Mengapa Pemerintah AS Menjatuhkan Sanksi Kepada Presiden Kuba?
-
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio
Pars Today - Kementerian Luar Negeri AS mengumumkan sanksi baru terhadap Presiden Kuba Miguel Diaz-Canel dan pejabat senior lainnya, memberlakukan pembatasan visa dan sanksi keuangan dengan dalih menekan protes damai pada tahun 2021.
Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio mengatakan, Empat tahun lalu, ribuan warga Kuba turun ke jalan secara damai untuk menuntut masa depan yang bebas dari tirani. Rezim Kuba merespons dengan kekerasan dan represi yang meluas, dan menahan banyak orang secara tidak sah. Kini, Kementerian Luar Negeri AS mengambil langkah-langkah untuk menerapkan kebijakan yang diperkuat pemerintahan Trump terhadap Kuba, sebagai bentuk solidaritas dengan rakyat Kuba dan tahanan politik mereka.
Sanksi baru Kementerian Luar Negeri AS terhadap Presiden Kuba Miguel Díaz-Canel dan pejabat senior lainnya sekali lagi telah meningkatkan ketegangan dalam hubungan kedua negara. Langkah itu, yang muncul bersamaan dengan tuduhan tindakan keras terhadap pengunjuk rasa damai selama protes tahun 2021, merupakan langkah lain dalam kebijakan yang berakar pada sejarah panjang permusuhan, persaingan ideologis, dan ketegangan geopolitik antara kedua negara.
Selama empat dekade terakhir, hubungan antara Amerika Serikat dan Kuba telah menjadi salah satu hubungan diplomatik yang paling kompleks dan tegang di Belahan Barat.
Ketegangan ini berakar pada Revolusi Kuba tahun 1959 dan merebaknya komunisme di kawasan Amerika, yang menyebabkan Washington khawatir tentang pengaruh Rusia dan penyebaran ideologi komunis di kawasan itu.
Setelah Revolusi Kuba, Amerika Serikat memberlakukan sanksi ekonomi dan diplomatik yang berat terhadap Kuba dengan berbagai dalih, yang terus berlanjut hingga kini, tetapi intensitasnya justru meningkat.
Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan sanksi Washington terhadap Kuba telah berulang kali diintensifkan dengan dalih pelanggaran hak asasi manusia dan penindasan terhadap oposisi, dan setiap kali kebijakan dilakukan selalu disertai dengan reaksi keras dari para pejabat Kuba.
Meskipun selama era Obama, AS mencoba mengurangi sanksi terhadap Kuba, tapi dengan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Amerika Serikat pada tahun 2016, Washington kembali mengambil pendekatan yang ketat terhadap Kuba dan mengembalikan kebijakan sebelum era Barack Obama.
Trump memberlakukan larangan perjalanan bagi wisatawan Amerika ke Kuba, melarang transaksi keuangan dengan lembaga militer Kuba, dan mempertahankan serta mengintensifkan sanksi ekonomi yang lebih ketat.
Dalam konteks ini, dukungan publik terhadap para pengunjuk rasa dan penentang rezim Kuba juga merupakan kebijakan utama pemerintahan Trump.
Faktanya, Amerika Serikat telah berupaya menekan Kuba sesuai dengan kebijakannya selama beberapa dekade.
Para pejabat Washington ingin agar otoritas Kuba tunduk pada tuntutan mereka agar dapat memanfaatkan Kuba sesuai dengan kebijakan mereka di kawasan Amerika Latin, sehingga mereka selalu mencari berbagai alasan untuk menekan negara ini.
Kini, Trump telah memberlakukan sanksi baru, terutama terhadap presiden Kuba, dengan dalih berusaha meredam protes empat tahun lalu.
Amerika Serikat mengklaim bahwa ribuan peserta protes tahun 2021 ditahan secara ilegal dan beberapa di antaranya menjadi sasaran penyiksaan dan penganiayaan.
Sanksi AS datang di saat para pejabat Kuba telah berulang kali mengecam sanksi tersebut sebagai "invasi dan blokade ekonomi" AS terhadap negaranya, menurut para pejabat Havana, dan sanksi ini telah menghukum seluruh rakyat Kuba dan merupakan hambatan besar bagi pembangunan negara tersebut.
Menteri Luar Negeri Kuba Bruno Rodriguez menggambarkan kebijakan ini sebagai pelanggaran hak asasi manusia seluruh bangsa Kuba.
Menanggapi langkah terbaru Trump, ia menulis di media sosial X, Hal ini telah memperkuat invasi ekonomi dan blokade terhadap Kuba dan menghukum seluruh rakyat Kuba, yang merupakan hambatan besar bagi pembangunan negara kita. Ini adalah perilaku kriminal yang melanggar hak asasi manusia seluruh bangsa.
Para pejabat Washington mengaku membela hak asasi manusia, tetapi tidak hanya menjatuhkan sanksi ekonomi, terutama di sektor pangan dan obat-obatan, yang melanggar hak asasi manusia, tetapi bahkan pejabat Washington di bidang urusan dalam negeri sendiri juga merupakan pelanggar hak asasi manusia.
Penghukuman terhadap mahasiswa yang memprotes kebijakan AS yang mendukung Israel, cara mereka memperlakukan imigran, dan deportasi mereka merupakan contoh nyata kesia-siaan slogan-slogan AS dalam hal ini.
Dalam hal ini, pengenaan sanksi terhadap presiden Kuba dengan dalih pelanggaran hak asasi manusia empat tahun lalu juga harus dianggap sebagai bagian dari kebijakan AS untuk menekan negara Kuba dan mencegah negara ini memperkuat ekonominya tanpa bergantung dan patuh pada kebijakan AS.(sl)