Krisis Islamofobia yang Semakin Berkembang di Eropa
-
Demo menolak Islamofobia di Jerman
Pars Today - Setelah perang Gaza, laporan menunjukkan peningkatan 140% dalam kejahatan kebencian terhadap Muslim di negara-negara Eropa, khususnya Jerman. Suatu masalah yang telah menjadi perhatian serius di negara-negara Eropa.
Marion Lalisse, Loordinator Penanggulangan Kejahatan Kebencian Anti-Islam di Komisi Eropa, mengatakan pada pertemuan Diplomasi Antalya, mengacu pada perkembangan setelah operasi Badai Al-Aqsa, Sejak 7 Oktober 2023, kejahatan kebencian terhadap Muslim di Jerman telah meningkat sebesar 140 persen.
Lalisse memperingatkan dalam hal ini. Tentu saja, tindakan-tindakan ini sangat merugikan Eropa dan tidak mencerminkan nilai-nilai yang menjadi dasar berdirinya Uni Eropa.
Meskipun Islamofobia bukanlah masalah baru di negara-negara Eropa, fenomena ini telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, terutama selama perang Gaza, di banyak negara Eropa, terutama Jerman dan Prancis.
Hal ini menunjukkan bahwa, bertentangan dengan semua klaim negara-negara Barat tentang menjaga kebebasan individu dan menghormati hak asasi manusia, kebencian ini berakar pada kebijakan, kondisi, dan identitas sosial saat ini.
Sebagaimana yang dibuktikan oleh meningkatnya Islamofobia yang terjadi setelah perkembangan politik dan geopolitik seperti Perang Gaza di negara-negara Eropa,
Kawtar Najib, seorang peneliti di Universitas Liverpool mengatakan dalam hal ini, Pernyataan dukungan Presiden Prancis Emmanuel Macron terhadap rezim Zionis selama pembantaian di Gaza telah membuat rasisme institusional terhadap Muslim lebih jelas.
Umat Islam di negara-negara Eropa telah menghadapi gelombang kekerasan dan pembatasan dalam beberapa tahun terakhir.
Memburuknya kondisi politik dan ekonomi di Eropa menyusul perubahan politik dan geopolitik, bertambahnya jumlah imigran, perang di Ukraina, dan sekarang perang di Gaza, telah menyebabkan negara-negara ini secara praktis meningkatkan tekanan terhadap umat Islam.
Dalam beberapa tahun terakhir, meningkatnya aktivitas partai sayap kanan di banyak negara Eropa merupakan isu lain yang menyebabkan meningkatnya konfrontasi dengan umat Muslim.
Partai-partai ini, yang sebagian besar memiliki sikap anti-migrasi, berjanji dalam kampanye mereka untuk mendeportasi imigran dan mengkonfrontasi umat Muslim, dan mencoba menghubungkan teroris dengan umat Muslim dan menyebarkan kebencian.
Dalam konteks ini, kita dapat menyebutkan posisi partai Alternatif untuk Jerman (AfD), yang memasuki parlemen dengan slogan-slogan anti-Islam, dan telah menyebabkan gelombang serangan terhadap masjid dan meningkatnya pelecehan dan tekanan terhadap umat Islam.
Islamofobia juga meningkat di Prancis.
Undang-undang yang melarang jilbab di sekolah dan kemudian di lembaga pemerintah, penutupan beberapa masjid, pembubaran lembaga-lembaga Islam, dan kelanjutan pendekatan-pendekatan ini menunjukkan bahwa pemerintah Prancis hanya mengklaim menghormati hak asasi manusia dan kebebasan individu dan sosial.
Faktanya, eksploitasi media terhadap berbagai peristiwa, polarisasi ruang publik di banyak negara Eropa, dan permainan elektoral partai-partai sayap kanan telah menyebabkan reproduksi kebencian terhadap umat Islam dan meningkatnya suasana ketidakpercayaan.
Farid Hafez, profesor di Universitas William dan Mary, menulis terkait hal ini, Partai-partai sayap kanan telah menggunakan Islamofobia sebagai alat untuk memperoleh keuntungan politik, dan pendekatan ini telah menyebabkan meningkatnya diskriminasi politik dan organisasi terhadap umat Islam.
Meningkatnya Islamofobia di negara-negara Eropa, terutama sejak dimulainya perang Gaza, dengan jelas menunjukkan posisi ganda Eropa dalam hal ini.
Di satu sisi menekankan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, dan kebebasan beragama, tetapi di sisi lain menampilkan citra dirinya yang kontradiktif dan sebenarnya dengan memberlakukan undang-undang yang membatasi, terlibat dalam wacana yang berorientasi pada keamanan, dan gagal menangani Islamofobia dengan tegas.(sl)