Islam dan Budaya Nusantara Berpadu dalam Tradisi Syawalan
(last modified Tue, 25 Apr 2023 02:12:34 GMT )
Apr 25, 2023 09:12 Asia/Jakarta
  • Islam dan Budaya Nusantara Berpadu dalam Tradisi Syawalan

Islam dapat diterima dengan baik oleh masyarakat Indonesia yang terkenal multikultural dan multietnis antara lain karena pendekatan budaya. Akulturasi budaya lokal dan Islam melahirkan perpaduan mengesankan, sarat dengan nuansa religi, keguyuban, dan harmoni.

Inilah salah satu faktor pola dan corak keagamaan di Indonesia dipandang dengan istilah Islam with smiling face oleh banyak cendekiawan Barat. Budaya Syawalan merupakan satu dari sekian potret akulturasi mengesankan yang menggambarkan perpaduan apik budaya lokal dan Islam.

Rauda Blongkod dalam Studi Komparatif Tradisi Ketupat menjelaskan salah satu budaya yang dapat dikatakan unik adalah budaya Lebaran Indonesia atau yang lebih dikenal dengan budaya ketupat.

Lebaran ketupat mengandung makna agama dan budaya yang penting. Bahkan, pada saat penyebaran agama Islam, Sunan Kalijaga menggunakan ketupat sebagai mediasi untuk menyebarkan ajaran Islam.

Lebaran ketupat merupakan salah satu hasil akulturasi kebudayaan Indonesia dengan Islam. Lebaran ketupat atau yang dikenal dengan istilah lain Syawalan sudah menjadi tradisi masyarakat Indonesia di berbagai daerah, dari mulai Jawa, Madura, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan lainnya.

Lebaran ketupat hanya bisa dijumpai di masyarakat Indonesia. Tujuan pelaksanaannya sama seperti tujuan berhari Raya Idul Fitri, yaitu saling memaafkan dan bersilaturahim. Istilah saling memaafkan ini di kalangan masyarakat Indonesia lebih terkenal dengan sebutan halal bihalal.

Khoirul Anwar dalam Makna Kultural dan Sosial-Ekonomi Tradisi Syawalan menjelaskan istilah Syawalan berasal dari kata Syawal, nama salah satu bulan pada kalender Islam atau tahun Hijriyah. Disebut dengan istilah Syawalan karena tradisi tersebut dilaksanakan pada saat Syawal, yaitu pada satu pekan setelah Hari Raya Idul Fitri.

Perayaan Syawalan dijadikan momentum untuk menjalin silaturahim dan kumpul dengan sanak keluarga yang tinggal di tempat jauh. Syawalan masih terkait dengan Idul Fitri yang biasanya disebut Bada Kupat atau Hari Raya Ketupat.

Beberapa daerah di Indonesia memiliki penyebutan yang berbeda terkait Lebaran Syawalan ini. Istilah itu biasanya bergantung pada sejarah daerah tersebut. Tak hanya Lebaran Ketupat, sejumlah daerah di Jawa juga memiliki tradisi unik khas Syawal. Di Jepara misalnya, terdapat tradisi Lomban. Kegiatan ini sudah berlangsung ratusan tahun yang silam di sebuah pantai di Jepara.

Alamsyah dalam Budaya Syawalan Atau Lomban Di Jepara: Studi Komparasi Akhir Abad ke-19 dan 2013 menerangkan, dari waktu ke waktu kegiatan ini mengalami pergeseran, tapi esensinya tetap sama, yaitu meminta berkah kepada Yang Mahakuasa agar pada tahun yang datang rezeki masyarakat nelayan semakin meningkat.

Menurut P J Veth dalam sebuah buku yang berjudul Jawa: Geographisch, Ethnologisch, Historisch (1882) menjelaskan bahwa pesta budaya ini disebut Bada Lomban. Pesta ini diselenggarakan pada hari kedelapan Syawal. Yaitu hari setelah Syawalan atau puasa enam hari pada bulan Syawal. Aktivitas ini dianggap sebagai pesta besar setelah Ramadhan.

Perayaan Syawalan juga terjadi di tempat lain, tetapi terbatas pada selametan atau sesaji ketupat. Sesaji ketupat ini berisi beras dengan sedikit garam yang ditumbuk dan dikemas dalam sebuah keranjang sebesar kepalan tangan.

Bentuknya dianyam berbeda-beda dari daun kelapa muda. Dari sinilah muncul istilah tahun baru ketupat. Menurut Veth, istilah ini muncul dari kalangan orang pribumi ketika mereka berbicara dengan orang Eropa berkaitan dengan lomban.

