Standar Ganda Barat dalam Kebebasan Berekspresi
(last modified Wed, 21 Oct 2020 18:37:51 GMT )
Okt 22, 2020 01:37 Asia/Jakarta
  • Tabloid Charlie Hedbo
    Tabloid Charlie Hedbo

Barat mengklaim sebagai pengibar bendera hak asasi manusia, termasuk di bidang kebebasan berekspresi, tapi pada saat yang sama melanggarnya.

Contoh terbaru terjadi di Prancis dengan standar gandanya dalam kebebasan berekspresi. Negara-negara Eropa, khususnya pemerintah Perancis, secara langsung maupun tidak langsung berperan dalam menghasut gerakan anti-Islam demi menangkal kehadiran umat Islam yang semakin meningkat di Eropa dengan tetap diam, bahkan  membela tindakan anti-Islam.

Mengingat negara itu memiliki populasi Muslim terbesar di Eropa, Prancis secara alami telah menjadi sasaran serangan propaganda anti-Islam dalam konteks Islamofobia dan upaya untuk menghancurkan citra Nabi Muhammad Saw.

Kasus baru-baru ini mengenai pembunuhan seorang guru di Prancis bernama Samuel Patty, yang menunjukkan kepada murid-muridnya kartun Nabi Muhammad Saw yang baru-baru ini diterbitkan ulang di majalah Charlie Hebdo di kelas. Dia dibunuh pada malam 16 Oktober di sebuah jalan di kota Conflan-Sainte-Honorine, sekitar 30 km barat laut Paris. Polisi Prancis mengatakan pelaku seorang imigran dari Chechnya berusia 18 tahun.

Patty, yang mengajar sejarah dan geografi di sekolah menunjukkan majalah Charlie Hebdo awal bulan ini dalam diskusi tentang kebebasan berekspresi, dengan menampilkan beberapa kartun yang merendahkan Nabi Muhammad Saw kepada siswa. Dia telah meminta siswa Muslim di kelas untuk meninggalkan kelas jika mereka merasa dilecehkan.

 

Presiden Prancis, Emmanuel Macron

 

Orang tua dari beberapa siswa Muslim mengeluh kepada sekolah tentang perilaku Patty di sekolah, dan guru menerima beberapa pesan ancaman. Presiden Prancis Emmanuel Macron menggambarkan insiden itu sebagai "serangan teroris oleh Islamis" dan mengklaim bahwa guru berusia 47 tahun itu dibunuh karena "mengajarkan kebebasan berekspresi" kepada murid-muridnya.

"Itu adalah serangan terhadap Republik Prancis dan nilai-nilainya, dan perang Prancis melawan terorisme Islam adalah perjuangan eksistensial," kata Macron. Dalam pidatonya, Presiden Prancis tidak menyebutkan motif pembunuh dan penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw. Tak lama setelah kejadian ini, imam Masjid Muslim Bordeaux dan banyak pemimpin Islam di Prancis mengutuknya.

Menteri pendidikan Prancis juga menyebut aksi ini sebagai serangan terhadap Republik Prancis. Langkah itu bertepatan dengan serangan terhadap kantor Charlie Hebdo lima tahun lalu, yang menarik banyak perhatian media dan publik internasional.

Tapi tampaknya ada hal yang terlewatkan dalam hal ini bahwa Macron dan pemerintah Prancis. Mereka bukannya mengambil langkah-langkah untuk mengurangi serangan propaganda terhadap Islam dan Muslim, terutama Nabi Muhammad Saw, tapi membiarkan bahkan mendukungnya atas nama kebebasan berekspresi. Faktanya, dengan pendekatannya saat ini, ia menghasut dan mendorong semakin banyak munculnya gerakan anti-Islam yang mengarah pada reaksi seperti insiden baru-baru ini di pinggiran kota Paris.

 

Charlie Hedbo

 

Pada awal September 2020, Charlie Hebdo menerbitkan ulang karikatur penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw ditambah tulisan provokatif "milik sejarah dan sejarah tidak dapat ditulis ulang atau dihapus."

Faktanya, tindakan penghinaan ini dianggap sebagai tanda kelanjutan dari pendekatan permusuhan terhadap Islam dengan tujuan menghancurkan citra agung dan luhur Nabi Muhammad Saw. Dua belas kartun yang menghina Nabi Islam pertama kali diterbitkan di sebuah surat kabar Denmark pada tahun 2005, dan Charlie Hebdo pertama kali menerbitkan kartun tersebut pada tahun 2006.

Langkah tersebut disambut dengan protes luas oleh umat Islam di seluruh dunia, dan kantornya diserang pasukan bersenjata pada tahun 2015 karena kelalaian, bahkan cemoohan dari stafnya.

Setelah serangan tahun 2015 di kantor Charlie Hebdo, partai-partai sayap kanan seperti Front Nasional, yang dipimpin oleh Marine Le Pen, melihatnya sebagai kesempatan emas untuk melancarkan gerakan menentang Islam sambil mendulang dukungan suara warga Prancis.

