran menyerah di hadapan 12 tuntutan Amerika yang disampaikan Menteri Luar Negeri Amerika Mike Pompeo pada Mei 2008. Pompeo mengumumkan daftar 12 tuntutan Amerika terhadap Iran sebagai prasyarat perundingan Washington-Tehran, namun hal ini dianggap banyak analis dan media sebagai kelakar.
Dalam tuntutannya Amerika meminta Iran menghentikan total program nuklir, menghentikan dan membatasi program rudal, serta mengakhiri intervensi regionalnya. Pada kenyataannya, tuntutan Amerika yang disampaikan Pompeo ini berarti bahwa Iran harus menyerah sepenuhnya di hadapan Amerika.
Meski demikian perlawanan luar biasa rakyat Iran di hadapan sanksi, menyebabkan pemerintah Trump putus asa, dan dengan aksi-aksi provokatif seperti memasukkan nama Korps Garda Revolusi Islam Iran, IRGC ke daftar organisasi teroris, ia menjustifikasi teror terhadap Letjend Qassem Soleimani, Komandan Pasukan Qods, IRGC, dan sanksi jangka panjang terhadap Iran, dan terkadang menerapkan sanksi baru terhadap individu atau instansi dengan beragam dalih.
Donald Trump percaya dengan memaksakan sanksi terkeras terhadap Iran yang tidak pernah terjadi sepanjang sejarah, Tehran akan terpaksa duduk di meja perundingan, dan ia akan mendapatkan kesepakatan baru dengan Iran. Trump yang mengatakan bahwa Iran sedang berusaha mempertahankan JCPOA minus Amerika, mengira bahwa Tehran akhirnya terpaksa untuk menandatangani kesepakatan baru dalam perundingan dengan Amerika. Namun melihat rekam jejak perseteruan Iran dan Amerika selama 40 tahun kita menyadari bahwa Iran tidak pernah tunduk pada tekanan sanksi Amerika.
Pada saat yang sama Amerika menyadari dengan baik kekuatan militer pencegahan Iran, dan tahu bahwa segala bentuk petualangan militer terhadap Iran harus memakan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu Amerika berusaha mencapai tujuan anti-Iran melalui penerapan sanksi semi keras yaitu kekuatan ekonomi dalam bentuk sanksi paling ketat terhadap Iran.
Dengan memperhatikan peningkatan sanksi Amerika terhadap Iran dalam dua tahun terakhir, dan beberapa bulan lalu, kita menyaksikan bahwa sanksi-sanksi ini tidak hanya terbatas pada dimensi ekonomi, perdagangan dan perbankan saja. Saat ini Amerika, di semua bidang yang terkait dengan Iran termasuk politik, hak asasi manusia, peradilan, siber, nuklir dan lainnya, menerapkan sanksi terhadap individu dan instansi, dan terkadang menerapkan sanksi baru.
Di sisi lain pemerintah Amerika juga berusaha keras untuk mengembargo senjata Iran, yang menurut klaimnya sudah berlaku seiring berlakunya sanksi internasional terhadap Iran pada 20 September 2020. Meski demikian, pemerintah Amerika terutama dalam beberapa bulan terakhir dikarenakan gagalnya strategi ini, dan langkahnya meningkatkan ketegangan dengan Iran, menuai protes luas di dalam negeri.
Senator dari Partai Demokrat, Chris Murphy memprotes kebijakan ekstrem Trump terhadap Iran dan mengatakan bahwa kebijakan semacam itu hanya akan memperkuat Iran saja. Di akun Twitternya, Murphy menulis, kebijakan Trump terkait Iran tidak membuahkan hasil apapun selain bahwa Iran malah bertambah kuat, dan Amerika semakin lemah.
Salah satu dimensi terpenting strategi sanksi Iran, adalah upaya terus menerus Amerika untuk memperpanjang embargo senjata Iran dalam satu setengah tahun terakhir, namun tidak pernah berhasil. Embargo senjata Iran berdasarkan resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB akan berakhir pada 18 Oktober 2020, maka dari itu pemerintah Trump bersikeras, berdasarkan resolusi 2231 DK PBB, Amerika masih anggota kesepakatan nuklir JCPOA, dan mengklaim bahwa sanksi Iran diberlakukan kembali berdasarkan mekanisme Snapback, sebulan setelah 20 September 2020.
Klaim penuh gegap gempita pemerintah Trump ini mendapat penentangan dunia internasional, maka dari itu Washington berusaha membuktikan klaimnya dengan mengumumkan sejumlah sanksi baru terhadap Iran, dan dalam putaran baru sanksi ini, sejumlah individu dan lembaga terkait dengan program senjata Iran, menjadi sasaran sanksi.
Pemerintah Amerika pada 21 September 2020 menjatuhkan sejumlah sanksi baru terhadap beberapa individu, dan lembaga yang terkait dengan program senjata dan rudal konvensional Iran. Donald Trump mengumumkan sanksi terhadap 27 lembaga dan individu terkait dengan jaringan proliferasi Iran, dan mengklaim bahwa jaringan ini merupakan langkah baru untuk membatasi upaya Iran menguasai senjata nuklir, rudal, dan senjata konvensional.