Istilah Bada Lomban atau lumban terdiri atas kata bada atau bentuk lain dari bakda. Bakda menurut bahasa Arab artinya setelah selesainya acara, dan lomban berarti mandi. Terjemah harafiahnya adalah mandi yang mengakhiri puasa. Definisi lain dari Bada Lomban adalah membebaskan diri dari puasa sukarela pada musim kemarau yang diakhiri dengan mandi.

Kata bakda adalah kata Jawa yang berarti pesta. Adapun kata lomban atau lumban mengandung makna khusus tentang mandi untuk hiburan, yaitu bermain mandi, dan saling mengguyur dengan air. Di Jepara Bada Lomban dihubungkan dengan pengertian permainan, bermain, dan berkubang di air.

Alamsyah melanjutkan, beberapa hari sebelum diselenggarakan pesta di Jepara, persiapan dilakukan dengan menyewa perahu dari tempat-tempat di sekitar Jepara. Perahu ini dihiasi dengan boneka yang diberi busana, kain beraneka wana, panji-panji, ketupat, bunga-bunga yang saling terikat, dan dilengkapi dengan boreh kuning.

Ketupat ini dikemas dan dikumpulkan dengan setumpuk kolang-kaling dan telur itik. Kolang-kaling adalah buah pohon aren yang bentuknya bulat. Bupati dan para kepala desa ikut berperan dalam persiapan pelaksanaan Lomban. Bupati biasanya pergi ke Pulau Kelos dengan membawa 12 buah bambu yang dipasang di roda, yang dilumuri dengan kapur dan digambari dengan bentuk harimau serta naga.

Ritual mandi

Pada hari pesta yang telah ditentukan, setiap warga Jepara melakukan ritual mandi pada pagi hari dan berbusana rapi. Menjelang pukul delapan pagi, peserta kegiatan Lomban naik kapal.

Bupati dan orang-orang kaya lainnya membawa serta gamelan di sebuah perahu dan diiringi permainan pengiring pesta Jawa, tabuh giro. Para peserta Lomban ini menyusuri Sungai Jepara menuju laut.

Puluhan perahu memenuhi laut sehingga air laut tertutup oleh perahu. Semua peserta mendayung perahunya untuk mencapai Pulau Panjang sambil berteriak. Dengan perahu layar, mereka saling mengejar, saling berlomba untuk untuk mendapatkan ketupat. Kolang-kaling yang telah disiapkan dibakar dan diletakkan di atas kulit serta dan telur.

Dengan letusan petasan cina dan pistol peluru kosong, hiburan pertandingan diadakan. Setelah selesai lomba atau pertandingan, pada siang hari mereka melakukan aktivitas makan siang.

Warga yang telah mencapai Pulau Kelor, memasak dan mengolah apa yang mereka bawa atau membeli dari para pedagang buah, lauk, dan minuman keliling yang berangkat ke pulau itu.

Pada kegiatan pesta Lomban ini tidak ada aktivitas pasar di Kota Jepara. Semuanya tutup dan bergabung dalam pesta Lomban. Dalam kegiatan ini juga dilakukan aktivitas berziarah ke makam-makam di Pulau Panjang dan Pulau Kelor.

Kegiatan ziarah ini ditandai dengan meletakkan bunga dan dupa. Di Pulau Kelor terdapat tempat berteduh yang sengaja dibuat sebagai pelindung. Tempat berteduh ini terbuat dari bambu yang dipasang melingkar.

Di tempat inilah bupati bersama keluarga, orang-orang Jawa yang kaya, dan kadang-kadang beberapa penonton Eropa duduk di sebuah tempat yang mirip pendapa ini.

Persediaan telah dibawa seperti ketupat dan lauk-pauk lainnya dihidangkan. Para prajurit atau ksatria berada di sekitar tempat berteduh ini bersiap-siap melempar ribuan ketupat, telur kotor, dan buah aren hijau ke udara.photo

Beberapa orang yang warga yang ikut terlibat dalam pertarungan perebutan ketupat ini berlarian. Kegiatan ini diiringi berbagai tarian tradisional. Kegiatan akan selesai ketika bupati memberikan tanda berhenti.

Ketika kegiatan di Pulau ini selesai, semua orang kembali menuju kapal dan berlayar atau berdayung ke daratan di Jepara. Proses kembalinya ke daratan ini iringan bunyi gamelan. Menjelang pukul tiga sore, semua aktivitas selesai dan tidak ada bekas yang menandakan keramaian kegiatan Bada Lomban.(Republika)