Aksi Penumpasan Pendukung Palestina dan Runtuhnya Nilai-Nilai Kemanusiaan di Eropa
-
Demonstrasi pro-Palestina di Inggris
Pars Today - Bundaran Stalingrad di Paris menjadi saksi unjuk rasa besar untuk mendukung rakyat Palestina yang tertindas pada hari Sabtu (10/05).
Unjuk rasa tersebut menyusul keputusan pemerintah Prancis untuk membubarkan Palestine in Emergency Association, organisasi masyarakat sipil pro-Palestina terbesar di negara itu.
Menteri Dalam Negeri Prancis Bruno Retailleau memerintahkan pembubaran organisasi ini, dengan alasan bahwa asosiasi tersebut "menghasut kekerasan" dan "mengancam keamanan publik".
Namun pada kenyataannya, yang menjadi sasaran bukanlah penyebaran kebencian, melainkan aktivis sipil dan peningkatan kesadaran publik tentang kejahatan rezim Zionis Israel di Gaza.
Ketika surat kabar Guardian melaporkan dengan mengutip organisasi internasional, tentang "kelaparan sistematis", "pengeboman tanpa pandang bulu," dan "bukti nyata genosida" di Jalur Gaza, keputusan pemerintah Prancis untuk membungkam suara aktivis pro-Palestina bukan hanya tanda bias politik, tapi juga kemunduran yang jelas dari prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia yang diklaim.
Seperti yang dikatakan oleh anggota parlemen sayap kiri Raphael Arnault, Prancis bukan hanya sudah menjauh dari prinsip-prinsip republik, tapi juga bergerak menuju tirani rasis dan keterlibatan dengan neo-fasisme.
Penumpasan terhadap pendukung Palestina di Eropa tidak terbatas pada Prancis.
Para pendukung rakyat Palestina yang tertindas di Jerman, Inggris, dan sejumlah negara Eropa lainnya serta Amerika Serikat berisiko diusir dari universitas, tempat kerja, dan, jika mereka adalah imigran akan dideportasi.
Di Jerman, lebih dari 200 aktivis hak asasi manusia dan pembela Palestina telah ditangkap dalam enam bulan terakhir.
Padahal, negara ini dikenal sebagai pengekspor senjata terbesar ke Israel di Uni Eropa.
Sebuah laporan rahasia baru oleh Institut SIPRI menunjukkan bahwa 43 persen bagian dari jet tempur F-35 yang digunakan dalam pengeboman Gaza diproduksi di pabrik-pabrik Jerman.
Penangkapan yang meluas terhadap para pendukung Palestina di Jerman, pencabutan izin untuk mengadakan pertemuan, dan bahkan pelarangan simbol-simbol seperti bendera Palestina di beberapa negara, menunjukkan adanya pelembagaan semacam "pendekatan keamanan terhadap pendukung Palestina".
Di Inggris, universitas-universitas dipaksa untuk memantau dan membatasi aktivitas kelompok-kelompok pro-Palestina di bawah tekanan dari Kementerian Dalam Negeri untuk "melawan ekstremisme" seiring meningkatnya serangan rezim Zionis Israel terhadap Gaza.
Di Oxford dan UCL, pertemuan mahasiswa menghadapi ancaman penangguhan, dan beberapa profesor pro-Palestina menjadi sasaran kampanye vandalisme.
Tindakan keras terhadap pro-Palestina bukan sekadar reaksi sporadis. Tindakan ini juga menunjukkan pelembagaan ideologis di tingkat pemerintahan Eropa yang mendefinisikan ulang dukungan untuk Palestina dalam hal keamanan, ancaman, dan bahkan terorisme.
Seperti yang diperingatkan Raphael Arnault, anggota parlemen Prancis sayap kiri, pada rapat umum baru-baru ini di Paris, Pemerintah Prancis sedang bergeser ke arah semacam tirani rasis; tirani yang membantai kebebasan sipil atas nama keamanan, dan hati nurani publik atas nama kepentingan geopolitik.
Eropa tidak dapat secara bersamaan mengklaim membela Ukraina dari "agresi Rusia" dan menjadi pembantu agresor terhadap genosida rakyat Gaza.
Dikotomi ini mengirimkan pesan berbahaya tidak hanya kepada rakyat di wilayah tersebut, tetapi juga kepada generasi mendatang Eropa bahwa nilai-nilai tidak ditentukan oleh prinsip, tetapi oleh sekutu strategis.
Kita juga menyaksikan rekayasa persepsi publik yang meluas di tingkat media.
Analisis konten yang dilakukan oleh Institut Studi Media Oxford menunjukkan bahwa jaringan berita utama Prancis dan Jerman menggambarkan perlawanan Palestina dengan istilah "terorisme" dalam 90 persen kasus.
Sementara itu, laporan independen, termasuk laporan terbaru oleh Guardian, menunjukkan temuan tim medis di Gaza yang menunjukkan penggunaan senjata kimia eksperimental oleh pasukan Zionis Israel dan genosida warga Palestina.
Dikotomi seperti itu dalam liputan media menunjukkan upaya yang jelas untuk mendistorsi fakta di lapangan dan membenarkan kejahatan perang.
Jika pada beberapa dekade sebelumnya gerakan anti-apartheid di Afrika Selatan mampu menggugah kesadaran global, kini gerakan pendukung Palestina dihadapkan pada misi sejarah yang sama.
Namun bedanya, kali ini pemerintah yang mengklaim kebebasan justru berdiri di garis depan penyensoran, penindasan, dan pemboikotan.
Sudah saatnya bagi kaum intelektual, akademisi, dan kekuatan sipil di Barat untuk menunjukkan kesalahan moral pemerintahan Eropa dan menganggap pembelaan Palestina bukan sekadar tugas kemanusiaan, tetapi ukuran kelangsungan hidup kesadaran politik Barat.(sl)