Presiden Prancis Emmanuel Macron menyebut penistaan ​​agama sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dalam sebuah pernyataan terang-terangan setelah protes baru-baru ini di dunia Muslim terhadap Charlie Hebdo. "Saya di sini untuk mempertahankan kebebasan ini," klaimnya.

Meski menghina agama sebagai bagian dari kebebasan berekspresi, beberapa negara Barat  mengkriminalisasi orang yang menyangkal peristiwa Holocaust.

Macron telah menggunakan isu kebebasan berekspresi untuk membenarkan tindakan Charlie Hebdo, padahal bertentangan dengan norma internasional, terutama tentang multikulturalisme.

Para ahli menunjukkan pada kontradiksi antara pembelaan Macron atas penghinaan yang dilakukan Charlie Hebdo terhadap agama Islam, dan kaitannya dengan kebebasan berekspresi, padahal perkataan yang mendorong kebencian bertentangan dengan hukum Prancis.

Macron mengklaim bahwa bersama dengan "kebebasan berekspresi, ada kewajiban untuk mencegah ujaran kebencian". Namun, pertanyaannya adalah apakah izin pemerintah Prancis untuk menerbitkan kartun yang menghina Nabi Muhammad Saw oleh Charlie Hebdo dan pembelaan Macron atas fungsi ini bukannya akan meningkatkan kebencian orang Eropa dan kecurigaan mereka terhadap Islam dan Muslim dengan menghadirkan citra yang tidak realistis mengenai Nabi Muhammad Saw. Jelas bahwa dengan berlanjutnya pandangan seperti ini tidak hanya akan meneruskan tindakan ofensif, tetapi juga akan memperluas gerakan anti-Islamis di Eropa dan akan memperluas cakupan tindakannya. 

Menurut Abdul Latif Nazari, seorang politisi dan pakar urusan internasional Afghanistan menilai langkah keji ini tidak hanya melukai hati umat Islam, tetapi juga berkontribusi pada pertumbuhan ekstremisme dan terorisme. Umat ​​Islam berharap pemerintah Prancis tidak membiarkan kebebasan berekspresi menyinggung jutaan Muslim di dunia.

Persoalan penting lainnya di negara-negara Barat, terutama di Eropa yang menunjukkan standar ganda dalam kebebasan bereskpresi mengenai langkah pemerintah Konservatif yang menginstruksikan kepala sekolah dan guru untuk menghapus pelajaran tentang anti-kapitalis dari buku teks. The Guardian menerbitkan sebuah laporan pada 27 September yang mengungkapkan perintah Kementerian Pendidikan Inggris kepada kepala sekolah dan guru untuk melarang pengajaran apapun yang bertentangan dengan kapitalisme.

"Ideologi anti-kapitalis sering mengarah pada posisi politik ekstremis dan meningkatkan kebebasan berekspresi, pembatasan dan tindakan kriminal dan ilegal di masyarakat," tulis The Guardian. "Dalam situasi apa pun sekolah tidak boleh menggunakan sumber daya pendidikan yang disediakan oleh lembaga ekstremis untuk memotivasi  siswa untuk mempelajarinya," tegas media Inggris ini.

Tariq Ali, seorang penulis dan aktivis sosial menyatakan bahwa pada dasarnya keputusan dan pemikiran seperti itu sebagai tanda kemunduran dan kebangkrutan politik dan moral dari arus yang berkuasa di Inggris. Ia menulis, “Kenyataannya di era internet dan media sosial, ada begitu banyak kata yang tidak lebih dari kebodohan daripada negara dan penyensoran yang meluas. Faktanya adalah bahwa hukum semacam itu pada dasarnya tidak efektif. Alasannya sangat sederhana. Jika Anda memasukkan sesuatu ke dalam daftar hal-hal terlarang, maka Anda secara praktis telah mendorong kaum muda yang berada di puncak keingintahuan untuk mempelajarinya.

The Guardian menulis, "Tepat di tengah geografi yang telah mengalami Revolusi Industri dan Pencerahan, sangat sulit memberikan perintah tegas untuk menghapus konten tertentu". Menurut John McDonald, mantan presiden University of Warwick, "Undang-undang dan upaya untuk menegakkannya tidak lebih dari sifat Partai Konservatif,".

Faktanya, dukungan penuh dari pemerintah dan presiden Prancis untuk tindakan anti-Islam dan propaganda penghinaan kepada Nabi Muhammad Saw serta larangan pemerintah Konservatif Inggris untuk mengajarkan materi anti-kapitalis di sekolah-sekolah menunjukkan bahwa pemerintah Eropa dan juga Amerika Serikat menghormati kebebasan berekspresi hanya jika itu untuk kepentingan mereka dan sistem kapitalis, tapi pada saat yang sama melancarkan propaganda negatif melawan pemikiran saingan dan anti-Barat seperti Islam yang dianggap sebagai ancaman mereka. Inilah wajah standar ganda Barat.(PH)