Pertemuan di Jeddah, Saling Melengkapi tapi Melampaui Pertemuan di Kairo
-
Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran Sayid Abbas Araghchi
Pars Today - Penyelenggaraan pertemuan luar biasa para menteri luar negeri negara-negara Islam di Jeddah segera setelah pertemuan darurat para menteri luar negeri dan kepala negara-negara Arab di Kairo menunjukkan bahwa menghadapi rencana pemaksaan migrasi rakyat Gaza dan Tepi Barat memerlukan kerja sama kolektif di tingkat Dunia Islam.
Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran tiba di Jeddah, Arab Saudi, pada Kamis malam, 6 Maret, sebagai kepala delegasi untuk menghadiri pertemuan luar biasa para Menteri Luar Negeri Organisasi Kerja Sama Islam. Ini adalah perjalanan kedua Sayid Abbas Araqchi ke Arab Saudi.
Oktober lalu, dalam kelanjutan perjalanannya ke kawasan, Menlu Iran melakukan perjalanan ke Riyadh untuk membahas situasi di Gaza dan Lebanon dengan pejabat Arab Saudi, dan bertemu dengan Menteri Luar Negeri Faisal bin Farhan dan Putra Mahkota Mohammed bin Salman.
Selain berpartisipasi dalam pertemuan Jeddah dan menyampaikan pidato, Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran bertemu dan melakukan pembicaraan bilateral dengan Hossein Brahim Taha, Sekretaris Jenderal Organisasi Kerja Sama Islam, dan beberapa menteri luar negeri negara anggota.
Pertemuan Organisasi Kerja Sama Islam diselenggarakan dalam rangka menggerakkan dunia Islam untuk secara tegas menghadapi segala konspirasi pengusiran paksa rakyat Palestina dari Gaza, yang tentunya kini juga telah merembet ke Tepi Barat, dan rezim Zionis pun telah memasukkan proses pengusiran paksa rakyat Tepi Barat yang tengah berlangsung ini ke dalam agenda.
Sejak Presiden AS kembali memperkenalkan gagasan Zionis untuk mengusir penduduk Gaza, Sayid Abbas Araghchi telah melancarkan berbagai aktivitas ekstensif untuk menciptakan koordinasi dan kebulatan suara di antara negara-negara Muslim dalam menentang rencana ini.
Selama seminggu, Menteri Luar Negeri Iran mengadakan percakapan telepon dengan menteri luar negeri Tunisia, Mesir, Turki, Pakistan, Gambia, Malaysia, Aljazair, dan Arab Saudi.

Fokus utama konsultasi telepon ini adalah penentangan tegas Tehran terhadap rencana relokasi warga Gaza dan permintaan untuk mengadakan pertemuan darurat Organisasi Kerja Sama Islam guna membahas masalah ini.
Dalam percakapan dengan Sekretaris Jenderal PBB, Menteri Luar Negeri Iran juga menekankan perlunya Umat Islam untuk mengadopsi sikap yang terkoordinasi dan bersatu untuk menggagalkan rencana jahat ini dengan mengatakan, Rencana untuk mengusir paksa warga Palestina dari Gaza bukan hanya merupakan kejahatan besar dan identik dengan "genosida," tapi juga memiliki konsekuensi berbahaya bagi stabilitas dan keamanan kawasan dan dunia, dan Organisasi Kerja Sama Islam harus mengambil keputusan yang tegas dan efektif sesegera mungkin untuk membela hak-hak sah rakyat Palestina dengan mengadakan pertemuan luar biasa yang dihadiri oleh para menteri luar negeri negara-negara anggota.
Menyusul langkah-langkah diplomatik ini, diputuskan untuk mengadakan pertemuan darurat Organisasi Kerja Sama Islam atas saran Republik Islam Iran.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei, pada hari Rabu (6 Maret) mengatakan tentang kebutuhan, rincian, dan agenda penyelenggaraan pertemuan OKI, Tujuan permintaan sidang Menteri Luar Negeri OKI adalah untuk menarik perhatian OKI, sebagai organisasi terpenting di dunia Islam, terhadap masalah yang menjadi perhatian utama masyarakat dan negara-negara Islam, dan itu tidak lain menjadi peringatan tentang bahaya genosida yang terus berlanjut terhadap rakyat Palestina, khususnya di Gaza.
Pertemuan di Jeddah diadakan setelah pertemuan luar biasa para pemimpin Arab baru-baru ini di Mesir, di mana para pemimpin Arab membahas perkembangan di Palestina dan cara-cara untuk mendukung rakyat Palestina dalam menghadapi rencana Trump untuk memindahkan paksa warga Palestina.
Rencana senilai $53 miliar yang disetujui oleh Liga Arab akan memungkinkan sekitar 2 juta warga Palestina yang tinggal di Gaza untuk tetap tinggal di tanah mereka. Rencana ini memprediksi rekonstruksi Gaza pada tahun 2030 tanpa pengungsian penduduknya.
Rencana Arab untuk Gaza sebenarnya merupakan respons terhadap rencana Amerika-Israel untuk Gaza, yang membayangkan hampir dua juta warga Gaza hraus meninggalkan Gaza melalui penyeberangan Kerem Shalom dan kemudian pindah melalui pelabuhan Ashdod dan Bandara Ramon.
Meskipun rencana yang disetujui oleh Liga Arab telah menghilangkan semua alasan dan pembenaran atas rencana yang diusulkan Trump, rencana itu tidak disambut baik oleh Amerika Serikat dan rezim Zionis.
Dari perspektif ini, pertemuan di Jeddah memberikan dukungan baru bagi rencana ini, sekaligus mampu membahas bahaya pemindahan paksa di luar Gaza dan menempatkannya dalam agenda konfrontasi dengan gerakan Tel Aviv yang secara perlahan dan bertahap dalam pemindahan paksa rakyat Tepi Barat.(sl)