Merujuk pada perintah eksekutif Trump, aset orang-orang yang terlibat dalam upaya memasok, menjual atau memindahkan senjata konvensional Iran, akan dibekukan. Begitu juga orang-orang memberikan pelatihan teknis, dan finansial dalam hal ini, juga masuk dalam sanksi. Menlu Amerika, Mike Pompeo mengumumkan segala bentuk perdagangan dengan Iran akan berhadapan dengan sanksi Amerika.
Hal yang aneh adalah Pompeo mengatakan bahwa Presiden Venezuela Nicolas Maduro, karena mempererat hubungan dengan Iran, masuk daftar sanksi. Departemen Keuangan Amerika selain menerapkan sanksi baru terhadap Iran, dalam kerangka “Blocking Property of Certain Persons with Respect to the Conventional Arms Activities of Iran” pemblokiran aset orang-orang yang terkait dengan aktivitas senjata konvensional Iran, yang merupakan perintah eksekutif baru Trump, menambahkan individu, dan lembaga yang sebelumnya sudah disanksi.
Sejak lama sudah diprediksi, demi menjaga prestise dan membuktikan klaim melanggar hukum terkait kembalinya sanksi internasional terhadap Iran, Amerika menjatuhkan sanksi-sanksi baru terutama di bidang pertahanan, senjata dan nuklir Iran. Upaya Amerika ini sebenarnya dilakukan untuk keluar dari keterkucilan di arena internasional yang disebabkan oleh kebijakan unilateralisme, dan arogan Donald Trump.
DK PBB maupun mayoritas anggota tetapnya, termasuk sekutu Amerika sendiri, yaitu 13 negara dari total 15 anggota DK, menolak klaim Washington soal kembalinya sanksi PBB terhadap Iran, maka dari itu pemerintah Trump terpaksa secara sepihak mengumumkan bahwa sanksi ini mulai berlaku kembali pada 20 September 2020.
Amerika mengklaim bahwa pulihnya sanksi PBB terhadap Iran tidak membutuhkan persetujuan seluruh anggota DK PBB. Alasannya karena bahwa sekutu Amerika sendiri dari Eropa tidak bersedia mendukung negara itu. Utusan khusus Amerika untuk Iran, Elliott Abrams mengatakan Washington putus asa dengan negara-negara Eropa terkait penerapan embargo senjata terhadap Iran.
Pada saat yang sama, Amerika dengan kebijakan ancamannya mengumumkan bahwa setiap negara yang tidak mematuhi sanksi ini, tidak berhak menjalin kerja sama ekonomi dan perdagangan dengan Amerika. Ancaman ini dilakukan untuk mencegah perusahaan-perusahaan senjata, dan produsen peralatan militer atau nuklir, melakukan transaksi dengan Iran.
Bagian terbesar sanksi-sanksi baru Amerika ditujukan untuk mencegah perusahaan-perusahaan dan negara dunia melakukan transaksi jual-beli senjata dengan Iran. Juru bicara Departemen Luar Negeri Amerika, Morgan Ortagus menjelaskan, setiap negara yang ingin menjalin kerja sama perdagangan dan bisnis dengan Amerika, harus mematuhi sanksi terhadap Iran.
Eric Brewer, Wakil Direktur Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyebut perintah eksekutif Trump untuk menerapkan sanksi terhadap Iran, sepenuhnya sandiwara, dan mengatakan, sepertinya banyak dari target sanksi baru adalah individu atau lembaga yang sebelumnya pernah disanksi, selain itu sanksi-sanksi ini bisa diterapkan berdasarkan perintah eksekutif tanpa pemulihan sanksi internasional terhadap Iran.
Upaya baru Amerika ini mendapat penentangan tegas dari Rusia dan Cina, dan Washington menunjukkan bahwa mereka tidak mempedulikan ancaman sanksi Amerika. Washington mengklaim bahwa Moskow dan Beijing bermaksud menjual senjata ke Iran pasca berakhirnya embargo senjata PBB pada 18 Oktober 2020.
Dosen politik University New Hampshire, Kurk Dorsey menyinggung statemen terbaru Mike Pompeo terkait bahwa Amerika akan mencegah penjualan senjata Rusia ke Iran. Ia mengatakan, saya tidak tahu bagaimana Amerika bisa melakukan hal ini, tidak ada negara manapun sekarang yang mempedulikan ancaman-ancaman semacam ini.
Klaim Amerika disampaikan untuk menggambarkan seolah-olah Iran masih tergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan senjatanya, padahal dalam 40 tahun terakhir karena berbagai embargo senjata, Iran tidak punya pilihan lain selain kemandirian dalam negeri, dan berhasil melakukan sejumlah langkah besar di bidang pengembangan berbagai jenis senjata, bahkan sekarang negara ini memiliki potensi signifikan di bidang ekspor senjata.
Di bidang nuklir, Iran juga berhasil memproduksi berbagai jenis peralatan nuklir seperti sentrifugal, dan menunjukkan kepada dunia bahwa ia tetap bisa maju meski disanksi, dan pembatasan tidak menghalangi kemajuan nuklir Iran. Kesimpulannya, sanksi-sanksi baru Amerika tidak menambah sanksi sebelumnya, dan juga tidak menghambat kemajuan menakjubkan Iran di bidang senjata dan nuklir. (HS)
Tags